Dilema Perempuan Sudan: Bertahan Hidup dengan Barter Seks di Tengah Konflik

0

Kerentanan Perempuan Sudan dan Barter Seks dalam Konflik Sudan? Kredit foto oleh Zhora Bensemra dari Al Jazeera

Telah mengalami konflik berkepanjangan sejak 1956, kali ini konflik baru melanda Sudan. Pada tahun 2019, Presiden Omar al-Bashir digulingkan setelah protes besar-besaran yang menuntut peralihan ke pemerintahan sipil. Sayangnya, transisi ini terhambat oleh kudeta militer pada Oktober 2021, yang menyebabkan perebutan kekuasaan antara militer dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo. Pertempuran sengit antara militer dan RSF terus berlangsung sejak 15 April 2023, menyebabkan ribuan orang tewas dan jutaan lainnya mengungsi. 

Ketegangan ini diperburuk oleh rencana untuk mengintegrasikan sekitar 100.000 pasukan RSF ke dalam militer Sudan, yang menimbulkan ketidaksepakatan mengenai kepemimpinan dan pengawasan proses integrasi. Mobilisasi pasukan RSF di berbagai kota, termasuk Darfur, dilihat sebagai ancaman oleh militer Sudan, yang kemudian menangkap anggota RSF dan memicu bentrokan bersenjata. Konflik ini juga merupakan bagian dari perebutan kekuasaan yang lebih luas antara militer dan RSF untuk menguasai situs-situs penting di ibu kota Khartoum dan wilayah lainnya. Upaya perundingan untuk menyelesaikan kebuntuan gagal, dan ketidakjelasan mengenai siapa yang memulai tembakan pertama pada 15 April 2023 memperburuk situasi yang sudah tidak kondusif.

Dikutip dari pernyataan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, konflik yang berlangsung sejak April 2023 telah menelan 15.000 korban jiwa dan melukai 33.000 orang lainnya. Semenjak itu, para pihak yang bertikai telah berupaya menerapkan beberapa kali gencatan senjata sementara secara nasional, tapi belum ada yang membantu menyelesaikan konflik. Pada Oktober 2023, mereka kembali melakukan negosiasi yang dimediasi oleh Arab Saudi di Jeddah, namun pertempuran masih terus terjadi hingga kini.

Kekerasan Berbasis Gender

Akibat konflik yang berkepanjangan, banyak perempuan dan anak perempuan menghadapi situasi yang sangat sulit. Konflik ini memperburuk kondisi ekonomi yang semakin meminggirkan perempuan, menghilangkan peluang mereka untuk mencari nafkah, dan memaksa banyak dari mereka mengambil tindakan ekstrem serta menghadapi risiko eksploitasi dan pelecehan seksual demi menghidupi keluarga mereka. Menurut laporan UN Women, lebih dari 6,7 juta orang berisiko mengalami kekerasan berbasis gender, dan laporan tentang kekerasan pasangan intim, eksploitasi dan pelecehan seksual, serta perdagangan manusia tersebar luas dan terus meningkat. 

Dalam sebuah laporan mengenai kekerasan berbasis gender selama krisis yang diterbitkan pada akhir tahun 2023, UNHCR melaporkan bahwa perempuan dan anak perempuan di Sudan menanggung beban konsekuensi konflik, termasuk tingkat kekerasan seksual yang “mengkhawatirkan”. Banyak dari mereka yang mencari suaka telah mengalami atau menyaksikan pelecehan, penculikan, pemerkosaan, penyerangan seksual, eksploitasi seksual, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya selama perjalanan mereka.

Kekerasan Berbasis Gender (KBG) adalah pelanggaran hak asasi manusia yang meluas, tapi sering tidak terlihat. KBG mencakup kekerasan fisik, seksual, mental, atau ekonomi akibat ketidakseimbangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, termasuk ancaman, pemaksaan, dan perampasan kebebasan di tempat umum maupun pribadi.

Perempuan dan anak perempuan sering memiliki kekuasaan lebih kecil dibandingkan laki-laki atas tubuh, keputusan, dan sumber daya mereka. Norma sosial yang membenarkan kekerasan oleh laki-laki memperkuat ketidaksetaraan gender dan melanggengkan KBG. Perempuan dan anak perempuan, terutama remaja, menghadapi risiko terbesar.

KBG terjadi dalam berbagai bentuk: kekerasan pasangan intim, kekerasan seksual, pernikahan dini, mutilasi alat kelamin perempuan, perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual, pembunuhan bayi perempuan, dan kejahatan ‘demi kehormatan’. Kekerasan pasangan intim terjadi di hampir setiap negara. Anak perempuan dan perempuan juga dapat mengalami GBV ketika mereka tidak memperoleh gizi dan pendidikan yang memadai.

Barter Seks: Pilihan yang Terpaksa

Pada 22 Juli 2024, laporan The Guardian mengungkapkan bahwa banyak perempuan di Sudan terpaksa melakukan barter seks dengan tentara demi mendapatkan makanan untuk keluarga mereka. Praktik ini terjadi di pabrik-pabrik di seluruh kota Omdurman, tempat penimbunan makanan. Berhubungan seks dengan tentara adalah satu-satunya cara mereka dapat mengakses makanan atau barang yang dapat mereka jual untuk mengumpulkan uang guna memberi makan keluarga mereka. 

Sebagai contoh, di Darfur Barat dan wilayah lainnya, banyak laporan tentang pemerkosaan, dan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender lainnya terhadap perempuan dan anak perempuan. Tindakan kebrutalan ini berkontribusi pada munculnya pola kekerasan etnis yang ditargetkan.  Selain itu, di Khartoum, Pasukan Dukungan Cepat (RSF) telah melakukan tindakan pemerkosaan yang meluas, termasuk pemerkosaan berkelompok dan memaksa perempuan serta anak perempuan untuk menikah.

Saksi mata melaporkan dalam wawancaranya dengan The Guardian bahwa tentara membawa wanita ke rumah kosong, memaksa mereka berbaris, dan memilih berdasarkan penampilan. Selain eksploitasi seksual, perempuan yang melawan menghadapi hukuman berat, seperti seorang perempuan berusia 21 tahun yang disiksa setelah menolak aktivitas seksual lebih lanjut. 

Norma-norma gender tradisional di Sudan sering kali memperburuk situasi bagi wanita. Pria biasanya terlibat langsung dalam pertempuran, sedangkan wanita harus mengurus keluarga dan mencari cara untuk bertahan hidup dalam kondisi yang sangat sulit. Beban ganda ini menambah tekanan psikologis dan fisik yang mereka alami. Konflik berkepanjangan telah menghancurkan ekonomi lokal, membuat banyak keluarga kehilangan sumber pendapatan, sedangkan sistem hukum dan sosial yang lemah tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi perempuan. Hal ini membuat mereka terpaksa mengambil langkah-langkah putus asa seperti barter seks untuk bertahan hidup.

Upaya Bantuan dan Perlindungan

Berbagai organisasi internasional dan lokal telah berupaya untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada perempuan Sudan yang menjadi korban kekerasan seksual. Program Pangan Dunia PBB telah melaporkan pengiriman makanan di Khartoum. Meskipun demikian, perempuan yang diwawancarai oleh The Guardian menyatakan bahwa bantuan internasional belum menjangkau komunitas mereka. Ini memperburuk keadaan dan memaksa mereka mengambil tindakan putus asa seperti barter seks untuk memperoleh makanan.

Dalam situasi seperti ini, komunitas internasional seharusnya berperan penting dalam membantu mengatasi krisis kemanusiaan di Sudan. Dukungan finansial dan logistik dari negara-negara donor sangat diperlukan untuk memastikan bahwa bantuan dapat sampai ke tangan yang membutuhkan. Selain itu, tekanan diplomatik terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dapat membantu mengurangi kekerasan dan memastikan bahwa pelaku kekerasan seksual diadili.

Dilema yang dihadapi perempuan Sudan dalam bertahan hidup dengan barter seks di tengah konflik adalah cerminan dari betapa mendesaknya situasi kemanusiaan di negara tersebut. Kekerasan seksual sebagai senjata perang telah menyebabkan trauma yang mendalam dan memperburuk kondisi sosial dan ekonomi perempuan yang sudah rentan. Upaya bantuan dan perlindungan dari komunitas internasional sangat diperlukan untuk membantu mereka yang menjadi korban. Saat dunia berusaha memahami krisis di Sudan, kisah-kisah yang dialami oleh perempuan di Sudan mengingatkan kita akan penderitaan yang mereka alami dan perlunya tindakan cepat untuk melindungi mereka yang paling berisiko.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *