Akar Krisis Akses Air Bersih dan Sanitasi di Sudan Selatan

0

Krisis Air dan Sanitasi di Sudan Selatan/ Kredit Foto lifewater.org

Sudan Selatan seharusnya menjadi negara penuh harapan setelah merdeka. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Sudan Selatan kini berada dalam krisis kemanusiaan yang sangat besar dan memengaruhi seluruh warganya, yakni krisis air bersih dan sanitasi. 

Pasca kemerdekaan Sudan Selatan dari Sudan pada tahun 2011, krisis dan akses terhadap air masih juga berlanjut. Penyebab terbesarnya tidak lain merupakan perubahan iklim. Sudan Selatan memiliki iklim yang sangat hangat dan kering, dengan 50% daratan ditutupi dan ditempati oleh gurun serta 49% digunakan oleh satwa liar dan pertanian, hanya 0,7% yang tersisa untuk air (Barnaba, 2015). Hal ini diperparah dengan peningkatan suhu, banjir, variabilitas curah hujan, dan kekeringan yang terjadi secara bersamaan di Sudan Selatan.

Selain perubahan iklim, masalah yang melatarbelakangi krisis air bersih di Sudan Selatan, yaitu perang saudara. Perang saudara pada tahun 2013 dan 2016 telah merusak kemajuan pembangunan yang dicapai Sudan Selatan setelah memperoleh kemerdekaan sehingga memperburuk situasi kemanusiaannya. Perang saudara telah mengakibatkan kerusakan parah pada sistem air negara tersebut dan menyebabkan jutaan orang mengungsi ke beberapa negara Afrika lainnya karena membutuhkan akses terhadap air bersih secara urgent.

Perang saudara selama dua dekade di Sudan Selatan telah menyebabkan hilangnya banyak nyawa, kehancuran, dan pengungsian yang berdampak pada negara tersebut. Karena adanya perang saudara ini, stok persediaan air di Sudan Selatan mengalami kelangkaan. Bahkan rantai pasok pangan dan air minum bersih pada setiap pertokoan di kota Juba (ibu kota Sudan Selatan) juga semakin sulit diakses oleh penduduk lokal. Tidak tersedianya akses air bersih dan layak sebagai kebutuhan dasar dipengaruhi konflik internal dan mismanagement dalam pemerintahan Sudan Selatan. Oleh karena itu, hak water security warga Sudan Selatan tidak pernah terpenuhi dan bahkan telah dilanggar.

Akar Masalah Krisis dan Dinamika Konsekuensinya

Sekitar 59% penduduk atau 6,3 juta orang di Sudan Selatan tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman. Pertumbuhan populasi yang signifikan dan perang saudara terus-menerus sejak tahun 2013 menyebabkan krisis air di Sudan Selatan (World Bank, 2023). Selama perang saudara, sistem air di negara tersebut ditinggalkan dan dihancurkan. Ada dugaan bahwa perang saudara ini terjadi karena perebutan pasokan air yang terbatas. Setiap faksi ini saling merebut akses air dan fasilitas sanitasi karena sumber mata air utama Sudan Selatan hanya terdapat di Sungai Nil (sebagai perairan lintas batas yang dimiliki bersama dengan sepuluh negara Afrika lainnya). 

Kepemilikan bersama ini memperburuk krisis air di Sudan Selatan karena menjadi ladang perebutan. Bahkan mereka semakin sulit mengakses air dikarenakan wilayah mereka secara geografis bukan pesisir serta kedua negara tetangganya (Sudan dan Ethiopia) membangun bendungan di Sungai Nil; sehingga otomatis air yang mengalir ke Sudan Selatan sangat terbatas (Kemisa, 2023). Perang saudara di Sudan yang terjadi hingga tahun 2023 juga menyebabkan banyak pengungsi pergi dari Sudan ke Sudan Selatan. Lonjakan pengungsi ini menimbulkan konflik baru bagi Sudan Selatan.

Namun, bila ditelaah, krisis air bersih juga dipengaruhi oleh praktik kebersihan yang buruk akibat faktor pengolahan jamban yang tidak memadai di Sudan Selatan. Hanya 10-17% di Sudan Selatan yang memiliki jamban yang layak. Jamban yang buruk akan mengkontaminasi air dan menjadikannya kotor dan tidak layak untuk diminum. Menurut laporan Oxfam International (2024), lebih dari 300 orang di Sudan Selatan berbagi satu keran air di jamban yang tersebar pada beberapa pusat transit migran. Pengelolaan jamban yang tidak aman dan pembuangan kotoran ke lingkungan menyebabkan pencemaran. Penduduk lokal juga terbiasa membuang kotoran di sungai, kolam, atau sumur terbuka. Hal ini ditambah sekitar 61% penduduk masih melakukan praktik buang air besar dan membuang kotoran hewani secara sembarangan; dengan proporsi tertinggi terjadi di pedesaan dibandingkan perkotaan. Kebiasaan-kebiasaan ini sulit dihapuskan (Borgomeo et al, 2023; p. 6-8). 

Kelangkaan air bersih di Sudan Selatan diperparah dengan akses suplai yang minim sebab hanya terkoneksi melalui jaringan pipa kecil, lubang bor, dan beberapa stasiun pengisian air umum di tepi sungai Nil. Sudan Selatan menjadi salah satu dari 10 negara yang berbagi sungai Nil, yang merupakan sumber air utama dan satu-satunya. Sebagian jaringan pipa publik yang disalurkan dari sungai Nil berasal dari pasokan air swasta skala kecil, tapi di sisi lain telah menghasilkan air sebagai komoditas yang relatif mahal dan berkualitas rendah. Sudan Selatan juga masih bergantung pada ratusan truk untuk memompa air dari Sungai Nil yang kotor dan tercemar. Air tersebut lalu disalurkan ke seluruh kota atau pemukiman. Satu drum air bersih dari truk tangki air berharga 3.000 pound Sudan Selatan atau sekitar US$2 (Mimbuge, 2024).

Selain itu, buruknya pasokan air bersih di negara tersebut juga dipengaruhi oleh penggunaan filter air yang sudah tua. Setiap individu di Sudan Selatan memiliki akses ke sekitar 3.936 m3 dari total sumber daya air terbarukan tahunan yang berada di atas ambang batas tekanan air yang ditetapkan oleh Indeks Falkenmark. Jauh di bawah kriteria tekanan air sebesar 25%, ekstraksi air tawar hanya mencakup 4,23% dari total sumber daya Sudan Selatan atau kurang dari 5,7% secara rata-rata di seluruh Afrika sub-Sahara. Tentu beberapa hal tersebut membuktikan bahwa pendistribusian air kepada masyarakat Sudan Selatan bersifat tidak efisien (Borgomeo et al, 2023; p. 25-30).

Sudan Selatan termasuk negara di Kawasan Afrika yang memiliki curah musim hujan yang tinggi. Namun,hujan ini selalu disertai cuaca ekstrem yang menyebabkan seringnya terjadi banjir sehingga mencemari sumber air dan berdampak buruk pada ketersediaan air minum bersih. Cuaca ekstrem tersebut tidak lepas dari fenomena perubahan iklim. Banjir pada Mei-November 2021 yang sangat dahsyat misalnya, berdampak pada 9 dari 10 negara bagian. Banjir ini kemudian berpotensi mengkontaminasi sumber air karena meluapnya lubang jamban, seperti saluran irigasi dan sumur bor yang tidak terlindungi. Titik-titik air yang aman ikut terendam banjir sehingga memaksa masyarakat menggunakan air kotor(Kose & Kongas, 2023). Ini juga sekaligus menyebabkan anak-anak berisiko lebih tinggi mengalami dehidrasi hingga kematian jika tidak ditangani.

Selain itu, sebagian besar air di Sudan Selatan sangat tercemar oleh segala jenis limbah kimia dan pestisida yang dihasilkan oleh pabrik dan petani. Limbah tersebut dibuang ke banyak sistem perairan dan sungai. Infeksi menyebar secara cepat melalui sistem air sehingga banyaknya penduduk yang terinfeksi beragam penyakit. Karena cepatnya penyebaran penyakit di air, banyak penduduk setempat terpaksa meninggalkan sekolah dan bekerja, melakukan perjalanan berjam-jam atau terkadang berhari-hari hanya untuk mencari sumber air bersih.

Karena hanya 2% persentase air yang digunakan untuk keperluan rumah tangga, berarti banyak keluarga sering kali terpaksa minum air yang terkontaminasi. Infrastruktur sanitasi yang tidak memadai dan kurang menyebabkan jutaan orang meninggal karena penyakit diare, malaria, kolera, hepatitis, parasit usus, tifus, atau cacing Guinea akut setiap tahunnya. Bahkan sebagian besar korban terdiri anak-anak dan jumlah mereka dari sepertiga di bawah usia lima tahun telah menderita diare (77%) dan berujung kematian (Guyson, 2024). Penyakit yang disebabkan air yang tidak layak telah membunuh lebih dari 2.000 anak setiap hari (jumlah yang lebih besar dibandingkan jumlah korban akibat AIDS, malaria, dan campak).

Hydro-diplomacy sebagai Jawaban Bagi Sudan Selatan

Hydro-diplomacy mencerminkan kesadaran bagi Sudan Selatan bahwa penggunaan, pengelolaan, dan perlindungan sumber daya air pada hakikatnya akan mencegah dan mengurangi risiko penyakit yang dialami setiap keluarga akibat konsumsi air kotor, serta menyelesaikan terkait permasalahan sumber daya air lainnya. Menurut definisi dari Ganesh Pangare (2014), hydro-diplomacy merupakan instrumen diplomatik untuk menjadikan sumber air sebagai langkah proposional untuk mencapai komitmen perdamaian dan kerja sama dalam mencegah krisis pasokan dan kualitas air maupun sanitasi di suatu negara hingga global di masa depan. 

Hydro-diplomacy dapat dimanfaatkan sebagai mekanisme yang efisien menuju integrasi masa depan melalui interaksi lingkungan dan sosial-ekonomi di Sudan Selatan. Perihal penyelesaian kasus krisis air dan sanitasi bersih, diperlukan upaya yang kolaboratif dari pemerintah melalui pendekatan hydro-diplomacy dengan NGO dan tak terkecuali negara-negara maju untuk mendukung pembangunan infrastruktur terkait air dan sanitasi bersih, serta memberikan pendidikan yang lebih baik tentang praktik kebersihan di Sudan Selatan. Pendidikan tersebut meliputi mencuci tangan yang benar, etika membuang air besar di toilet yang telah disediakan, serta membersihkan fasilitas penyimpanan air. Tujuan pendidikan perihal praktik kebersihan akan melatih para penduduk untuk memahami bagaimana membiasakan hidup yang bersih.

Melalui pendekatan hydro-diplomacy, berbagai organisasi internasional berdedikasi untuk kerja sama dengan pemerintah Sudan Selatan dalam memulai berbagai proyek untuk mengatasi masalah tersebut sepanjang tahun 2023-2024, dengan fokus pada implementasi pengeboran sumur dan pengolahan air (Guyson, 2024).

  1. Water for South Sudan telah menjadi pemain kunci dalam hal ini dan telah mengebor lebih dari 600 sumur di wilayah Upper Nile, Bahr el Ghazal, dan Equatoria. Setiap tahun, organisasi nirlaba tersebut berupaya mengebor sumur-sumur baru untuk memenuhi permintaan air bersih yang terus meningkat.
  2. Water Charity merehabilitasi 20 sumur bor, yang memberi manfaat bagi sekitar 50.000 penduduk Sudan Selatan. Proyek tersebut memastikan bahwa sumur yang ada akan berfungsi secara efisien dalam menyediakan akses tanpa gangguan ke air bersih.
  3. Berbagai proyek berskala kecil juga memberikan kontribusi yang signifikan. Misalnya, Wells for Hope telah menyelesaikan pembangunan sumur di desa-desa seperti Luak Mayual dan Atiaba, yang menyalurkan air bersih langsung ke masyarakat setempat.
  4. UNICEF telah memainkan peran penting dalam memulihkan dan membangun instalasi pengolahan air, terutama bagi penduduk di wilayah Wau. Instalasi tersebut telah secara efektif mencegah wabah kolera dengan menyediakan air minum yang aman.
  5. UNMISS secara inovatif mendanai pabrik pengolahan air bertenaga surya, terutama di daerah terpencil seperti Pieri. Pabrik-pabrik tersebut menggunakan energi terbarukan untuk menyediakan air bersih dan layak minum bagi penduduk dan para pengungsi yang kembali, sehingga membantu masyarakat untuk berkembang.
  6. MENA-Water telah menerapkan instalasi air minum dalam wadah. Instalasi tersebut sangat penting di beberapa wilayah Sudan Selatan yang mungkin tidak memiliki infrastruktur tradisional, karena menawarkan solusi yang portabel dan efisien untuk pemurnian air.

Komitmen Pemerintah Sudan Selatan untuk Mengakhiri Water and Sanitation Insecurity

Krisis air bersih dan sanitasi layak masih menjadi problematika yang belum terselesaikan hingga dewasa ini; sebab dinamika tumpang tindih atas solusi untuk mengakhiri krisis air berkepanjangan, mengingat bahwa air merupakan hal primer yang sangat berkaitan dengan survival manusia. Oleh karena itu, dalam memenuhi SDGs Goals ke-6 “Clean Water and Sanitation”, pemerintah Sudan Selatan juga mengumumkan penandatanganan Global Compact on Water and Sanitation sejak 3 Juni 2024. Perjanjian ini dideklarasikan sebagai komitmen pemerintah Sudan Selatan untuk mengatasi krisis air bersih di negara tersebut. Sudan Selatan telah mengalokasikan US$56 juta (setara dengan hampir 2% PDB negara tersebut) untuk mendukung strategi global tersebut, yang mencakup pemberdayaan masyarakat untuk mengakhiri buang air besar sembarangan pada tahun 2030 dan mempercepat pengesahan RUU Air Bersih untuk memastikan persediaan air yang aman (The Water Diplomat, 2024). 

Namun, langkah-langkah yang diperlukan agar SDGs No. 6 terwujud secara konsisten oleh Pemerintah Sudan Selatan dapat ditelusuri melalui Perjanjian Presiden tentang Air dan Sanitasi (Alhattab, 2023), yang berisi poin-poin sebagai berikut.

  1. Memanfaatkan pendanaan dari donor internasional diperlukan dengan sebaik mungkin, untuk memastikan penduduk lokal memperoleh cukup air bersih dan mengurangi penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air.
  2. Merehabilitasi 50 lubang bor pompa tangan dan mengubah 3 lubang bor pompa tangan menjadi pompa tangan yang tahan iklim di Sudan Selatan, untuk mendukung klorinasi air yang efektif dengan disalurkan melalui truk air.
  3. Pembangunan blok fasilitas sanitasi umum di tempat umum, sekolah dan fasilitas kesehatan.
  4. Pemasangan kios air yang dikelola masyarakat untuk memasok air minum yang terjangkau dan aman di setiap desa.
  5. Pemasangan sistem penerangan tenaga surya di fasilitas sanitasi umum.
  6. Melatih komite pengelolaan air masyarakat, penggiat kebersihan, dan mekanik pompa tangan.
  7. Membangun ribuan jamban sebagai respon untuk menghentikan praktik buang air besar sembarangan.

Perjanjian tersebut melegitimasi Sudan Selatan untuk meningkatkan kapasitas pengumpulan air, desalinasi, efisiensi air, pengolahan air limbah, teknologi daur ulang dan penggunaan kembali. Berkaca dari hal tersebut, Sudan Selatan mulai berkomitmen dengan SDGs goals ke-6 tersebut untuk memenuhi akses terhadap layanan air dan sanitasi berkualitas sebagai kebutuhan dasar di masa depan. Dengan demikian, komitmen pemerintah dan dorongan kerja sama internasional akan mendorong kesejahteraan penduduk di Sudan Selatan agar menikmati air minum yang bersih dan layanan sanitasi yang dikelola dengan aman; untuk menjadi landasan mendasar bagi pembangunan manusia dan perekonomian yang berkelanjutan, serta ketahanan dalam menghadapi perubahan iklim.

Daftar Pustaka

Alhattab, S. (2023, 21 Agustus). Malawi and South Sudan Announce Presidential Compacts on Water and Sanitation. Unicef. https://www.unicef.org/press-releases/malawi- and-south-sudan-announce-presidential-compacts-water-and-sanitation

Amref Health Africa. (2021, 3 Februari). South Sudan: Improving Access to Clean Water for Communities. Africa Renewal. https://www.un.org/africarenewal/magazine/february-2021/south-sudan-improving- access-clean-water-communities

Barnaba, B. J. E. (2015, 29 Oktober). The Case of Climate Change And Human Security In South Sudan. Nyamilepedia. https://www.nyamile.com/south-sudan/education/the- case-of-climate-change-and-human-security-in-south-sudan/

Borgomeo, Edoardo, Claire Chase, Nicolas Salazar Godoy, & Victor Osei Kwadwo. (2023). Rising from the Depths: Water Security and Fragility in South Sudan. World Bank Publications.

Guyson, N. (2024, 12 Juli). The Water Crisis in South Sudan: A Ticking Time Bomb. Development Aid. https://www.developmentaid.org/news-stream/post/182078/the-water-crisis-in-south-sudan/

Kemisa, B. (2023, 19 Mei). South Sudan: Water Crisis at the Border as Tens of Thousands Flee Sudan. Norwegian Refugee Council. https://www.nrc.no/perspectives/2023/south-sudan-water-crisis-at-the-border-as-tens-of- thousands-flee-sudan/

Kose, Musa & Kongas, Kuyu. (2023). Impact of Climate Change on Water Resources in South Sudan. Eurasian Journal of Agricultural Research, 7(1), 29-36.

Kut, Kwai Malak Kwai, Ankur Sarswat, Jochen Bundschuh, & Dinesh Mohan. (2018). Water as Key to the Sustainable Development Goals of South Sudan – A Water Quality Assessment of Eastern Equatoria State. Researchgate, 255-270.

Mimbuge, D. M. (2024, 29 Juli). Water Insecurity Brings Misery to South Sudan. InfoNile. https://infonile.org/en/2024/07/water-insecurity-in-south-sudan/

Oxfam International. (2024, 28 Februari). South Sudan: More Than 300 People Share a Single Water Tap, As Transit Centers Hold Three Times Their Capacity, Increasing Risk of Cholera Outbreak – Warns Oxfam. https://www.oxfam.org/en/press-releases/south-sudan-more-300-people-share-single-water-tap-transit-centers-hold-three-times

Pangare, Ganesh. (2014). Hydro Diplomacy: Sharing Water Across Borders. Academic Foundation.

Roach, Emma Lauren, & Al-Saidi, Mohammad. (2021). “Rethinking Infrastructure Rehabilitation: Conflict Resilience of Urban Water and Energy Supply in the Middle East and South Sudan.” Energy Research & Social Science, 76, 102052.

The Water Diplomat. (2024, 6 Juni). South Sudan Signs Global Compact on Water, Sanitation and Hygiene. https://www.waterdiplomat.org/story/2024/06/south-sudan-signs-global-compact-water-sanitation-and-hygiene

World Bank. (2023, 2 Mei). Water Security and Fragility: Insights from South Sudan. https://www.worldbank.org/en/news/immersive-story/2023/04/25/water-security-and- fragility-insights-from-south-sudan

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *