Eks-Presiden Republik Afrika Tengah Pimpin Pemberontak Lawan Presiden Menjabat

0

Mantan Presiden Republik Afrika Tengah François Bozizé. Foto: Florent Vergnez/AFP

François Bozizé, eks-presiden Republik Afrika Tengah, dipercayai telah menerima jabatan koordinator umum grup pemberontak Coalition of Patriots for Change (CPC).

Pernyataan tersebut dilansir dari juru bicara CPC, Serge Bozanga, yang memberikan pernyataan pada kantor berita AFP mengenai persetujuan Bozizé atas pengangkatannya di bulan Februari lalu. Bozanga memastikan keotentikan dokumen yang ditandatangani pada 18 Februari yang menyatakan Bozizé menerima “panggilan” mereka.

CPC merupakan aliansi dari enam grup bersenjata yang menentang pengangkatan Presiden Faustin-Archange Touadéra melalui pemilu yang diselenggarakan pada 27 Desember 2020 lalu. 

Pergerakan ofensif pemberontakan mereka yang dimulai pada bulan Desember 2020 mendapat dukungan penuh dari Bozizé yang pada waktu itu masih menolak segala tuduhan bahwa dia mengepalai tindakan pemberontakan ini.

Pemberontakan CPC ini sendiri merupakan kelanjutan dari perang sipil negara Republik Afrika Tengah semenjak kekacauan yang ditimbulkan pada tahun 2013 setelah pemerintahan Bozizé yang pada waktu itu berumur 10 tahun diruntuhkan oleh grup pemberontak yang nantinya akan menyebabkan Touadéra untuk naik menjadi presiden pada tahun 2015.

Walau belum menyampaikan pernyataan resmi mengenai kenaikan jabatannya yang cukup kontroversial, Bozizé telah sering diselidiki keterlibatannya dengan grup pemberontak ini.

Pada tanggal 4 Januari 2021 sebelumnya, mantan presiden Republik Afrika Tengah tersebut sudah diperiksa mengenai hubungan dan keterkaitannya dengan CPC. Bozizé sendiri masih berada dibawah sanksi Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Tengah yang melarangnya untuk mencalonkan diri sebagai presiden sebelum dia bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang dia lakukan pada masa pemerintahannya.

Bozizé dicurigai akan keterlibatan dikarenakan grup CPC mulai beroperasi serempak dengan kepulangannya ke Republik Afrika Tengah pada tahun 2019 lalu.

Dilaporkan bahwa keinginan dari grup pemberontak adalah untuk menurunkan pemerintahan Touadéra  dan menggantikannya dengan Bozizé  dengan adanya insentif kepada kelompok bersenjata jika dapat berhasil meruntuhkan pemerintahan Touadéra. 

Serangan para pemberonyal pada tanggal 13 Januari 2021 terhadap ibukota Republik Afrika Tengah, Bangui, berhasil dipatahkan dengan bantuan 12.000 pasukan penjaga perdamaian PBB, serta masing-masing 300 pasukan dari Prancis, Rwanda, dan Rusia. Kegagalan besar CPC ini kelihatannya dapat meredam pemberontak dalam waktu sementara ini..

Namun, kegagalan penyerangan ibukota Bangui tentu jauh dari akhir cerita pemberontakan. Instabilitas di Republik Afrika Tengah yang hampir saja menemukan penyelesaiannya, meledak kembali dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dengan kembalinya Bozizé dan kelompok pemberontak yang berkomplot melawan pemerintah yang terpilih secara demokratis.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *