Bagimu Agamamu, Bagiku Kau Kawanku: Relasi Katolik-Islam Pasca-Konsili Vatikan II

0

Imam Besar Al-Azhar Dr. Ahmed el-Tayeb (kiri) dan Pimpinan Gereja Katolik Paus Fransiskus (kanan). Foto: Khaleej Times

Tri Hari Suci menandakan momen yang sangat sakral bagi segenap umat Kristiani, tak terkecuali umat Katolik Roma (seterusnya, Katolik). Paskah mengajarkan mereka yang merayakannya untuk merenungkan banyak hal, baik rohani maupun jasmani. Merefleksikan prahara hubungan antarmanusia yang berbeda-beda ialah suatu bentuk perenungan. Dikodifikasi sebagai hasil Konsili Vatikan Kedua atau Vatikan II (1965), “Nostra Aetate (NA)” (Pada Waktu Kita) yang menjadi basis moral bagi umat Katolik dalam membina hubungannya dengan pengikut iman-iman non-Kristiani, terutama Agama Islam.

Seperti diperjelas nantinya, NA ditujukan pula sebagai pernyataan Gereja Katolik atas hubungannya dengan iman lain yang acap ternodai dengan konflik dan miskomunikasi. Terhadap iman Yahudi, Gereja didapati melanggengkan pandangan bahwa penerus iman tersebut merupakan pembunuh junjungannya (Spruch, 2017). Terhadap Islam, Gereja mengakui pada perhelatan Vatikan II maupun kesempatan-kesempatan selanjutnya bahwa terdapat perbuatan dosa yang terlibat pada rangkaian Perang Salib (1096-1291) yang didorong maupun dapat dihindarkan oleh paus-paus terdahulu (Riley-Smith, 2008). Rentetan perseteruan antara Gereja dengan iman-iman lain seperti kedua yang diterangkan tersebut menjadi pertimbangan utama yang mendorong kultur dialog antaragama dikodifikasi dalam NA.

Dalam Kekatolikan, Paus bertindak secara beriringan sebagai pemimpin spiritual Gereja Katolik sekaligus pemimpin negara berdaulat Vatikan. Posisi unik tersebut, menjadi pangkal argumentasi bahwa NA merupakan perwujudan perubahan arah kebijakan luar negeri (KLN) Vatikan dalam berhubungan dengan umat dan negara-negara Islam: dari target perubahan keimanan menjadi rekan dialog. Tesis tersebut dibuktikan melalui model perubahan KLN yang digagas oleh Eidenfalk (2009) yang mengikutsertakan pula faktor eksternal dan perwujudan konsep “jendela kesempatan” pada bagian analisisnya. Penulis berargumentasi bahwa perubahan KLN Vatikan ke dunia Islam setidak-tidaknya berada terealisasi sebagai intensifikasi dan/atau refinement (peningkatan).

Model Perubahan KLN Eidenfalk: Jendela Kesempatan dan Pengambil Keputusan

Penulis berargumen bahwa model gubahan Eidenfalk memiliki poin-poin kuat pembantu analisis tulisan ini. Pertama, krisis keagamaan Kristiani yang melanda jazirah Eropa menjadi basis seruan bagi Paus Yohanes XXIII untuk memperbaharui pendekatan Gereja-faktor internal. Faktor internal lainnya meliputi sentimen antisemitisme Paus Yohanes yang akhirnya ditelurkan menjadi basis pengodifikasian NA sebagai dokumen Gereja. Ketika dokumen tersebut tengah dibahas, tensi yang belum kunjung mereda akibat Perang Suez dan balutan-balutan alasan agamanya menimbulkan impetus bagi klerus-klerus pada Vatikan II untuk mempertimbangkan pengikutsertaan pernyataan tentang hubungan Gereja mereka dengan Islam. Alasan-alasan tersebut dapat dikatakan berkontribusi dalam menciptakan momentum “window of opportunity” yang berkulminasi pada perubahan arah KLN Vatikan terhadap umat Muslim dan negara-negara Islam seperti disebutkan sebelumnya.

Model Perubahan KLN Negara. Sumber: Eidenfalk (2009)

Sumber perubahan KLN negara acap terbagi atas aspek internal dan global. Secara umum, Putnam (1988) berpendapat bahwa relasi antara politik internasional dan domestik beriringan dengan sifat saling memengaruhi. Pada kasus ini, diskursus yang menyeruak dalam Vatikan II antara para pejabat Gereja mewujudkan faktor kelompok kepentingan serta birokrasi yang dihadirkan melalui konsili. Diskurus tersebut terkategori pula sebagai perubahan birokratik lantaran kekuatannya untuk mengatur bentuk kebijakan yang dapat dihasilkan (Tasie 1997; Allison & Zelikow 1999). Sejajar dengan aktor negara lainnya pascadisahkannya Traktat Lateran (1929) menempatkan Vatikan dalam hubungan timbal balik abadi dengan konteks perpolitikan internasional sebelum dan saat Vatikan II berlangsung. Konsekuensi partisan Perang Dingin yang tengah meraung serta gejolak lansekap keagamaan global pada tahun 1960-an kala itu menjadi faktor pendorong Vatikan untuk berbenah dan mereorientasi pendekatan luar negerinya (Roy, 1994; McLeod, 2005).

Faktor struktural berandil dalam membangun persepsi pembuat keputusan tentang kebutuhannya, namun hanya mereka yang mampu mengejawantahkan ide tersebut (Gustavsson, 1999; Holsti, 1982). Dengan kata lain, perubahan KLN bisa jadi diakibatkan ketidaksesuaian hasil yang terus-menerus terjadi, atau sesederhana karena para pemimpin berpikir bahwa tindakan tersebut tepat dilakukan (Welch, 2005).

Menurut Eidenfalk (2009), keputusan tersebut berhubungan erat dengan ada tidaknya jendela kesempatan dalam benak pengambil keputusan. Apabila persepsi tersebut telah dilahirkan sebagai hasil kalkulasi yang beragam, maka pemimpin dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memproses idenya menuju kenyataan. Mengilhami peran kondisi eksternal, esai ini menandai NA sebagai KLN Vatikan pascaperubahan arah politik luar negerinya dikodifikasi oleh Vatikan II.

Menyintesiskan definisi KLN oleh Cohen & Harris (1975) dan “perubahan” terhadapnya gubahan Rosati et al. (1994), esai ini mengartikan perubahan KLN sebagai berikut:

“Perubahan berskala kecil hingga besar dari kebijakan berwujud tujuan atau intensi terinisiasi otorita aktor tertentu, yang bertujuan memengaruhi aktor di luar kedaulatannya berdasarkan kepentingan punggawa kebijakan yang mungkin juga berubah.”

Operasionalisasi definisi tersebut disesuaikan dengan skala perubahan kasus terbahas yang tidak begitu masif (contoh: mengganti doktrin Gereja). Pengertian itu setakar pula dengan tipologi perubahan Eidenfalk (2009)-dua termaktub dalam argumen utama:

  1. Intensifikasi: perubahan kuantitatif pada aspek instrumen kebijakan; dan
  2. Peningkatan: perubahan kualitatif pada aspek instrumen kebijakan berdasarkan arah yang diperbaharui.

Antara Pembaharuan Teologis dan Respons Duniawi: Inklusi Pernyataan Tentang Islam

Meskipun diadakan dalam jangka waktu 1962-1965, Paus Yohanes XXIII mengungkapkan kehendaknya untuk mengadakan konsili tersebut kurang dari tiga bulan sejak naik takhta pada Oktober 1958 (Alberigo, 2006). Melalui konstitusi Humanae Salutis yang diresmikannya pada Desember 1961, diskursus tentang pembaharuan (aggiornamento) pendekatan Gereja ke dunia akhirnya disebarluaskan kepada lebih dari 2000 pujangga Gereja seluruh dunia yang berkumpul di Vatikan. 

Dalam konstitusi tersebut, tertera intensi Yohanes XXIII yang menghendaki dewan tersebut dapat berkontribusi menyelesaikan sejumlah isu global di bidang sosial. Pemimpin Gereja tersebut menunjuk sepuluh komisi persiapan topik dan dua sekretariat untuk mendiskusikan usulan-usulan yang diharapkan mampu dikodifikasi sebagai hasil konsili tersebut (Wiltgen, 2014). Menyusuri dinamika faksi-faksi yang bereksistensi dalam konsili tersebut, NA akhirnya disetujui mayoritas klerus yang berkumpul sebagai pembaharuan arah Gereja kepada iman-iman non-Kristiani (Rynne 1999).

Tujuan Yohanes XXIII mengadakan Vatikan II tidak terlepaskan dari konteks internasional yang berjalan kala itu. Dalam periode yang dikenal sebagai “Long ‘60s” tersebut, Vatikan dibayang-bayangi oleh gelombang perpecahan berskala global seperti tensi Arab-Israel pasca-Perang Suez (1956) yang kurang-lebih dipengaruhi oleh Perang Dingin (O’Malley, 2008; Fogarty, 2016). Kawasan Timur Tengah secara khusus menjadi perhatian Paus Yohanes dan peserta konsili kala itu, mengingat mudahnya Perang Dingin untuk menyusupi konflik-konflik di seluruh dunia. Ketegangan di kawasan mereka menjadikan para pemimpin dari berbagai aliran politik dan agama di Timur Tengah menaruh perhatian besar kepada hasil konsili yang Yohanes XXIII wariskan setelah wafat di tahun 1963 kepada Paulus VI (Miccoli, 2003). Konteks internasional tersebut lebih lanjut diwujudkan dalam berbagai intrik pelobian kelompok Yahudi dan Islam Timur Tengah dalam dinamika berjalannya Vatikan II.

Terlepas dari eksternalitas yang menyelimuti, keputusan di balik NA diliputi perdebatan antara klerus konservatif dan pro-aggiornamento. Pihak konservatif Gereja mengutip ensiklik Mortalium Animos (1928) keluaran Paus Pius XI (1922-1939) yang menegasikan pendapat bahwa semua agama “kurang-lebih” baik dan terpuji (Portella, 2021). Sentimen ketidakacuhan (perbedaan) agamawi (religious indifferentism) tersebut dianggap menihilkan doktrin Gereja: Extra Ecclesiam Nulia Salus (tiada keselamatan di luar Gereja) (Gaspers, 2019; Espin & Nickoloff, 2007). Di sisi berseberangan, norma kebebasan beragama di dunia yang modern menjadi tajuk pihak pro-aggiornamento, selayaknya Kardinal Augustin Bea, Presiden Secretariat for Promoting Christian Unity (O’Malley, 2008). Asisten Kardinal Bea, peritus Pavan (dalam Blanchard & Bullivant, 2023) menjelaskan bahwa dengan mendukung kebebasan beragama, sang kardinal mencoba menghilangkan persepsi masyarakat esktra-Gereja tentang tendensi Machiavellian Gereja terhadap mereka.

Pernyataan tentang Agama Islam, dialihbahasakan oleh Katolisitas.org (2018), dalam NA tertera sebagai berikut:

“Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.

Memang benar, disepanjang zaman cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.”

Pengikutsertaan deklarasi tentang hubungan Katolik-Islam dalam NA bersumber dari argumentasi teologis sekaligus sebagai kompromi terhadap protes di Timur Tengah. Pandangan teologis tentang Islam pada Vatikan II dapat diatribusikan kepada tulisan Louis Massignon-islamologist berkebangsaan Prancis-yang tidak menyetujui keterlibatan Gereja dengan iman lain atas tujuan konversi agamawi (Krokus & Griffith, 2017). Dukungan klerus konservatif akhirnya didapatkan tatkala keselamatan umat Katolik di Timur Tengah dipertimbangkan (Cartus, 1965). Merespons instabilitas di Timur Tengah lantas dapat dikatakan menjadi impetus bagi pengikutsertaan pernyataan tentang Agama Islam dalam NA yang diwujudkan melalui dinamika perdebatan teologis Gereja.

Jendela Kesempatan Pendorong dan Perwujudan Pesan NA

Baik faktor struktural di luar Gereja dan seruan pembaharuan internal berpengaruh membentuk jendela kesempatan yang diambil Paus Paulus VI dan kelompok pro-aggiornamento. Paparan sebelumnya telah memperjelas dinamika kedua jenis faktor tersebut dalam memengaruhi keputusan partisipan konsili untuk mengadopsi versi final NA. Secara struktural, pernyataan Gereja dianggap berpotensi berdampak kepada ketegangan Timur Tengah. Berangkat dari sana, klerus-klerus Gereja di kawasan tersebut mengadvokasikan penyeimbangan pada narasi NA, dari hanya menyatakan posisi Gereja kepada iman Yahudi menjadi ke seluruh iman non-Kristiani termasuk Islam (Kropacek, 2021). 

Selain karena dorongan Kardinal Bea, basis teologi Paulus yang acap berdiskusi dengan Massignon di masa mudanya. Massignon, yang mendirikan asosiasi badaliya peneliti keterikatan Kristianitas-Islam, berperan masif membangun arah Paulus VI tentang Islam (Borrmans, 1996). Jendela kesempatan yang terbangun karena urgensi situasional serta pembaharuan internal Gereja atas dunia, akhirnya disetujui 2221 klerus dalam Vatikan II dan resmi diumumkan pada 28 Oktober 1965 (op. cit.; Vatikan 2021).  

NA merupakan hasil perubahan arah Gereja sekaligus memengaruhi tindakan riil para pemimpin Vatikan dari pembahasan hingga setelah peresmiannya. Kunjungan Paulus VI ke Betlehem dan sekitarnya dalam tahun ketiga berjalannya Vatikan II menjadi preseden bagi penerusnya untuk meningkatkan kunjungan dan kesempatan berdialog dengan imam agama non-Kristiani (Kropacek, 2016). Pada kesempatan tersebut pula, Paus Paulus menyapa, menemui, dan berdiskusi baik dengan pemimpin iman Yahudi juga Islam yang berlokasi di sana.

Selain itu, perubahan KLN berwujud peningkatan yang dibawa NA dapat dibagi ke dua porsi: perubahan persepsi dan kebersamaan (mutuality) (Krokus, 2021). Dengan kata lain, NA mengajak pengikut Katolik untuk memandang umat Muslimin tidak lagi dalam lensa rivalitas yang terpupuk berabad-abad, melainkan sebagai rekan pembelajaran demi meningkatkan kemakmuran bersama umat manusia (Michel, 2012; Dadosky, 2005). Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama menjadi instrumen KLN yang diresmikan Paulus VI atas dasar tafsiran NA tersebut (Krokus, 2021).

Suatu Refleksi

Melalui Nostra Aetate, baik sebagai ajaran teologis ataupun KLN, merupakan penggembalaan Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI terhadap para umatnya untuk membangun dan mewartakan rasa persaudaraan terhadap juga di antara umat iman-iman lain. Meskipun NA menjadi arah pembaharuan Gereja untuk terlibat langsung dalam memupuk persaudaraan, sejarah mencatat Perang Arab-Israel yang pecah dua tahun setelah diresmikannya deklarasi itu. Agama dan politik saling memengaruhi satu sama lain, meskipun sering kali, konflik kepentingan lebih meraja ketimbang persaudaraan antarmanusia yang berbeda-beda namun indah dalam imaji yang diberikan Penciptanya. 

Walaupun begitu, spirit untuk belajar dan menengok indahnya manusia dalam setiap ajaran agamawi yang diilhaminya, setidaknya, menjadi warisan NA yang tak lekang waktu serta berperan merubah arah KLN Vatikan untuk ke depannya. Lantas, merupakan tugas saya dan segenap pembaca beriman Katolik untuk melanggengkan warisan berharga tersebut, seperti Bapa Suci kami, Fransiskus, yang tak henti-henti memancarkannya dalam setiap penggembalaannya di dunia.

Referensi

Alberigo, G. (2006). A Brief History of Vatican II (M. Sherry, Ed.; Translated). Orbis Books.

Allison, G. T., & Zelikow, P. (1999). Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis (2nd ed.). Longman.

Blanchard, S., & Bullivant, S. (2023). VATICAN II: A Very Short Introduction. Oxford University Press.

Borrmans, M. (1996). Louis Massignon et le dialogue des cultures. Cerf.

Cartus, F. E. (1965, January). Vatican II & the Jews. Commentary: The Monthly Magazine of Opinion. https://www.commentary.org/articles/fe-cartus/vatican-ii-the-jews/

Cohen, B. C., & Harris, S. A. (1975). Foreign Policy. In F. I. Greestein & N. Polsby (Eds.), Handbook of Political Science. Addison Wesley.

Dadosky, J. (2005). The Church and the Other: Mediation and Friendship in Post-Vatican II Roman Catholic Ecclesiology. Pacifica, 18.

Eidenfalk, J. (2009). A Window of Opportunity? Australian Foreign Policy Change towards East Timor 1998-99 and Solomon Islands 2003 [Doctoral Thesis]. University of Wollongong.

Espin, O. O., & Nickoloff, J. B. (2007). An Introductory Dictionary of Theology and Religious Studies. Liturgical Press.

Fogarty, G. P. (2016). VATICAN II AND THE COLD WAR. In P. H. Kosicki (Ed.), Vatican II Behind the Iron Curtain (pp. 27–49). Catholic University of America Press. https://doi.org/10.2307/j.ctt1j0ptb2.5

Gaspers, M. (2019, November 26). Archbishop Viganò: Vatican II’s Nostra Aetate Exhibits “Terrible Discontinuity” with Pre-Conciliar Magisterium. Catholic Family News. https://www.corrispondenzaromana.it/international-news/archbishop-vigano-vatican-iis-nostra-aetate-exhibits-terrible-discontinuity-with-pre-conciliar-magisterium/

Gustavvson, J. (1999). How Should We Study Foreign Policy Change? Cooperation and Conflict, 34(1), 73–95. https://doi.org/10.1177/00108369921961780.

Holsti, K. J. (1982). Why Nations Realign: Foreign Policy Restructuring in the Postwar World (K. J. Holsti, Ed.). Allen & Unwin.

Nostra Aetate (NA): Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristiani, Dokumen Gereja Katolik (2018). https://www.katolisitas.org/nostra-aetate/

Krokus, C. S. (2021). Catholic Saints and Scholars: Nostra Aetate and Islam. In K. C. Ellis (Ed.), Nostra Aetate, Non-Christian Religions, and Interfaith Relations (pp. 115–137). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-030-54008-1_6.

Krokus, C. S., & Griffith, S. H. (2017). The Theology of Louis Massignon. The Catholic University of America Press.

Kropáček, L. (2016). Christian-Moslem Relations after the Second Vatican Council. Caritas et Veritas, 6, 115–122.

Kropáček, L. (2021). MAKING FRATERNITY AN ESSENTIAL LINK IN CHRISTIAN-MUSLIM RELATIONS. Theologica, 11(1), 11–58.

McLeod, H. (2005). The Religious Crisis of the 1960s. Journal of Modern European History, 3(2), 205–230. https://www.jstor.org/stable/10.2307/26265818.

Miccoli, G. (2003). Two Sensitive Issues: Religious Freedom  and the Jews. In G. Alberigo & J. Komonchak (Eds.), History of Vatican II, Vol. 4, pp. 95–193. Orbis.

Michel, T. (2012, March 22). A Catholic Priest Among Muslims: What I Have Learned. University of Scranton. https://www.youtube.com/watch%3ftime_continue%3d5%26v%3dwtCw55nh7pM%26feature%3demb_title.

O’Malley, J. W. (2008). What Happened at Vatican II. Belknap Press of Harvard University Press.

Portella, Fr. M. A. (2021, October 22). The Vatican’s Ambiguous Interreligious Dialogue. Crisis Magazine. https://www.crisismagazine.com/opinion/the-vaticans-ambiguous-interreligious-dialogue.

Putnam, R. D. (1988). Diplomacy and domestic politics: the logic of two-level games. International Organization, 42(3), 427–460. https://doi.org/10.1017/S0020818300027697.

Riley-Smith, J. (2008). The Crusades, Christianity, and Islam. Columbia University Press.

Rosati, J. A., Hagan, J. D., & Sampson, M. W. (1994). Foreign Policy Restructuring: How Governments Respond to Global Change (J. A. Rosati, J. D. Hagan, & M. W. Sampson, Eds.). University of South Carolina.

Roy, O. (1994). The Failure of Political Islam (C. Volk, Ed.; Translated). Harvard University Press.

Rynne, X. (1999). Vatican Council II. Orbis Books.

Spruch, G. (2017). Wide Horizons: Abraham Joshua Heschel, AJC, and the Spirit of Nostra Aetate.

Tasie, G. O. (1997). Bureaucratic Theory and Administration. Public Sector Administration and Management, 53–62.

The Vatican. (2021). Acta of the Second Vatican Council. https://archive.org/details/second-vatican-council?tab=about.

Welch, D. A. (2005). Painful Choices: A Theory of Foreign Policy Change. Princeton University Press.

Wiltgen, R. M. (2014). The Inside Story of Vatican II (2nd ed.). TAN Books.

Philipus Mikhael Priyo Nugroho merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @miko.khael

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *