Aksi Diskriminasi Rasial di AS yang Mengakar Sejak Lama

0

Martin Luther King, Jr. Sumber gambar: pixabay.com

Dunia hubungan internasional pasca perang dingin tidak lagi hanya berfokus pada isu keamanan militer saja, tetapi meluas ke arah isu keamanan non militer seperti keamanan manusia. Di antaranya ialah yang berkaitan dengan isu diskriminasi terhadap suatu ras yang dapat mengancam stabilitas keamanan dan pertahanan negara. 

George Floyd merupakan seorang warga kulit hitam yang dibunuh oleh seorang polisi berkulit putih di wilayah Minneapolis, Amerika Serikat (AS). Dia dituduh menggunakan uang palsu dalam transaksi jual beli rokok. Ini merupakan sebuah tindakan diskriminasi ras secara nyata yang mendapat perhatian besar oleh dunia internasional saat ini. Tindakan diskriminasi ras tersebut mengalihkan perhatian publik dari isu pandemi COVID-19 serta mengganggu stabilitas keamanan dan pertahanan di dalam negara AS. 

Ulah polisi berkulit putih tersebut memicu aksi protes besar-besaran dari warga AS. Misalnya di beberapa wilayah AS aksi protes tersebut berubah menjadi aksi penjarahan di pusat perbelanjaan barang mahal dilengkapi dengan aksi membakar sejumlah mobil polisi dan pembakaran serta perusakan properti di area taman Gedung Putih AS. Presiden AS Donald Trump sendiri malah mendukung aksi diskriminasi ras terhadap warga Afro-Amerika di dalam negaranya sejak lama. Menurut saya, aksi protes yang dilaksanakan oleh warganya tersebut adalah hal yang wajar. Tidak seharusnya aksi protes tersebut malah dikecam oleh Presiden Donald Trump dengan mengancam penyerangan balik menggunakan militer yang justru semakin memicu eskalasi konflik dalam negaranya. 

Aksi tindakan diskriminasi ras tersebut juga mengganggu stabilitas keamanan dan pertahanan di luar negara AS. Misalnya tindakan diskriminasi ras tersebut membuat hubungan AS dan China semakin memanas. China menilai tindakan warga kulit putih AS tersebut merupakan penyakit kronis yang tidak bisa hilang dan AS seperti bermuka dua, di satu sisi berkoar-koar menyebarkan ajaran demokrasi serta mendukung aksi protes kemerdekaan Hongkong sedangkan di dalam negaranya sendiri aksi protes terhadap tindakan diskriminasi ras, George Floyd sangat dikecam dan warga yang memprotes dicap sebagai ‘perusuh’.

Sebenarnya tindakan diskriminasi ras terhadap warga Afro-Amerika telah lama hidup di wilayah Minneapolis, AS. Dilansir dari Associated Press, selama bertahun-tahun kepolisian dan peradilan pidana di Minneapolis memiliki hubungan buruk dengan warga keturunan Afro-Amerika. Minneapolis sendiri merupakan kota dengan jumlah penduduk hampir mencapai 430.000 jiwa, terdiri dari 60 persen warga kulit putih, dan sisanya 19 persen warga kulit hitam. Departemen Kepolisian Minneapolis juga beranggotakan lebih dari 800 petugas yang masih didominasi oleh warga kulit putih. Bahkan mantan Wali Kota, RT Rybak dan Senator Minneapolis, Jeff Hayden juga menyalahkan tindakan aksi kepolisian Minneapolis yang masih membiarkan budaya melindungi anggota polisi yang brutal mendiskriminasi ras Negroid dan tidak melakukan reformasi keanggotaan (Kompas, 2020).

Secara historis, tindakan diskriminasi ras terhadap warga berkulit hitam sudah mengakar sejak lama di banyak negara bagian di AS. Tindakan ini tetap ada sampai sekarang karena telah berkembang jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan AS tahun 1776. Banyak warga kulit putih di benua Amerika yang memanfaatkan warga kulit hitam sebagai budak. Pada tahun 1619, warga kulit hitam yang berasal dari Afrika tersebut dibawa oleh Kerajaan Britania Raya untuk menjadi budak di wilayah Virginia, AS (Kennedy, 2011). Akhirnya pada tahun 1776 negara AS berdiri dan merdeka dari Kerajaan Britania Raya, namun praktek perbudakan masih terjadi di wilayah AS. 

AS pun terbagi menjadi dua blok yaitu, blok utara dan blok selatan. Blok selatan yang berbasis agraris lebih membutuhkan banyak pekerja (budak) dibandingkan dengan blok utara yang berbasis industri. Perbudakan juga menjadi penyebab utama terjadinya perang saudara (civil war) di AS. Kemudian pada tahun 1861 Abraham Lincoln dilantik menjadi Presiden AS ke-16. 

Masa pemerintahan Lincoln diwarnai dengan kekalahan dari pihak Negara Konfederasi yang pro terhadap perbudakan dalam perang saudara. Lincoln pun mengeluarkan dekrit Proclamation of Emancipation dengan tujuan memerintahkan penghapusan praktik perbudakan di seluruh wilayah AS. Setelah itu Lincoln memasukkan amandemen pasal ke-13 dalam UUD AS yang berfokus dalam menyoroti isu kesetaraan hak dan kewajiban bagi seluruh warga AS tanpa terkecuali (Liputan 6, 2018).

Amandemen tersebut pada awalnya hanya dianggap peraturan biasa oleh warga kulit putih khususnya di bagian selatan AS. Mereka pada saat itu masih melaksanakan tindakan diskriminasi pemisahan dengan warga Negroid. Bentuk pemisahan dilakukan di bus, toilet umum, tempat duduk bioskop, sarana pendidikan dan lainnya. Tindakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya hukum kenegaraan AS pada tahun 1876-1965, yang dikenal dengan UU Jim Crow. UU tersebut membahas pemisahan hak-hak sipil antara warga kulit putih dan warga kulit hitam. Peraturan tersebut dibentuk karena pemerintah ingin membuat tatanan sosial di AS kembali berjalan dengan baik. 

Semakin berkembangnya tindakan diskriminasi ras terhadap warga kulit hitam tersebut pada saat itu akhirnya memunculkan gerakan Civil Right Movement atau gerakan yang memperjuangkan hak-hak sipil. Perjuangan untuk penegakan persamaan status bagi warga Negroid AS secara hukum ini dipimpin oleh aktivis kulit hitam, Martin Luther King Jr. Ia mampu menggugah hati nurani warga AS saat itu dengan pidato fenomenalnya yang berjudul “I Have a Dream” (Malik, 2017). Perjuangan yang terus bergulir melalui pidato tersebut pun menghasilkan pelolosan UU Hak Sipil 1964 oleh pemerintah federal AS. UU tersebut melarang adanya diskriminasi ras di fasilitas milik publik. Kemudian pada tahun 1968, UU Hak Sipil disahkan kembali dengan pembaharuan seperti mengatur larangan diskriminasi dalam perumahan dan transaksi, terkait perumahan atas dasar ras, agama, atau asal negara (Kompas, 2018). Puncak tertinggi dampak dari pidato Martin tersebut terjadi pada tanggal 21 Desember 1965. 

Majelis Umum PBB saat itu mengesahkan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Jusuf, 2005). Akan tetapi, pada kenyataannya sampai abad ke-21 saat ini tindakan diskriminasi di AS masih terjadi, bahkan di tengah pandemi COVID-19. Padahal AS merupakan kiblat terdepan dalam dunia internasional yang mengagungkan nilai demokrasi, kebebasan, persamaan hak dengan konstitusi dan ideologinya yang Liberal. Namun pada kenyataannya hingga saat ini praktek diskriminasi ras masih terus lancar dilaksanakan. 

Menurut saya tindakan diskriminasi terhadap Negroid di wilayah AS akan terus terjadi selama pemerintahnya mendukung dan tidak memberikan sanksi secara tegas. Pernyataan tersebut menurut saya dapat dilihat dari sikap Presiden Donald Trump yang secara terang-terangan kerap kali mengeluarkan pernyataan diskriminasi terhadap etnis minoritas, termasuk warga Negroid di dalam wilayah negaranya. Pada Januari 2018 lalu, Trump menegaskan bahwa dirinya lebih memilih untuk menampung para imigran kulit putih dari negara Eropa Barat daripada imigran kulit hitam dari negara Afrika. Ia bahkan menganggap negara Afrika sebagai “negara yang brengsek” (CNN Indonesia, 2019). Menurut saya, selagi pemerintahan negara AS dikuasai dengan politik nativisme, tindakan diskriminasi terhadap warga kulit hitam serta minoritas lainnya akan tetap terjadi. Politik nativisme adalah sebuah ideologi politik yang memandang bahwa kepentingan penduduk asli harus dilindungi dari keberadaan imigran (Higham, 2002). Penduduk asli di AS tersebut adalah ras kulit putih. 

Tindakan Trump yang cenderung melawan para demonstran yang melaksanakan aksi protes atas kematian George Floyd ini menurut saya merupakan taktik politiknya agar melindungi warga yang telah mendukung dan memenangkannya pada pemilu tahun 2016 lalu yang didominasi oleh mayoritas kulit putih dalam partai Republik. Apalagi Trump akan kembali mencalonkan dirinya sebagai Presiden AS pada pemilu mendatang, tentu saja Trump semakin abai terhadap isu diskriminasi warga Negroid yang tidak memiliki kontribusi besar terhadap kemenangannya sebagai Presiden. Selagi pemimpin negara AS masih mendukung dan mencerminkan aksi kebijakan yang memicu tindakan diskriminasi ras, maka isu diskriminasi ras tidak akan pernah hilang di wilayah AS. Selagi penguasaan seluruh sistem di wilayah negara AS didominasi oleh warga kulit putih dengan perasaan egois ingin berkuasa, maka isu diskriminasi ras terhadap warga Negroid akan terus berkembang dan mengganggu stabilitas keamanan serta pertahanan negara.

Oleh karena itu, menurut saya seharusnya dalam hal ini dunia internasional tidak harus diam saja, tetapi harus bergerak secara bersama mengambil langkah tegas guna memberantas tindakan diskriminasi ras terhadap warga Negroid di wilayah AS tersebut serta negara lainnya. Negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB harus mulai bertindak tegas memberikan sanksi terhadap negara yang melakukan tindakan diskriminasi ras di wilayahnya, bukan hanya sekadar peringatan kecaman belaka saja. Dewan Keamanan PBB seharusnya turun tangan secara langsung meninjau setiap lokasi yang menunjukkan dukungan aksi tindakan diskriminasi ras. Resolusi sebelumnya mengenai larangan tindakan diskriminasi ras khususnya terhadap warga Negroid dalam wilayah negara yang telah dibuat, seharusnya lebih dipertegas kembali pelaksanaannya. Dengan membentuk Dewan Penyelidik Khusus misalnya, untuk menuntut setiap negara yang melakukan tindakan diskriminasi ras.

Namun di sisi lain, menurut saya dunia internasional tidak cukup dapat memberhentikan kasus diskriminasi ras terhadap warga Negroid ataupun minoritas lainnya dalam suatu wilayah negara dengan cara mengandalkan aspek pemikiran Neoliberal Institusionalisme seperti memanfaatkan PBB atau organisasi yang anti terhadap tindakan diskriminasi ras saja. Negara seharusnya belajar dari situasi diskriminasi ras di Rwanda, Burundi, Bosnia dan Kosovo pada dekade 1990-an lalu yang ditangani oleh kinerja PBB dengan setengah hati dan lamban, sehingga menyebabkan ratusan ribu warga tewas secara sia-sia. 

Menurut saya sudah seharusnya negara mulai saat ini juga mengharapkan aspek pemikiran Konstruktivisme yang didalamnya terdapat nilai konstruksi sosial yang dapat memberantas aksi tindakan diskriminasi ras yang terjadi di wilayah AS atau lainnya secara lebih efektif. Setiap negara seharusnya mulai melakukan perubahan konstruksi sosial. Menurut Hadiwinata (2017), konstruksi sosial adalah proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang diyakini dan dialami secara bersama dalam bentuk subjektif. Seharusnya setiap warga negara di dunia saat ini mulai merubah konstruksi sosialnya yang mengagungkan suatu ras tertentu secara berlebihan yang didukung dengan merendahkan ras lain (tindakan diskriminasi). Setiap warga negara harus menghilangkan rasa bangga atas warna kulitnya yang dilakukan secara fanatik serta brutal terhadap warna kulit lain, khususnya warna kulit minoritas. 

Menurut saya perubahan konstruksi sosial yang dilakukan oleh individu atau warga negara sebagai pelaku utama tindakan diskriminasi ras juga seharusnya diimbangi dengan aksi aktor lainnya di dalam setiap bagian kehidupan negara serta sistem di dalamnya. Misalnya, media massa. Media massa sering kali menciptakan framing bahwa warga dengan ras kulit putih derajatnya lebih tinggi, superior dari warga ras Negroid. Media massa mulai saat ini seharusnya tidak lagi mengiklankan suatu tindakan diskriminasi ras terhadap Negroid. Apalagi pengguna media massa di era globalisasi saat ini terus bertambah. Menurut saya dengan adanya gerakan perubahan melalui media massa tersebut akan memberikan dampak yang luas kepada seluruh warga negara di dunia secara perlahan, namun pasti untuk tidak lagi melakukan tindakan diskriminasi ras minoritas yang dapat merusak stabilitas keamanan dan pertahanan negara.

Daftar Pustaka

Buku

Hadiwinata, Bob Sugeng. (2017). Studi dan Teori Hubungan Internasional. Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Higham, J. (2002). Strangers in the land: Patterns of American Nativsm, 1860-1925. Rutgers University Press.

Kennedy, John F. (2011). Amerika Serikat Bangsa Kaum Imigran. Kreasi Wacana.

Jurnal

Darmawan, Wawan dan Ari Kamal Malik. (2007). Rekam Jejak Malcolm X Dalam Penegakan Hak Sipil Orang Kulit Hitam Amerika Serikat 1957-1965. Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah. 6(2). 181.

Sumber Online

CNN Indonesia. (2019, 16 Juli). Jejak Rasial Trump Tuding Obama Muslim Hingga Benci Imigran. https://m.cnn.indonesia.com/internasional/2019076114013-134-412497/jejak- rasial-trump-tuding-obama-muslim-hingga-benci-imigran.

Jusuf, Ester Indahyani. (2005, 6 Oktober). Konvensi Diskriminasi Anti Rasial. https://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_Anti_Diskriminasi_Rasial.pdf.

Kompas. (2020, 30 Mei). Sebelum Kematian George Floyd, Rasisme di Minneapolis Sudah Marak Terjadi. https://www.kompas.com/global/read/2020/05/30/222712870/sebelum- kematian-george-floyd-rasisme-di-minneapolis-sudah-marak-terjadi?page=2.

Kompas. (2018, 4 April). Biografi Tokoh Dunia Martin Luther King Jr Tokoh Persamaan Hak Sipil. https://internasional.kompas.com/read/2018/04/04/18270661/biografi-tokoh-dunia- martin-luther-king-jr-tokoh-persamaan-hak-sipil.

Liputan 6. (2018, 31 Januari). 31-1-1865: Abraham Lincoln Akhiri Perbudakan di Amerika Serikat. https://m.liputan6.com/read/3243911/31-199865-abraham-lincoln- akhiri- perbudakan-di-amerika-serikat.

Rachma Putri merupakan mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Tanjungpura. Penulis dapat dihubungi melalui akun Instagram @rachmaxputri. Sangat senang menerima saran, kritik, dan juga berdiskusi seputar kehidupan dan dunia Hubungan Internasional.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *