10 Tahun Jokowi dan Keterwakilan Perempuan di Kabinet

0

Menteri Perempuan di Masa Pemerintahan Jokowi. Kredit Foto : RRI.co

Apakah komposisi kabinet Presiden Jokowi dalam sepuluh tahun terakhir telah menunjukkan keterwakilan perempuan Indonesia yang cukup? Apakah perempuan hanya menjadi pelengkap atau menjadi pilar penting bagi kabinet Jokowi? Kedua pertanyaan ini menarik untuk dibahas dengan menggunakan asesmen kuantitatif keterwakilan perempuan dan asesmen kualitatif peran menteri-menteri perempuan dalam Kabinet Jokowi.

Berdasarkan sensus 2020, tercatat jumlah penduduk perempuan Indonesia sebanyak 133,54 juta orang atau 49,42% dari total jumlah penduduk negara kepulauan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbandingan yang cenderung seimbang antara perempuan dan laki-laki sehingga jika kita hanya merefleksikan berdasarkan hal ini, seharusnya terdapat pembagian yang seimbang antara keduanya.

Untuk menjawab dua pertanyaan di awal paragraf, artikel ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, menjelaskan partisipasi perempuan dalam pemerintahan. Bagian selanjutnya mengestimasi seberapa jauh keterwakilan perempuan dari nilai ideal di Indonesia selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi. Terakhir, melihat apakah perempuan berada dalam posisi yang strategis di dalam kabinet.

Perempuan dalam Pemerintahan 

Semua Warga Negara Indonesia memiliki hak yang sama, hal ini termaktub dalam pasal 27(1) UUD 1945. Arti penting dari ayat tersebut adalah: (1) persamaan hak untuk menempati posisi di pemerintahan; dan (2) memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama oleh pemerintah. Hal ini diperkuat dengan UU 39/1999 Pasal 43 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dan diangkat dalam pemerintahan 

Berdasarkan  kedua hal tersebut, sebenarnya negara telah mencoba menjamin HAM yang berkaitan dengan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berpartisipasi dalam pemerintahan. Contohnya, di cabang legislatif keterwakilan perempuan diatur dengan menetapkan batas minimal 30% keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif (Caleg) pada Undang-Undang Pemilu. 

Namun, pada praktiknya, terjadi ketidakseimbangan proporsi antara perempuan dan laki-laki.  Meskipun sejak pemilu 1999 terdapat tren peningkatan dalam keterpilihan perempuan dalam lembaga legislatif, secara rasio pendaftaran masih terdapat ketidakseimbangan 

Contoh paling terbaru adalah hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang baru saja memenuhi kuota 30% bagi caleg perempuan pada Pemilihan Legislatif 2024. Jika dibandingkan lagi dengan persentase penduduk perempuan di Indonesia, kegagalan memenuhi 30% sudah menjadi bentuk terjadinya perbedaan mendasar bagi partisipasi perempuan dan laki-laki dalam politik

Bercermin, dari lembaga legislatif, tampaknya kabinet Jokowi juga menemui permasalahan yang sama. Lantas, seberapa jauh nilai ideal keterwakilan perempuan di Kabinet Jokowi dari kenyataannya?

Apakah Kabinet Jokowi Merefleksikan Keterwakilan Perempuan?

Untuk menentukan apakah Kabinet Jokowi benar-benar merefleksikan keterwakilan perempuan, penulis akan menggunakan sedikit statistika. Penghitungan yang dilakukan di sini sangat sederhana dan penulis menggunakan ini untuk menunjukan bagaimana artikel ilmiah ini dapat mengestimasi perbedaan antara nilai maksimum dengan nilai kenyataan keterwakilan perempuan di Indonesia secara transparan dan terbuka serta menghasilkan nilai yang presisi.

Di bawah Presiden Jokowi, Indonesia menghasilkan dua kabinet, yakni Kerja dan Indonesia Maju. Pada Kabinet Kerja (2014-2019), dari total 55 menteri yang diangkat, sebanyak sembilan orang merupakan perempuan. Sementara pada Kabinet Indonesia Maju (2019-2024), hanya enam orang menteri perempuan yang ditunjuk dari lima puluh orang. Secara total, Presiden Jokowi mengangkat 15 menteri perempuan dari total 105 menteri atau sekitar 14.3% dari keseluruhan kabinet.

Penunjukan menteri dapat diasumsikan berdistribusi binomial dikarenakan pada praktiknya merupakan percobaan berulang dengan nilai yang dihasilkan merupakan penjumlahan. Distribusi Binomial dapat ditulis sebagai berikut:

Pr⁡(Y=y|n,p)=n!y!(n-y)!py(1-p)n-y

Di mana y adalah jumlah pengangkatan menteri perempuan, n adalah jumlah sampel, dan p adalah probabilitas pengangkatan menteri perempuan. Dari distribusi ini kita mengasumsikan probabilitas (p) sebesar 30% atau 0.3 sebagai representasi ideal keterwakilan perempuan berdasarkan UU Pemilu. Dari distribusi ini, penulis dapat menghitung probabilitas suatu kejadian.

Pada Kabinet Kerja, probabilitas menteri perempuan ditunjuk adalah 0.9%, sementara pada Kabinet Indonesia Maju, probabilitasnya adalah 0.2%. Secara kasat mata, perhitungan ini menunjukan bahwa terpilihnya perempuan sebagai menteri sangat kecil, tetapi bergantung pada probabilitas saja dapat menyesatkan. Penggunaan probabilitas tepat digunakan jika kita ingin memprediksi atau mensimulasikan suatu kejadian. Dikarenakan penunjukan kementerian sudah terjadi, langkah yang lebih tepat untuk menentukan perbedaan antara nilai maksimum dan kenyataan adalah menggunakan Fungsi Likelihood yang dapat ditulis sebagai berikut:

L⁡(θ│y,M)= L(θ│y)

            = Pr⁡(y|θ)

Di mana adalah probabilitas yang ingin diketahui, y adalah data, M mewakili seluruh komponen dalam model statistika, dan merupakan simbol proporsional. Gambar 1 menunjukan 10000 nilai likelihood berdasarkan rentang probabilitas dari 0 sampai 1 untuk dua masa kabinet Presiden Jokowi

Gambar 1. Likelihood Penunjukan Menteri Perempuan di Kabinet Jokowi

Berdasarkan gambar 1, dapat dilihat bahwa nilai yang dimaksimalkan atau dikenal dengan Maximum Likelihood Estimation untuk kabinet kerja adalah 16.4%, dan bagi Kabinet Indonesia Maju adalah 12%. 

Untuk menentukan apakah penunjukan menteri perempuan sudah mendekati nilai maksimal, adalah dengan menghitung rasio likelihood antara probabilitas dengan nilai maksimumnya. Likelihood pada masa Kabinet Kerja adalah 0.05 atau 5% dari nilai maksimumnya. Sementara pada masa Kabinet Indonesia Maju, likelihood-nya adalah 0.015 atau hanya 1.5% dari nilai maksimumnya.

Hasil tersebut menunjukkan secara jelas bahwa perempuan belum benar-benar terwakilkan di dalam kabinet. Dominasi laki-laki pada masa pemerintahan Jokowi terlihat jelas dengan rasio likelihood yang sangat kecil senilai sama dengan atau kurang dari 5%, jauh di bawah batas minimal 30%.

Peran dan Posisi Strategis Menteri-Menteri Perempuan

Meski begitu, sedikitnya jumlah menteri perempuan dalam Kabinet Jokowi dapat terbilang dikompensasi oleh penempatan beberapa menteri perempuan yang strategis dan juga memiliki profil yang tinggi.

Perempuan telah berhasil mengisi beberapa posisi strategis di dalam kabinet. Sebut saja Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Posisi Menlu memiliki peran strategis yang sangat menentukan arah kebijakan luar negeri Indonesia, sementara posisi Menkeu memiliki peran strategis dalam alokasi anggaran dan pemasukan negara yang keduanya sangat penting bagi berfungsinya negara. Kedua menteri yang mengisi posisi ini juga memiliki profil yang baik dengan profesionalitas dan profil internasionalnya. Di level menteri koordinator, juga ada Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang membawahi 7 kementerian di bidang sosial dan pendidikan.

Selain kedua perempuan ini, terdapat juga penunjukan yang memiliki profil tinggi dan berkaitan dengan program-program penting Presiden Jokowi. Susi Pudjiastuti yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan menjadi terkenal dengan kebijakan penenggelaman kapal dan lainnya yang menegaskan kedaulatan maritim Indonesia, yang menjadi isu penting bagi Presiden Jokowi di periode pertamanya. Penunjukannya juga cenderung out of box karena belum pernah ada perempuan yang menjabat sebagai Menteri KKP. Rini Soemarno yang menjabat sebagai Menteri BUMN juga memiliki peran sentral untuk meloloskan proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) yang menjadi salah satu proyek signature Presiden Jokowi.

Selain itu, menteri perempuan lainnya menempati posisi pada kementerian-kementerian di bidang sosial seperti Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak. Kementerian-kementerian ini juga sebelumnya sudah pernah dipimpin oleh menteri perempuan. Dengan kata lain, masih sedikit penempatan perempuan di luar “kodratnya,” sebagaimana berkaitan dengan gender dan peran sosial perempuan yang biasa dipersepsikan.

Keterwakilan Perempuan Di Masa Depan?

Dalam sepuluh tahun terakhir keterwakilan perempuan di dalam kabinet masih jauh dari optimal. Secara proporsi, penunjukan perempuan di kabinet hanya mencapai 14.2% dari keseluruhan menteri. Secara probabilitas, likelihood penunjukan perempuan di kabinet masih sangat rendah dengan nilai likelihood sama dengan atau kurang dari 5%. Faktor-faktor seperti pengaruh sosio-kultural, penempatan perempuan berdasarkan “kodratnya”, dan kepentingan politik partai politik menjadi hambatan bagi keterwakilan perempuan dalam kabinet ini.

Penting untuk diingat bahwa kabinet seharusnya diisi oleh teknokrat yang memiliki keahlian dalam bidangnya masing-masing (zaken kabinet). Dengan kata lain, penentuan posisi menteri tidak harus memandang apakah mereka adalah laki-laki atau perempuan. Namun, ketidakterwakilan perempuan sebagai menteri dapat melemahkan ide zaken kabinet, karena asumsi bahwa laki-laki lebih kompeten dalam bidang struktural menjadi dominan.

Kesimpulan tersebut menggarisbawahi perlunya upaya yang lebih besar untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di dalam kabinet. Langkah-langkah untuk mengatasi hambatan sosio-kultural, mengubah persepsi tentang peran gender, dan memastikan seleksi menteri didasarkan pada kualifikasi dan keahlian akan menjadi langkah penting untuk mencapai keterwakilan yang lebih merata dan inklusif di kabinet-kabinet pemerintahan selanjutnya.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *