Asal Potong Batas Antar Negara khas Era Kolonialisme Hambat Proses Pembentukan Suatu Negara

0

Bagaimana negara dibentuk di masa kolonialisme picu berbagai hambatan di banyak negara saat ini.

Ilustrasi peta dunia tahun 1626. Foto: pixabay.com.

Mengapa Indonesia berbatasan dengan Malaysia? Mengapa bangsa Malaysia dan bangsa Indonesia, sebagai kebudayaan yang terdefinisikan sebagai rumpun melayu, terpecah menjadi dua bagian negara? Bagi akademisi ilmu sosial, terutama akademisi Ilmu Sejarah dan Hubungan Internasional, pertanyaan ini penting karena menyangkut beberapa hal mendasar dari kedua ilmu tersebut. Bagi Ilmu Hubungan Internasional, pertanyaan ini menyangkut dua hal, yaitu negara yang merupakan aktor utama, dan teritori negara tersebut. Bagi ilmu Sejarah, pertanyaan ini penting karena menyangkut bagaimana sebuah negara tercipta.

Kewarganegaraan Itu Eksklusif, Bung!

Bangsa dan negara merupakan kalimat yang sering digunakan secara bergantian, meskipun secara arti berbeda. Secara mudah, bangsa merupakan suatu kelompok yang memiliki kebudayaan yang relatif serupa dan mendiami suatu teritori sedangkan negara merupakan perwujudan institusi politik dari bangsa di suatu teritori. Dengan kata lain, negara tergantung pada letak geografis, sedangkan bangsa tidak tergantung pada letak geografis selama memiliki kesamaan budaya. Suatu bangsa yang merupakan minoritas dapat tinggal di suatu negara lain yang bangsanya sama sekali berbeda.

Pada awalnya, negara bersifat eksklusif kepada kelompok mayoritas yang mengkonstitusikan negara tersebut. Kelompok di luar mayoritas (yang biasanya didefinisikan memiliki perbedaan budaya) suatu negara dianggap sebagai outsider—orang luar yang dilihat sebagai ancaman terhdap suatu bangsa.

Salah satu anekdot mengenai hal ini adalah bagaimana istilah “barbar”, yaitu istilah untuk mendeskripsikan sesuatu yang tidak beradab, dianggap muncul dari ketidakpahaman bangsa Romawi terhadap bangsa-bangsa yang dianggap bukan bangsa Romawi seperti bangsa Vandal maupun bangsa Goth. Dengan masih terbatasnya metode perpindahan baik teknologi maupun manusia, sebuah negara yang dapat dikatakan eksklusif terdiri dari suatu kelompok mayoritas merupakan suatu hal umum. Meskipun di suatu negara tersebut terdiri beberapa kelompok masyarakat lain, sering kali mereka tidak dianggap sebagai warga negara, bangsa, atau bahkan lebih parah dianggap sebagai budak.

Berdasarkan konvensi Montevideo tahun 1933, suatu negara haruslah memiliki: penduduk, pemerintahan yang berdaulat, wilayah, kesanggupan untuk berhubungan dengan negara lain, dan pengakuan dari negara lain. Tulisan ini berfokus pada poin pertama dan ketiga.

Istilah “Penduduk” dalam artian tata negara bukan hanya sekumpulan manusia yang mendiami suatu ruang fisik. Penduduk dalam konteks negara adalah sekumpulan manusia dengan rasa saling memiliki, akrab, dan memiliki tujuan Bersama yang jelas. Dalam bahasa populer, istilah penduduk ini disebut dengan bangsa. Suatu bangsa kemudian mendiami suatu teritori, menciptakan suatu sistem pemerintahan, dan kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan negara.

Negara-negara yang lahir kemudian sering kali diberi nama berdasarkan dari bangsa yang mendiaminya.  Contohnya seperti Afganistan (tanah bangsa Afgan), Tajikistan (tanah bangsa Tajik), hingga Kazakhstan (tanah bangsa Kazak). Permasalahannya, manusia di dunia ini tidaklah bersifat homogen. Terdapat beragam produk kebudayaan yang tersebar di dunia, mulai dari kesenian, makanan, hingga yang paling utama, adalah bahasa.

Beragam Proses Pembentukan Negara

Seiring berjalannya waktu, negara tidak lagi bersifat eksklusif milik satu bangsa semata. Perkembangan teknologi, khususnya transportasi, menghilangkan eksklusifitas ini. Selain teknologi, pemikiran filosofis juga terus berkembang.

Di era pencerahan, Thomas Jefferson menyatakan bahwa semua manusia adalah setara (all men are created equal). Hal ini membuat suatu negara tidak lagi didefinisikan oleh kelompok mayoritas. Kelompok minoritas juga dianggap memiliki suara dan merupakan bagian dari warga negara.

Kondisi semakin kompleks ketika beberapa dari negara-negara tersebut, muncul beberapa kekuatan besar. Hal ini mendorong terciptanya lingua franca yang bersifat internasional—seperti bagaimana bahasa Prancis digunakan sebagai bahasa diplomatik. Jenis negara kedua ini sering kali terjadi ketika beragam bangsa menduduki suatu teritori kemudian memiliki perasaan kebersamaan antara satu sama lain.

Jenis negara kedua yang paling jelas adalah Amerika Serikat, yang meskipun hingga saat ini didominasi oleh bangsa kulit putih (terutama bangsa Jerman, bangsa Inggris, maupun bangsa Spanyol), namun juga terdiri dari bangsa lain mulai dari bangsa kulit hitam (terutama yang dibawa dari benua Afrika), hingga bangsa Asia (terutama dari Tiongkok dan Jepang). Selain di benua Amerika, jenis negara seperti ini adalah Indonesia, dengan ratusan suku bangsa mengidentifikasikan diri merka sebagai satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Negara jenis kedua ini memerlukan suatu mitos nasional dan narasi kesejarahan yang dapat membuat beragam suku bangsa mengidentifikasikan diri mereka dengan konsep kebangsaan yang lebih besar.

Melting Pot dan Salad Bowl, Cara Mengatur Keberagaman Satu Bangsa dan Negara

Apa yang unik dari jenis kedua ini adalah adanya perbedaan pendekatan dalam mengatur beragamnya negara bangsa di dalam negara ini. Pendekatan pertama adalah melting pot, atau bagaimana keberagaman bangsa ini dijadikan satu bangsa yang unik (distinct) namun dengan tetap mengindahkan perbedaan antar bangsa hingga tingkatan tertentu. Pendekatan ini jelas terlihat di Indonesia, dengan berbagai macam suku yang ada di dalamnya dimasukan menjadi satu yaitu bangsa Indonesia dengan karakteristiknya sendiri. Hal ini kemudian dipertegas oleh Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia “bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia”.

Pendekatan lain adalah salad bowl, di mana setiap keunikan di dalam suatu negara dibiarkan dalam tingkatan lebih besar dibandingkan dengan melting pot namun tetap ada upaya untuk menciptakan kesadaran satu bangsa. Hal ini sangat tercermin dari negara Belgia, di mana negara tersebut tetap menggunakan bahasa Prancis dan juga bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari (bahkan nama tempat ditulis dalam dua bahasa tersebut). Hal ini tentu berbeda dengan pendekatan pertama yang mencoba untuk menciptakan suatu keunikan dari bangsa yang “dikonstruksikan” tersebut.

Ketika Koloni Menggambar Wilayah Negara Jajahan Sesuka Hati

Apakah proses penciptaan negara berjalan dengan lancar? Tentu tidak. Salah satu alasan utama terhambatnya proses penciptaan negara adalah kolonialisme, yang menyebabkan negara-negara Eropa menggambar batas-batas negara sesuka hati di negara-negara jajahannya. Penggambaran batas negara secara “paksa” ini tentu tidak mengindahkan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya, yang tiba-tiba merasa harus bernegara dengan bangsa lain yang mungkin belum saling mengenali satu sama lain. Penciptaan negara seperti ini kemudian menghasilkan bom waktu yang dapat meledak bahkan setelah kolonialisme selesai. 

Satu contoh paling segar dalam ingatan adalah Rwanda. Dua bangsa yang bermusuhan, yakni Hutu dan Tutsi, berada di satu wilayah yang sama dan kemudian berujung kepada genosida tahun 1993. Contoh lain yang lebih terkenal adalah partisi India, di mana wilayah jajahan Inggris dipecah menjadi dua negara berbeda, satu yang mayoritas beragama Hindu (India) dan satu yang mayoritas beragama Islam (Pakistan). Hal ini kemudian menghasilkan konflik sektarian ketika masing-masing bangsa Pakistan maupun India mencoba untuk pindah negara karena masih adanya minoritas di masing-masing negara tersebut. Perbedaan antara proses penciptaan negara seperti ini, dengan dua jenis yang sudah dijelaskan sebelumnya adalah model ini bersifat ‘memaksa’ dan tidak mengindahkan garis batas etnis.

Dengan demikian, jika tiba-tiba muncul pertanyaan mengapa indonesia berbatasan dengan Malaysia, jawabannya sudah jelas: garis batas yang digambar oleh dua kekuatan kolonial masa lampau, yakni Belanda dan Inggris. Orang Melayu yang merupakan mayoritas di Malaysia juga mendiami beberapa kawasan di Indonesia seperti Riau, Batam, dan Kepulauan Riau. Untuk itu, pesan terakhir yang dapat disampaikan sebagai penutup dalam tulisan ini adalah bangsa tidak selalu sama dengan negara.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *