Deglobalisasi di Tengah Pandemi Covid-19?

0

Ilustrasi Deglobalisasi. Sumber: Pixabay

Istilah ‘globalisasi’ mungkin telah telah terlalu banyak digunakan di berbagai disiplin keilmuan. Analis hubungan internasional positivis sepakat bahwa perpindahan barang, jasa, dan orang secara bebas semakin mempercepat arus globalisasi. Di sisi lain, pihak skeptis yang ditandai sebagai gelombang kedua globalisasi, melihat bahwa globalisasi merupakan sumber dari, sekaligus memperburuk, konflik yang ada. Namun setelah adanya Covid-19, telah mempengaruhi globalisasi dengan satu atau cara lainnya, termasuk di dalamnya dampak terhadap isu politik dan ekonomi yang akan merusak siklus.

Seperti critical juncture lainnya, yang mana para ahli telah menawarkan konsep tersebut untuk menjelaskan fenomena ‘luar biasa’ yang berdampak pada segala aspek kehidupan, termasuk tapi tidak terbatas pada sosial, politik, ekonomi, dan tatanan internasional – Covid-19 telah memperburuk dan memperkuat konflik-konflik yang telah terjadi.

Seringkali, konsep critical juncture dikaitkan dengan momen perubahan yang mengharuskan tindakan luar biasa agar dilakukan. Sebagai contoh, para ahli mengilustrasikan konsep ini dengan Black Death di abad 14, Spanish Flu, wabah Ebola, dan MERS. Critical juncture juga tidak hanya erat kaitannya dengan isu yang terkait dengan virus atau wabah tetapi juga terkait dengan isu keamanan dan juga resesi ekonomi seperti Great Depression tahun 1930-an, Asian Financial Crisis 1997-98, Global Financial Crisis 2007-08.

Ketika masyarakat internasional sepakat bahwa globalisasi dan multilateralisme secara beriringan membawa agenda neoliberal yang menggaungkan perpindahan tanpa batas ruang dan waktu, banyak juga yang berargumen bahwa critical juncture, seperti pandemi Covid-19 telah membawa dampak yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sehingga dampak ini tak hanya mempengaruhi krisis kesehatan masyarakat tetapi juga dampak terhadap ekonomi, serta perkiraan pertumbuhan negatif dan ketidakpastian pasar global, seperti yang dilaporkan oleh OECD. Di saat yang bersamaan, WTO juga telah memproyeksikan bahwa krisis ini akan membuat penurunan perdagangan internasional sebanyak 13-32 persen di tahun 2020.

Tak terhindarnya resesi ekonomi akibat pandemi telah memaksa para pelaku bisnis untuk menyiapkan strategi ulang terhadap strategi offshore dan global value chain mereka agar tetap dapat ‘bertahan’ dan melakukan ‘diferensiasi’ di tengah wabah. Meskipun sebagian akan mengeksploitasi kondisi ini dengan mengkapitalisasi virus sehingga hal tersebut dapat membuat keuntungan yang terkonsentrasi di sebagian kecil orang, tetapi tentu saja pada faktanya Covid-19 telah mendisrupsi banyak bisnis di dunia. Pada konsekuensinya, bentuk kapitalisasi ini juga telah disoroti oleh banyak kritik. Pihak lain juga berpendapat bahwa kepentingan dan pilihan publik-lah yang harus menjadi prioritas utama di atas kepentingan pribadi. Tetapi hal tersebut juga yang menjustifikasi korelasi kuat untuk menarik diri dari kerjasama dan perdagangan internasional yang telah dibangun sehingga akan bergantung pada pihak sendiri. Sifat alami krisis akan terus secara alamiah mendesak orang-orang untuk memprioritaskan dirinya sendiri.

Dalam konteks globalisasi, berbagai kajian telah mengklasifikasikan bahwa ada tiga pandangan teoritis terhadap globalisasi, yaitu hiperglobalis, skeptis, dan transformasionalis. Kaum hiperglobalis melihat bahwa peran dari negara seakan sudah sangat pudar dan menjadi kurang relevan dalam keadaan sehari-hari – sebagaimana ‘kekuatan’ telah terdifusi ke berbagai macam entitas, seperti perusahaan multinasional dan individu. Di samping itu, pandangan skeptis menggambarkan bahwa sistem Westphalia yang menjaga tradisi kedaulatan masih sangat relevan. Namun, post-skeptisisme atau transformasionalisme menerima dampak globalisasi yang tidak dapat terhindarkan, sebagaimana pandangan ini menandai adanya gelombang ketiga globalisasi. Perspektif ini mengakui cepatnya arus globalisasi sementara berusaha untuk mengarus globalisasi itu sendiri, tanpa terlalu terbelenggu di dalamnya.

Jelaslah bahwa retorika transformasionalisme selama critical juncture telah berpindah ke neo-skeptisisme atau melewati gelombang ketiga globalisasi, yang menyebabkan deglobalisasi. Sementara pencapaian terbesar dari globalisasi merupakan multilateralisme berbasis aturan, wabah virus ini melegitimasi lebih jauh langkah-langkah nasionalis dan isolasionis untuk menghadapinya. Sebagai contoh, pembatasan perjalanan serta penambahan dokumen dan sebagainya telah diambil oleh banyak negara, meskipun langkah-langkah ini masuk agar dapat mencegah penyebaran virus lebih jauh.

Narasi kegagalan pemerintahan demokrasi  dalam menghadapi krisis Covid-19 juga mengindikasikan jatuh serta mundurnya peradaban demokrasi di abad 21. Justifikasi bangkitnya pemerintahan yang kuat serta berkembangnya otoritarianisme di dunia Covid-19 telah memudarkan multilateralisme berbasis aturan menuju retorika nasionalis. Preposisi ini juga tampak ketika Amerika Serikat mengancam WHO untuk menghentikan dana bantuannya serta mendesak Tiongkok untuk bertanggung jawab atas pandemi global ini.

Meskipun demikian, istilah globalisasi yang didefinisikan secara ekonomi dan politik tetap mendominasi perdebatan yang ada. Sementara itu, narasi deglobalisasi dan pendekatan isolasionis bukan merupakan strategi untuk menghadapi Covid-19. Setiap institusi dan individu yang membuat pergerakan pragmatis, sejauh isolasionis pun bukan merupakan penyangkalan terhadap globalisasi. Globalisasi tak dapat terhindarkan. Itu merupakan realitas yang harus diatur, terutama saat momen perubahan yang mengubah permainan globalisasi.

Muhammad Maulana Iberahim adalah mahasiswa magister di Master of Arts in Asia-Pacific Studies, Thammasat Institute of Area Studies, Thammasat University dan Asisten Peneliti di Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa (KIKE)


Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *