Central Bank Digital Currency: Mampukah Melawan Dominasi Cryptocurrency?

0

Ilustrasi Bitcoin. Foto: Jack Guez/AFP/Getty Images

Perkembangan dunia digital yang semakin maju menciptakan banyak inovasi-inovasi baru, salah satunya mata uang kripto atau biasa disebut cryptocurrency yang memiliki keunggulan dibanding mata uang fiat yang dicetak oleh bank sentral. Keunggulan ini dapat dilihat dari sifat cryptocurrency seperti berbentuk mata uang digital yang tentunya mudah digunakan di mana saja, menggunakan konsep peer-to-peer (P2P) yang mana cryptocurrency dapat langsung dikirim dari pengirim ke penerima tanpa ada perantara pihak ketiga sehingga biaya transaksi dapat dikurangi. Cryptocurrency menggunakan teknologi blockchain yang dapat menyimpan transaksi dan dilakukan secara transparan dan aman serta menerapkan smart contract yang membuat seorang individu atau lembaga dapat membuat kontrak digital secara transparan dan terpercaya untuk keperluan apapun baik itu akta notaris, kontrak investasi, hingga kontrak kerja sama dengan dijalankan secara otomatis oleh program komputer tanpa bergantung pada dokumen fisik dan tentunya disetujui pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut. Selain itu, cryptocurrency memiliki sifat yang terdesentralisasi, yaitu tidak ada campur tangan bank sebagai tempat penyimpanan uang dan tidak adanya kendali pemerintah sehingga cryptocurrency dapat digunakan di seluruh dunia tanpa peduli batas negara.

Melihat meningkatnya popularitas dan banyaknya manfaat cryptocurrency membuat banyak bank sentral dunia—salah satunya Bank Indonesia—melarang penggunaan cryptocurrency sebagai alat transaksi. Hal ini karena cryptocurrency dianggap melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 yang mewajibkan penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal lain yang membuat Bank Indonesia melarang cryptocurrency adalah karena mata uang ini sangat bersifat spekulatif dan rentan digunakan untuk pencucian uang dan tindakan terorisme transnasional akibat tidak adanya otoritas negara atau penyelenggara resmi yang bertanggung jawab. 

Permasalahan cryptocurrency ini pastinya menarik banyak negara lain untuk mendigitalisasi mata uang mereka demi menekan dominasi cryptocurrency, caranya adalah dengan menciptakan central bank digital currency (CBDC). Dengan beralihnya mata uang fiat ke CBDC maka diperlukan adaptasi teknologi yang sama seperti cryptocurrency, dalam hal ini seperti memberikan keamanan, kemudahan melakukan transaksi, bersifat P2P, memiliki akses secara global, dan dapat digunakan lintas batas negara (cross border). Tetapi jika dikaji lebih jauh, urgensi membentuk CBDC ini semata-mata hanya untuk menciptakan mata uang digital yang dapat dikontrol pemerintah atau tersentralisasi dan tunduk pada stabilisasi harga seperti semua uang yang dikeluarkan oleh bank sentral. Hal ini tentu sangat berbeda dengan cryptocurrency yang memiliki jiwa yang terdesentralisasi.

Sentralisasi mata uang digital memiliki dampak positif, yaitu semua transaksi bisa transparan dan diawasi oleh pemerintah karena menggunakan sistem blockchain sehingga menggunakan uang digital untuk membiayai terorisme transnasional bisa dicegah. Adanya sistem blockchain juga membuat fitur smart contract bisa diadopsi pada CBDC, yang mana smart contract berfungsi untuk melakukan kontrak seperti contohnya pada layanan keuangan simpan pinjam atau kredit di perbankan secara digital, transparan, dan tidak memerlukan dokumen fisik. Namun, CBDC layaknya mata uang fiat masih bisa terkena inflasi karena pemerintah masih bisa mencetak uang sesuai dengan program negara mereka. Berbeda dengan beberapa cryptocurrency yang memiliki jumlah terbatas seperti Bitcoin atau Binance yang membuat cryptocurrency ini layaknya emas, semakin berharga dan sedikit koin tersebut maka harganya akan semakin mahal. Oleh karena itu, cryptocurrency dengan jenis seperti ini selain bisa digunakan untuk transaksi juga bisa digunakan untuk investasi.

Agar mampu bersaing dengan cryptocurrency, CBDC juga harus dapat melakukan transaksi lintas batas negara tanpa ada bantuan pihak ketiga (P2P), dan hal ini perlu dipertanyakan ulang karena sifat dari CBDC sendiri adalah sentralistik yang tentu memerlukan pihak ketiga untuk mengawasi dan memvalidasi—apalagi dalam urusan investasi atau pengiriman uang lintas batas negara. Hal ini berlainan dengan cryptocurrency yang desentralistik sehingga jika ada perusahaan luar negeri yang ingin berinvestasi di Indonesia bisa langsung dilakukan dengan cepat tanpa perlu birokrasi dan validasi pihak ketiga. Dengan kata lain, fitur P2P ini alih-alih digunakan secara lintas batas malah lebih cocok diterapkan secara domestik layaknya uang fiat yang kita gunakan sekarang.

Walaupun masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa CBDC kurang mampu bersaing dengan cryptocurrency karena belum ada negara yang benar-benar menerapkannya, namun untuk perkembangan CBDC dapat dilihat melalui survei Bank for International Settlement pada tahun 2021 yang menemukan bahwa terdapat 86% bank sentral secara aktif meneliti potensi CBDC, 60% bereksperimen dengan teknologi, dan 14% menjalankan proyek percontohan (BIS, 2021). Salah satu negara yang sudah cukup maju dan dapat menjadi contoh penerapan CBDC adalah Tiongkok di mana uji coba Yuan digital telah memasuki tahap keempat dengan merampungkan uji coba Digital Currency Electronic Payment (DC/EP) yang mana bank harus mengubah sebagian kepemilikan yuan ke bentuk digital lalu mendistribusikannya ke bisnis dan masyarakat lewat ponsel (Isna, 2021). Lebih jauh lagi, Bank People of China berencana untuk mengizinkan atlet asing dan pengunjung Olimpiade Musim Dingin Beijing di 2022 menggunakan Yuan digital dalam bertransaksi (Roy, 2021). Lalu, jika pada tahun depan Yuan digital akan diterapkan, secara tidak langsung CBDC Tiongkok akan menjadi CBDC pertama yang akan digunakan secara luas dalam event internasional sekelas olimpiade dan tidak menutup kemungkinan akan digunakan juga dalam transaksi internasional terhadap mitra dagangnya dalam waktu dekat. Jika demikian, hal ini berarti Yuan digital akan menjadi alat pembayaran yang digunakan secara masif dan bisa saja menggeser Dolar Amerika sebagai patokan mata uang dunia. Sedangkan di sisi lain, Amerika Serikat sendiri masih meneliti kemungkinan untuk menerbitkan Dolar Digital tetapi hal ini akan dilakukan secara perlahan untuk memastikan tidak adanya risiko penipuan dan pemalsuan (Franedya, 2020).

Dalam hal adaptasi teknologi, CBDC tentu mampu mengambil beberapa fitur cryptocurrency, seperti teknologi blockchain, P2P, dan smart contract agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan mengikuti kemajuan teknologi finansial. Asalkan setiap bank sentral mampu menerapkan teknologi digital, keamanan siber, peningkatan sumber daya manusia, dan ekosistem digital yang mumpuni. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa CBDC dengan sifat sentralisasinya akan sulit mengadopsi konsep desentralisasi dari cryptocurrency karena dalam penerapan CBDC, bank konvensional masih tetap memiliki perannya sebagai tempat menabung, pemberi pinjaman, kredit, dan layanan bank komersial lainnya kepada masyarakat. 

Hal ini sejalan dengan model CBDC dari Bank for International Settlement, yakni pertama, Indirect CBDC dengan sistem individu yang ingin melakukan pinjaman misalnya maka harus melalui pihak ketiga (bank konvensional), lalu bank sentral akan memberikan pinjaman melalui bank konvensional tadi. Kedua, Direct CBDC yang mana pinjaman yang dilakukan individu akan langsung diarahkan ke bank sentral tanpa perantara. Namun hal ini akan menambah peran bank sentral dan kemungkinan tidak akan diterapkan karena tugas bank sentral adalah mengatur kebijakan moneter dan fiskal bukannya simpan pinjam. Ketiga, Hybrid CBDC, dengan sistem individu akan meminta pinjaman melalui bank sentral tetapi pinjaman akan diberikan melalui bank konvensional (Auer & Boehme, 2020). Dari ketiga model tersebut kemungkinan paling besar untuk diterapkan adalah model Hybrid CBDC karena dengan individu melakukan layanan keuangan langsung ke bank sentral maka transaksi tersebut dapat dicatat oleh bank sentral kemudian tidak juga menambah beban kepada bank sentral dalam urusan menghimpun dana hingga memberikan pinjaman karena bukanlah tugas dari bank sentral.

Dengan perkiraan waktu pengembangan dan penerapan CBDC secara penuh bisa saja menghabiskan waktu satu hingga tiga tahun mendatang, maka selama itu pula cryptocurrency akan tetap digunakan oleh masyarakat luas baik sebagai alat transaksi atau investasi. Meskipun cryptocurrency dikenal dengan volatilitasnya atau perubahan harga yang bisa naik sangat tinggi atau turun sangat dalam, namun hal tersebut tidak akan menghambat cryptocurrency sebagai alat transaksi karena banyaknya jenis koin dengan keunikannya masing-masing. Salah satu koin yang dapat digunakan untuk transaksi cross border secara P2P bisa saja menggunakan stable coin seperti Tether (USDT) yang mematok harga koin pada Dollar Amerika dan juga beberapa perusahaan hingga bank sekarang pun mengadopsi cryptocurrency seperti Tesla hingga Bank Amerika Goldman Sachs. Tidak berhenti sampai disitu, bahkan baru-baru ini Indonesia berencana akan membuka bursa khusus untuk cryptocurrency seperti yang disampaikan oleh Ketua Bappebti Sidharta Utama, “Pembentukan bursa tersebut bertujuan untuk perlindungan pelaku usaha agar hubungan antar semua pihak bisa berjalan dengan baik, antara pedagang, investor, maupun dengan lembaga lain bisa jelas dan aman” (CNN, 2021). Dengan demikian, maka tetap ada kemungkinan bahwa penerapan CBDC tidak akan serta merta menghapus kehadiran cryptocurrency tersebut.

Referensi:

Auer, R., & Boehme, R. (2020, March 01). The technology of retail central bank digital currency. Retrieved May 16, 2021, from bis.org: https://www.bis.org/publ/qtrpdf/r_qt2003j.htm

BIS. (2021). Central bank digital currency (CBDC). Retrieved May 16, 2021, from bis.org: https://www.bis.org/about/bisih/topics/cbdc.htm

CNN. (2021, April 16). Indonesia Akan Punya Bursa Mata Uang Kripto. Retrieved Mei 17, 2021, from www.cnnindonesia.com: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210416091324-92-630672/indonesia-akan-punya-bursa-mata-uang-kripto

Franedya, R. (2020, Oktober 20). China Sudah Uji Rp2,4 T Yuan Digital, Dolar Digital Kapan? Retrieved Mei 17, 2021, from www.cnbcindonesia.com: https://www.cnbcindonesia.com/tech/20201020172255-37-195811/china-sudah-uji-rp24-t-yuan-digital-dolar-digital-kapan

Isna, T. D. (2021, Januari 22). Apa Itu Yuan Digital? Retrieved Mei 16, 2021, from wartaekonomi.co.id/: https://www.wartaekonomi.co.id/read324131/apa-itu-yuan-digital

Roy. (2021, April 19). China Kian Gencar Uji Yuan Digital, Mau Gantikan Dolar AS? Retrieved Mei 16, 2021, from www.cnbcindonesia.com: https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210419141738-37-238967/china-kian-gencar-uji-yuan-digital-mau-gantikan-dolar-as/1

I Dewa Agung Sedana Kusuma adalah mahasiswa  Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @sedanakusuma

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *