Australia dan COVID-19: Paradoks Keberhasilan dan Kemunduran Demokrasi

0

Bendera Australia. Foto: Wikimedia Commons.

Tepat satu tahun pasca ditemukannya kasus infeksi COVID-19 pertama di Wuhan, saat ini virus tersebut telah menginfeksi 30 juta orang di seluruh dunia dan telah memberikan dampak kerusakan pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Baik negara maju dengan fasilitas kesehatan yang tinggi maupun negara berkembang yang serba terbatas, tidak ada yang terlepas dari jeratan COVID-19. Namun, yang menjadi pembeda adalah kadar kerusakan yang dialami oleh setiap negara. Dalam hal ini, setiap negara dapat mengendalikan penyebaran dan meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Hal tersebut sangat bergantung pada respon kebijakan yang diambil dalam menghadapi pandemi ini. Salah satu negara yang terbilang berhasil menangani COVID-19 adalah Australia. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Australia per 17 November 2020, telah ditemukan 27.777 kasus infeksi COVID-19 dengan total 25.328 sembuh dan 907 orang meninggal dunia. Saat ini kasus aktif harian diestimasikan hanya sebesar 93 kasus di seluruh negara bagian Australia. Angka ini terbilang kecil dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Indonesia, Inggris, hingga Amerika Serikat. Bahkan, berdasarkan data The Deep Knowledge Group mengenai negara teraman dari COVID-19, Australia menempati posisi 6 dari 250 negara di dunia. Peringkat tersebut jauh lebih baik dari Inggris di peringkat 31, Amerika Serikat peringkat 55, dan Indonesia jauh di peringkat 79.

Keberhasilan Australia mengendalikan angka penyebaran COVID-19 tidak terlepas dari respon cepat yang diambil oleh Perdana Menteri Scott Morrison. Menurut Stephen Duckett dan Anika Stobart (2020), setidaknya terdapat empat faktor kunci pengendalian COVID-19 di Australia, yaitu: bekerja sama dengan ilmuwan dan ahli kesehatan; kebijakan penutupan perbatasan dan karantina wilayah (lockdown); kepatuhan masyarakat pada kebijakan pembatasan sosial; serta pemanfaatan teknologi kesehatan. Langkah cepat pemerintah Australia melalui Kabinet Nasional, sebuah kabinet yang berisi Perdana Menteri (PM) dan Premier dari seluruh Negara Bagian, adalah dengan membentuk Australian Health Protection and Principles Committee (AHPPC) yang diisi oleh Kepala Departemen Kesehatan seluruh negara bagian dan dipimpin oleh Menteri Kesehatan Australia. Dalam situasi krisis, Kabinet Nasional memiliki wewenang penuh dan segala keputusan terpusat pada forum eksekutif tersebut dengan pertimbangan dari AHPPC yang berisi pakar kesehatan sebagai upaya untuk mengendalikan krisis dan menemukan solusi konkrit penanganan COVID-19.

Salah satu kebijakan yang cukup efektif adalah penutupan perbatasan, larangan perjalanan (travel ban), dan pembatasan kegiatan masyarakat di tempat umum. Terhitung sejak Maret, PM Australia Scott Morrison memberlakukan larangan perjalanan dari dan menuju Australia untuk meminimalisir mobilisasi dan menekan angka penyebaran virus (The Guardian, 2020). Di dalam negeri, pembatasan aktivitas dan karantina wilayah juga diberlakukan untuk tujuan yang serupa. Pada saat awal melonjaknya kasus, Perdana Menteri melarang adanya aktivitas berkumpul dan melakukan pertemuan di luar ruangan dengan lebih dari dua orang. Aktivitas pernikahan dan pemakaman tetap bisa dilakukan dengan tidak lebih dari lima orang. Aturan ini dibuat dengan tegas dengan diberlakukannya denda besar bagi yang melarang (ABC News, 2020). Bahkan polisi dikerahkan untuk menegaskan aturan ini di negara bagian Victoria. Oleh sebab itu, masyarakat ‘dipaksa’ untuk tetap tinggal di rumah. Outputnya, kebijakan-kebijakan tersebut memberikan dampak positif dalam menekan penyebaran COVID-19 dan pada tanggal 1 November 2020, pertama kalinya Australia mencatat tidak ada penambahan kasus dalam satu hari setelah lima bulan.

Pencapaian Australia bagaimana pun perlu diakui dan telah mendapatkan pujian dari banyak pihak, termasuk warga Australia sendiri. Namun dibalik itu, terdapat pelanggaran demokrasi yang meskipun tidak dirasakan, tetapi faktanya terjadi. Hal ini tentu menjadi paradoks demokrasi karena kedaulatan rakyat yang diberikan pada pemerintah untuk menangani krisis justru membatasi hak rakyat dan memicu kemunduran demokrasi. Pemberian wewenang penuh pada Kabinet Nasional sebagai forum eksekutif merupakan salah satu indikator penting. Dalam prosesnya, pihak oposisi dan legislatif tidak memainkan peran signifikan. Mekanisme checks and balances secara praktis dikesampingkan dengan alasan krisis dan efisiensi pengambilan keputusan. Perdebatan di parlemen dikurangi dan perubahan masa sidang dilakukan sehingga kewenangan penuh bisa diberikan pada eksekutif (Windholz, 2020). Oleh sebab itu dengan arahan Perdana Menteri, kebijakan yang diputuskan oleh Kabinet Nasional dengan mudah diterapkan dari tingkat pusat hingga daerah.

Dalam prosesnya, kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat yang dijaga oleh aparat keamanan juga menimbulkan kekerasan dan pelanggaran hak warga negara. Seperti yang terjadi di Victoria, polisi menggunakan kekerasan untuk membatasi aktivitas masyarakat dan telah melanggar hak kebebasan yang dimiliki warga negara. Dalam aksi protes anti lockdown di Victoria, polisi juga menangkap sekitar 70 orang karena dianggap melanggar aturan dan mengancam keselamatan. Dalam artikel yang dilansir oleh Human Rights Watch Australia (2020), secara tersirat Premier Victoria Daniel Andrews menyatakan bahwa hak asasi manusia perlu dikesampingkan untuk menangani COVID-19 yang mengancam nyawa banyak orang. Kondisi ini bisa dilihat sebagai indikator melemahnya demokrasi dan pada akhirnya bisa mengancam eksistensi dari sistem tersebut.

Apabila mengacu pada kerangka pemikiran Windholz (2020) serta Levitsky & Ziblatt (2018), situasi Australia saat ini perlahan mengalami kemunduran demokrasi dan dapat menuju pemerintahan otokrasi dalam menangani COVID-19. Windholz (2020) menjelaskan bahwa terkonsentrasinya kekuasaan di tangan eksekutif dan kurangnya pengawasan dari lembaga legislatif telah menimbulkan tanda-tanda pemerintah yang otokrat pemilik kekuasaan penuh. Hal tersebut perlahan mengalami penyelewengan seperti pengerahan aparat keamanan untuk melakukan kekerasan dengan alasan keselamatan bersama. Pemikiran Windholz tersebut juga bisa diperkuat dengan indikator kemunduran demokrasi dari Levitsky & Ziblatt. Dalam buku How Democracies Die, Levistky & Ziblatt mengungkap bahwa kemunduran demokrasi dalam banyak kasus diawali oleh pemberian wewenang penuh dan terkonsentrasinya kekuasaan pemerintah pada saat-saat krisis (lihat Levitsky & Ziblatt, 2018). Alhasil eksekutif akan melakukan segala upaya yang dianggap perlu untuk mengendalikan krisis, termasuk melanggar hak dan melakukan kekerasan kepada masyarakat.

Jika dibiarkan begitu saja, kondisi ini dapat secara serius mengancam demokrasi sebuah negara. Kepercayaan rakyat dimanipulasi untuk kepentingan penguasa secara perlahan dan akhirnya bisa menghancurkan demokrasi. Memang kondisi Australia sekarang belum melenceng jauh dari koridor-koridor demokrasi. Namun, perlu diwaspadai apabila situasi krisis ini tidak kunjung berakhir dan pemerintah masih memiliki kewenangan yang besar. Lembaga legislatif perlu melakukan pengawasan secara ketat meskipun dalam situasi krisis akibat COVID-19. Hal ini dilakukan guna mencegah kemunduran demokrasi di Australia. Jangan sampai menjadi paradoks keberhasilan penanganan COVID-19, tetapi disisi lain terdapat upaya pelemahan hak dan demokrasi warga negara.

Sumber Referensi

ABC News. (2020, 6 April). Coronavirus Restrictions Around Gatherings in Each State and Territory, and Who has been Fined. ABC News. https://www.abc.net.au/news/2020-04-06/coronavirus-enforcement-COVID-19-gathering-laws-state-territory/12124334

Australian Department of Health. (2020). Coronavirus (COVID-19) Current Situation and Case Numbers. https://www.health.gov.au/news/health-alerts/novel-coronavirus-2019-ncov-health-alert/coronavirus-COVID-19-current-situation-and-case-numbers#daily-reported-cases 

BBC News. (2020, 13 September). Coronavirus: Melbourne Police Arrest 74 Anti-Lockdown Protesters. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-australia-54139669

Duckett, Stephen, dan Anika Stobart. (2020, 4 Juni). 4 Ways Australia’s Coronavirus Response Was a Triumph, and 4 Ways it Fell Short. The Conversation. https://theconversation.com/4-ways-australias-coronavirus-response-was-a-triumph-and-4-ways-it-fell-short-139845 

Human Rights Watch. (2020, 24 September).  Australia: Harsh Police Response During COVID-19. https://www.hrw.org/news/2020/09/24/australia-harsh-police-response-during-COVID-19 

Levitsky, Steven dan Daniel Ziblatt (2018). How Democracies Die. New York: Baror International.

Murphy, Katherine dan Paul Karp. (2020, 19 Maret). Australian Government Moves to Close Borders as New Coronavirus Cases Continue to Rise. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2020/mar/19/australian-government-moves-to-close-borders-as-new-coronavirus-cases-continue-to-rise

The Deep Knowledge Group. (2020). COVID-19 Regional Safety Assessment 250 Countries, Regions, & Territories. https://www.dkv.global/covid-safety-assessment-250-list 

Windholz, Eric L. (2020). Governing in a Pandemic: From Parliamentary Sovereignty to Autocratic Technocracy. The Theory and Practice of Legislation.

Ikhsan Hanif merupakan mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @ikhsanhanf

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *