Filipina Makin Dirundung Cina, Sentralitas ASEAN Ke Mana?

0

Konflik Laut Cina Selatan dan Peran ASEAN/ Kredit Foto oleh JapanTimes.org

Ketegangan di Laut China Selatan (LCS) masih menjadi momok yang kunjung belum terselesaikan di wilayah Asia Tenggara. Salah satunya adalah bentrokan antara China dan Filipina yang terlibat dalam beberapa bentuk konfrontasi untuk mengklaim hak kedaulatan atas wilayah perairan dangkal Second Thomas Shoal di LCS yang disebut China sebagai wilayah Ren’ai Jiao atau dikenal Filipina sebagai Ayungin. Terjalinnya kesepakatan interim antara China-Filipina pada 21 Juli lalu sempat memberikan angin segar bagi proses resolusi sengketa LCS dengan tujuan untuk mengirim pasokan bantuan kepada personil kapal angkatan laut Filipina yang terdampar di wilayah sengketa. 

Kesepakatan tersebut merupakan hasil dari pertemuan diplomat kedua negara di Manila atas pemahaman kolektif akan perlunya mengelola konflik melalui konsultasi dan dialog dengan tidak merugikan salah satu pihak serta untuk mengakhiri konfrontasi konflik di perairan dangkal yang lebih besar. Namun, dalam perjanjian itu, tidak terdapat rincian klaim yang jelas pada wilayah maritim masing-masing pihak. Karenanya, sehari setelah terbentuknya kesepakatan, eskalasi konflik kembali meningkat antara kedua pihak ketika masing-masing saling memberikan pernyataan yang berlawanan. 

Juru bicara kementerian luar negeri China, Mao Ning, menyebutkan bahwa area perairan dangkal tersebut termasuk dalam wilayah kedaulatan milik China. Tidak sampai di situ, tuntutan untuk menarik kapal perang yang dinilai melanggar kedaulatan wilayah China juga dilayangkan kepada Filipina. Beijing turut menyebutkan bahwa dalam memproses pasokan bantuan bagi personil terdampar, Filipina perlu untuk melakukan verifikasi lokasi terlebih dahulu. Sementara itu, Filipina menyatakan bahwa akan terus menegaskan haknya di LCS dan mengklaim bahwa perjanjian sementara dengan China telah dicapai tanpa melanggar posisi nasional. Ketegangan China-Filipina yang kian meningkat di LCS juga menyoroti tantangan yang dihadapi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam merespons sengketa regional. Meskipun terdapat kesepakatan interim yang menawarkan solusi untuk meredakan ketegangan, ketidakpastian dan eskalasi konflik yang terjadi setelahnya menunjukkan keterbatasan ASEAN dalam mengelola situasi ini.

Tanda Meredupnya Sentralitas ASEAN?

Sebagai organisasi regional Asia Tenggara, ASEAN memiliki peranan signifikan dalam menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan. Sentralitas ASEAN di kawasan sebagai pemain utama menjadi strategi dalam mengelola sengketa wilayah dan menjaga stabilitas. Namun, keraguan mulai hadir karena hadirnya kepentingan aktor luar kawasan seperti China kian mengurangi otonomi ASEAN pada arsitektur regional. Terlebih, isu LCS di kawasan juga tidak kunjung menemukan titik terang kesepakatan antara negara anggota ASEAN dengan pihak eksternal yang terlibat.  Filipina yang mengalami konfrontasi langsung dengan China kini juga memitigasi ancaman tersebut secara mandiri dan belum menerima respons apapun dari ASEAN. 

Rumusan Declaration on The Conduct Of Partners in The South China Sea milik ASEAN yang ditandatangani sejak 2002 dengan tujuan untuk mempromosikan stabilitas perdamaian kawasan juga tidak memberikan hasil yang signifikan, terutama pada isu yang sedang dihadapi oleh Filipina karena lemahnya mekanisme penegakan dalam proses implementasinya. Posisi sentral ASEAN yang seharusnya hadir sebagai forum regional dalam menyalurkan solidaritas dalam penyelesaian masalah regional tidak berperan aktif dalam merespons isu terkait. Ketidaktegasan organisasi ini di kawasan sebagai organisasi rujukan negara-negara anggota juga kian meredupkan peran sentralitas ASEAN.

Sentralitas ASEAN: Apakah Masih Relevan?

Di samping limitasi ASEAN dalam melakukan resolusi konflik LCS, sentralitas ASEAN tetap diperlukan dalam menghadapi sengketa ketegangan dengan pihak eksternal terkhusus China. Kembali lagi pada tujuan pembentukan ASEAN adalah supaya konflik kawasan tidak bereskalasi sehingga tidak mengarah pada perang. Selain itu, norma-norma ASEAN yang berfokus pada perdamaian turut menjadi kepentingan strategis tersendiri sehingga sentralitas ASEAN masih dibutuhkan. Namun, penegasan konsep sentralitas ASEAN tetap perlu diperkuat sehingga identitas ASEAN sebagai pemain utama dalam menjaga perdamaian dan kestabilan di lingkup Asia Tenggara tidak kian terkikis oleh kepentingan eksternal lainnya. 

Dalam menyikapi hal ini, penyelesaian sengketa wilayah di LCS perlu diangkat ke tingkat organisasi regional ASEAN dibandingkan hanya dilakukan di lingkup bilateral karena mampu menggaet solidaritas negara anggota lainnya serta untuk mengurangi potensi konflik yang lebih luas dari perundingan bilateral yang cenderung asimetris. Pendekatan multilateral dapat membantu mencegah eskalasi konflik yang mungkin timbul dari perundingan bilateral yang tidak seimbang. Selain itu, alih-alih melakukan aksi ekstrem dan konfrontasi langsung pada China sebagai salah satu mitra strategis negara-negara Asia Tenggara, ASEAN dapat menerapkan strategi hedging dalam merespons sengketa antara China-Filipina. East Asia Forum (2023) menerangkan bahwa hedging merupakan bagian dari taktik dalam menjaga hubungan positif antara dua kubu berkonflik dengan mengirimkan sinyal atau respon yang menimbulkan ketidakpastian mengenai sejauh mana keterwakilan dari kepentingan keamanan kolektif. Upaya-upaya tersebut kemudian mampu meningkatkan potensi ASEAN untuk tetap menjadi pemain kunci dalam menjaga stabilitas regional yang melibatkan kekuatan eksternal seperti China.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *