Ageisme dalam Pendidikan Tinggi dan Mitos Digital Skill

0

Apakah kamu pernah melihat program beasiswa atau pelatihan yang mensyaratkan batasan usia? Atau mungkin pernah dianggap kurang kompeten atau lebih kompeten hanya karena usia? Sayangnya, situasi semacam ini masih sering terjadi di Indonesia. Prasangka atau diskriminasi terhadap kelompok usia tertentu terjadi di berbagai konteks, termasuk dalam pendidikan tinggi.  Praktik diskriminatif ini dikenal sebagai ageisme.

Memahami ageisme sangat penting, karena diskriminasi ini merugikan semua kelompok usia. Kelompok muda sering dianggap kurang berpengalaman sehingga kurang dipercaya, sementara kelompok yang lebih tua dianggap tidak mampu berkembang lagi dan tidak diberi kesempatan yang setara. Hal ini jelas menghambat terciptanya pendidikan yang adil bagi semua. Selain itu, praktik ini juga sering dikaitkan dengan salah satu teori digital skill. Selengkapnya, mari kita cermati bagaimana ageisme dalam pendidikan tinggi dan teori apa yang perlu kita pikirkan ulang untuk menghapuskan ageisme.

Ageisme dalam Pendidikan Tinggi

Contoh konkret ageisme misalnya dapat ditemukan dalam pendidikan tinggi. Penerapan persyaratan usia pada program beasiswa atau pendidikan menjadi diantara yang paling jelas, seperti pada Program Pendidikan Guru (PPG) Prajabatan. Sesuai dengan surat edaran Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, ada persyaratan usia maksimal peserta yaitu 32 tahun pada 31 Desember tahun pendaftaran. Alasan persyaratan ini menyesuaikan dengan syarat umum untuk menjadi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) yang menetapkan batas usia maksimal 35 tahun. Praktik ini tidak hanya menunjukkan ageisme dalam pendidikan tinggi, tetapi juga dalam perekrutan pegawai, yang telah lama dikeluhkan di Indonesia.

Contoh lainnya adalah program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Meskipun bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas, program ini juga menetapkan batasan usia. Untuk jenjang pendidikan magister, usia maksimal pendaftar adalah 35 tahun, sedangkan untuk jenjang doktor, usia maksimal adalah 40 tahun. Persyaratan ini tentu membatasi akses kelompok diluar umur tersebut kepada pendidikan, meski mereka juga membutuhkan dan memiliki potensi.

Ageisme dan Teori Pendidikan

Lebih dari sekadar persyaratan administratif, ageisme ini sering diperkuat oleh teori pendidikan yang tidak sepenuhnya dipikirkan dengan matang. Teori tersebut dipekenalkan oleh Marc Prensky tentang digital skill. Teori ini membagi generasi berdasarkan perkembangan teknologi menjadi digital native dan digital immigrant. Digital native adalah mereka yang lahir saat teknologi digital sudah berkembang, sementara digital immigrant adalah mereka yang harus beradaptasi dengan teknologi setelah dewasa.

Prensky berpendapat bahwa generasi saat ini menghabiskan hidupnya dengan berbagai jenis teknologi seperti komputer, video games, pemutar musik digital, dan berkomunikasi secara daring melaui media sosial maupun email (Prensky, 2001). Oleh karenanya, digital native dianggap lebih mahir dalam menggunakan teknologi karena mereka sudah terbiasa. Sementara itu, digital immigrant sering dianggap sulit beradaptasi dengan teknologi baru.

Padahal anggapan soal digital native dan digital immigrant ini sering tidak terbukti. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Universitat Oberta de Catalunya (UOC) mengenai digital skill para pemuda di Spanyol yang menyimpulkan bahwa digital native tidak berbanding lurus dengan digital skill. Ada sekitar 30% partisipan riset yang kesulitan dalam berbagai persoalan teknis mengenai teknologi seperti mengatur privasi perangkat maupun aplikasi (Estanyol, 2023).  Oleh karenanya, kita perlu memikirkan ulang anggapan bahwa orang yang lebih muda atau digital native pasti lebih pintar dalam menggunakan teknologi. Alih-alih menguntungkan, pendapat ini bisa berdampak negatif bagi kelompok muda dan tua dalam konteks pendidikan tinggi.

Contoh Stereotipe Digital Skill di Pendidikan Tinggi

Dampak dari stereotipe digital skill dapat terjadi baik pada lingkup akademik maupun non-akademik. Staf yang lebih senior atau digital immigrant mungkin dipersepsikan kurang kompeten dalam teknologi dibandingkan dengan staf yang lebih muda. Akibatnya, mereka mungkin tidak diberi kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan teknologi baru atau terlibat dalam proyek-proyek berbasis digital. Sementara itu, staf yang dianggap sebagai digital native dapat terbebani dengan tugas tambahan terkait teknologi, yang meningkatkan beban kerja mereka secara tidak proporsional.

Selain itu, stereotipe ini juga dapat menghambat pengembangan karir dan menciptakan ketegangan dalam tim. Staf senior mungkin kurang dipromosikan atau tidak dilibatkan dalam proyek inovatif karena asumsi bahwa mereka kurang adaptif terhadap perubahan digital. Di sisi lain, staf yang lebih muda mungkin merasa terbebani untuk selalu mengajari teknologi kepada rekan kerja yang lebih tua. Sementara itu, staf senior bisa merasa diremehkan dan mengurangi kepercayaan diri mereka untuk berkontribusi penuh. Jika tidak diatasi, stereotipe digital skill bisa mengganggu kolaborasi dan menurunkan efektivitas kerja di lingkungan universitas.

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk mengevaluasi dan mengubah kebijakan serta pandangan diskriminatif terhadap kelompok usia, tidak hanya dalam pendidikan tinggi, tetapi juga lainnya. Mulai dari pendidikan tinggi, perguruan tinggi harus menjadi wadah inklusif yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua individu tanpa memandang usia. Lebih jauh lagi, pendidikan tinggi harus mempromosikan konsep lifelong learning yang mengakomodasi pertumbuhan semua kalangan, terutama mereka yang rentan terhadap diskriminasi. Dengan demikian, kita dapat mempersiapkan generasi masa depan dan mewujudkan pendidikan tinggi yang lebih adil.

Referensi

Estanyol, E., Montaña, M., Fernández-de-Castro, P., Aranda, D. and Mohammadi, L. (2023). Digital competence among young people in Spain: A gender divide analysis. [Competencias digitales de la juventud en España: Un análisis de la brecha de género]. Comunicar, 74. https://doi.org/10.3916/C74-2023-09

Prensky, Marc. 2001. Digital natives, digital immigrants. On the Horizon (MCB University Press, 9, 5). https://www.marcprensky.com/writing/Prensky%20-%20Digital%20Natives,%20Digital%20Immigrants%20-%20Part1.pdf

Faris Nur Khulafa adalah mahasiswa Master of Education in Digital Learning, Monash University. Faris dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @fariskhulafa

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *