Akuisisi SM Entertainment oleh HYBE dan Bahaya Monopoli K-pop

0

Gedung perusahaan musik K-pop HYBE di Korea Selatan. Foto: Soompi

Bagi penggemar K-Pop, nama SM Entertainment (SM) tentu bukan merupakan sesuatu yang asing. Perusahaan hiburan ini merupakan salah satu yang terbesar di Korea Selatan dan telah mencetak idol-idol terkenal seperti Super Junior, Girls’ Generation, Red Velvet, NCT, dan Aespa. Selama bertahun-tahun, SM Entertainment bersama YG Entertainment, JYP Entertainment dan HYBE atau yang kerap disebut the Big Four dalam pasar hiburan Korea Selatan. Dinamika diantara the Big Four selama ini berlangsung relatif stabil, sehingga memungkinkan kompetisi konstruktif dalam dunia hiburan Korea Selatan. Akan tetapi, beberapa kompetisi konstruktif tersebut kini mulai terancam oleh suatu perkembangan baru.

Ancaman ini datang pada akhir Februari lalu saat HYBE secara resmi mengakuisisi sebagian saham yang dimiliki Lee Soo-man di SM Entertainment. Pengakuisisian ini mencapai 14.8% dari seluruh saham SM Entertainment dan bernilai sekitar 422,8 miliar won Korea Selatan atau $322 juta dollar AS. Dengan akuisisi ini, HYBE pun menjadi pemegang saham SM Entertainment terbesar yang memiliki privilese untuk dapat pula membeli perusahaan jika mampu dan bersedia. Keadaan ini pun memicu kontroversi di Korea Selatan—terutama di kalangan penggemar K-pop yang menganggap hal ini merupakan salah satu upaya HYBE untuk memonopoli pasar dan mengambil alih SM secara agresif. 

Hostile Takeover

Kasus akuisisi SM Entertainment ini menjadi contoh dari praktik yang disebut dengan hostile takeover. Hostile atau tidaknya suatu takeover dapat dilihat melalui beberapa aspek. Pertama, ketiadaan persetujuan dari para staff SM sendiri. Menurut survey yang dilakukan terhadap 600 staff SM Entertainment, 85% menyatakan bahwa mereka menolak akuisisi HYBE terhadap SM. Menurut mereka, akuisisi ini seakan-akan meniadakan kerja keras yang telah SM lakukan untuk menjadi perusahaan terbaik dalam dunia hiburan Korea Selatan serta menyangkal nilai-nilai dan tradisi yang telah dibangun SM sejak dulu. 

Di samping itu, CFO SM Entertainment, Cheol Hyuk Jang, juga menyatakan bahwa akuisisi terjadi dengan sangat cepat dan sama sekali tidak dikonsultasikan kepada board of directors SM Entertainment. Hal ini tentu saja cukup merugikan bagi SM karena akuisisi ekspres dapat menjadi salah satu masalah yang perlu melalui pemeriksaan awal Korean Fair Trade Commission (KFTC). Hasil dari pemeriksaan awal ini dapat berupa penolakan, persetujuan bersyarat, ataupun penangguhan yang berisiko menyebabkan penurunan harga saham SM, perampingan perusahaan, ataupun keterlambatan perkembangan perusahaan. 

Sementara itu, dari sisi HYBE, kejanggalan ditemukan dalam pengelolaan akuisisi yang kurang transparan. Secara keseluruhan, akuisisi HYBE terhadap SM membutuhkan dana sekitar 1 miliar won. Untuk mendapatkan jumlah yang besar tersebut, HYBE perlu mengajukan utang jangka pendek yang memerlukan persetujuan board of directors berdasarkan sistem voting. Kendati demikian, beberapa sumber mengatakan bahwa mekanisme persetujuan ini sama sekali tidak melalui voting board of directors dan sampai saat ini publik tidak mengetahui bagaimana pinjaman sebesar itu dapat disetujui oleh seperangkat manajemen yang bertanggung jawab atas perusahaan. 

Di luar rivalitas manajemen SM dan HYBE, media hiburan Korea Selatan Dispatch, menguak bahwa sejatinya pembelian HYBE atas saham Lee Soo-man sangat didasari oleh permasalahan internal perusahaan. Jauh sebelum kontroversi ini bermula, konflik nyatanya telah terjadi di antara pemegang saham SM yang oleh adanya transfer keuntungan dan royalti SM secara terpisah ke perusahaan lain milik Lee Soo-man yang bernama LIKE Planning. Hal ini membuat mayoritas pemegang saham merasa dicurangi dan menuntut pemutusan hubungan antara SM dan LIKE Planning. Walaupun demikian, nyatanya LIKE Planning–Lee Soo-man masih memiliki kontrak di mana LIKE masih akan mendapatkan 6% royalti SM hingga 2092. Kenyataan ini tentu tidak menguntungkan Lee Soo-man yang terus dicurigai pemegang saham lainnya. 

Melihat kenyataan ini, HYBE kemudian memanfaatkan posisi tidak menguntungkan Lee Soo-man dengan membeli sahamnya dengan syarat ke depannya LIKE Planning tidak boleh mendapatkan royalti apapun dari SM. Dengan demikian, melalui jumlah uang yang sangat besar dalam akuisisi ini, Lee Soo-man tak hanya mendapatkan keuntungan material, namun juga kebebasan dari kecurigaan terhadap LIKE Planning. 

Monopoli dan Ambisi HYBE

Akuisisi HYBE terhadap SM ini tentunya akan berdampak besar pada industri hiburan Korea Selatan. Salah satu dampak yang tidak dapat dihindari saat dua perusahaan besar mengakuisisi satu atau lainnya adalah terjadinya monopoli dalam K-pop. Dalam kasus ini, monopoli mencakup monopoli pasar (karena gabungan keduanya mencakup 66% keuntungan dunia hiburan Korea Selatan) dan penjualan album serta tiket konser (jika SM diakuisisi HYBE, HYBE akan menguasai 70% penjualan album dan 89% penjualan tiket konser). Monopoli ini tentunya akan berakibat buruk karena memiliki potensi untuk merusak keragaman pasar K-Pop. Hal ini tentunya merugikan para fans sebagai konsumen dengan adanya keterbatasan pilihan. 

Contoh sederhana dalam akuisisi ini, penguasaan manajerial HYBE terhadap SM dapat memungkinkan terjadinya peleburan DearU ke dalam Weverse (keduanya adalah platform pembelian album, merchandise resmi, dan komunikasi dengan idol). Jika hal ini terjadi, penggemar pun tidak mempunyai pilihan lain selain menggunakan Weverse sebagai platform komunikasi dengan idol mereka ataupun membeli official merchandise maupun album yang disediakan Weverse. Hal ini membuat agensi penggemar dikerdilkan karena mereka dikondisikan menjadi pihak yang lemah dan harus menerima produk apa pun yang diberikan oleh produsen.

Selain itu, dampak monopoli dapat pula menghasilkan penyalahgunaan kekuatan ekonomi. Dalam kasus ini, penyalahgunaan kekuasaan dapat dikaitkan dengan penjualan tiket konser. Menurut Jang, jika ditotal, HYBE dan SM menguasai sekitar 70% pasar artis K-pop dengan popularitas tertinggi berdasarkan penjualan album. Pengetahuan bahwa mereka telah memonopoli artis-artis dengan reputasi terbaik ini dapat berujung pada kenaikan “harga jual” artis. Akibatnya, tiket konser pun menjadi lebih mahal. Hal ini misalnya dapat dilihat pasca akuisisi HYBE terhadap Pledis Entertainment. Dengan pengetahuan bahwa saat itu salah satu boygroup Pledis, Seventeen, dinilai berpengaruh besar di dunia hiburan Korea Selatan oleh para fans, HYBE pun menaikkan harga tiket konser Seventeen menjadi dua kali lipatnya. 

Kedepannya, hal ini tentunya akan paling merugikan penggemar—utamanya penggemar SM yang sejak awal berita akuisisi disiarkan telah melancarkan kecaman terhadap HYBE. 

Selain kenaikan harga konser, penguasaan akan 70% pasar artis K-pop dengan popularitas tertinggi ini justru dapat memiliki efek bumerang bagi para artis SM. Sebab, jumlah album yang dapat dihasilkan oleh gabungan idol SM dan HYBE dapat mencapai sekitar 100 per tahunnya. Jumlah yang besar ini melampaui jatah rilis album dalam setahun yang telah ditetapkan dalam peraturan industri dunia hiburan Korea Selatan. Hal ini berarti, setelah akuisisi terjadi, HYBE harus menekan jumlah album yang dihasilkan. Penekanan jumlah album dan jumlah artis yang sudah banyak dari HYBE sendiri dapat melahirkan risiko berupa peminggiran artis SM—utamanya yang dianggap HYBE sudah tidak menguntungkan.  

Kendati menemui halangan berupa kecaman tersebut, HYBE nyatanya tetap melanjutkan proses akuisisinya terhadap saham Lee Soo-man di SM. Bagi Bang Si Hyuk, pendiri HYBE, upaya ini dilakukan HYBE karena adanya kebutuhan mendesak untuk mengembangkan K-pop. Dalam salah satu artikel, produser legendaris itu mengatakan bahwa fenomena K-pop yang saat ini dianggap “hot” dan memiliki peluang bisnis luas secara global nyatanya tidak mempunyai pengaruh yang terlalu besar dalam pasar musik global. Keadaan yang disebutnya sebagai “K-pop slowdown ini, menurut Bang, cukup kontras jika dibandingkan dengan musik Latin dan Afrobeat yang semakin berkembang pesat. Karenanya, Bang merasa bahwa ekspansi perusahaan diperlukan agar kpop dapat menaikkan eksposurnya di level global, utamanya di pasar Amerika Serikat. 

Pernyataan Bang ini tentu memicu timbulnya berbagai pertentangan. Pasalnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan agensi berita Yonhap News, selama setahun terakhir ini kpop mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan ini ditunjukkan dengan meningkatnya pendapatan Korea Selatan dari K-pop yang mencapai 26 triliun rupiah. Jumlah kontribusi ini mengalami peningkatan sebesar 47,9% dari tahun 2021. 

Selain itu, beberapa netizen juga mendebatkan ambisi global HYBE yang terlihat seperti obsesi terhadap ekspansi K-pop ke Amerika Serikat saja. Padahal, jelas saja, dunia tidak terbatas di negara Paman Sam tersebut. Saat HYBE berusaha menembus pasar Amerika Serikat, netizen menilai bahwa idol-idol SM yang telah mengadakan berbagai konser di Amerika Latin, Asia Tenggara, Eropa, bahkan Timur Tengah sejatinya memiliki pengaruh kuat di kawasan-kawasan tersebut. Melihat dari cara pandang ini, urgensi untuk menaikkan eksposur di level global versi HYBE tentu menjadi terasa sangat kaku dan Amerika-sentris. 

Hingga kini, akuisisi perusahaan raksasa terhadap perusahaan lainnya masih menjadi isu yang banyak dibicarakan di Korea Selatan, hal ini juga terjadi di dunia hiburan dari tindakan HYBE. HYBE bahkan menyatakan bahwa mereka akan berusaha membeli 25,2% lagi saham SM dari pemilik saham minoritas sehingga secara total perusahaan tersebut dapat menguasai 40% saham di SM Entertainment. Walau hingga kini belum nampak dukungan dari pemilik saham besar lain seperti KB Asset Management dan Badan Pengelola Uang Pensiun Negara, Bang merasa tidak ada yang tidak mungkin terjadi dalam pertemuan pemilik saham SM di tanggal 31 Maret mendatang. 

Sekarini Wukirasih merupakan mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan salah satu anggota dalam tim penulis Kontekstual. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @skrsekar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *