Hancur, Terasingkan, dan Penuh Kecemasan: Kisah Pilu Pertaruhan Hidup Mati Warga Sipil di Wilayah Konflik Ukraina-Rusia

0

Ilustrasi kondisi konflik di Ukraina. Foto: Wikimedia Commons

Di suatu malam di bulan April 2021, saya iseng menonton salah satu video tentang perjalanan di Kirgistan dari kanal Bald and Bankrupt yang YouTube rekomendasikan ke saya di laman beranda. Kanal tersebut konsepnya sederhana namun cukup unik, yakni menampilkan vlog perjalanan seseorang asal Inggris bernama Benjamin ke berbagai tempat di negara-negara bekas Uni Soviet yang jarang terjamah tetapi kaya akan sejarah, seperti ketika Benjamin mengunjungi peristirahatan terakhir ekranoplan yang dikenal dengan caspian sea monster di Dagestan, Rusia.

Hampir setahun berlalu, saya pun telah tenggelam di dalam dunia Benjamin. Saya kini telah menonton semua video yang di kanal utamanya, Bald and Bankrupt, dan kanal keduanya, Daily Bald. Saya sudah menonton perjalanannya ke banyak negara-negara bekas Uni Soviet, mulai dari Belarusia dan Ukraina di tepi Barat hingga perjalanannya di sebuah kota kecil bernama Tinda di Timur Jauh Rusia.

Tak hanya menonton konten-kontennya, Bald and Bankrupt juga berhasil membuat saya tertarik dengan sejarah dan dinamika yang terjadi di wilayah negara-negara bekas jajahan Uni Soviet, seperti ketimpangan ekonomi atau perselisihan yang terjadi antara satu negara dengan yang lain—termasuk konflik di perbatasan Ukraina-Rusia.

Harus diakui bahwa meskipun saya adalah seorang sarjana Hubungan Internasional, saya sebelumnya tak acuh dengan dinamika keamanan, politik, ekonomi, dan kawasan Eropa Timur, khususnya Uni Soviet. Justru ketertarikan saya baru muncul ketika saya menonton video Bald and Bankrupt yang berjudul Solo Through War-Torn Donbass.

Di video tersebut, Benjamin menjelaskan bagaimana situasi di perbatasan Ukraina-Rusia yang telah hancur dengan nuansa yang mentah dan apa adanya. Ia menunjukkan tembok di tengah kota yang penuh dengan tembakan peluru, yang bisa saya pastikan bahwa gedung tersebut adalah milik warga sipil.

Ia juga berdiskusi dengan warga lokal, yang salah satu dari mereka adalah seorang nenek yang bercerita bahwa ketika konflik terbuka sedang memanas di tahun 2014-2015, dirinya terkena pecahan peluru (shrapnel) dan membuatnya terluka parah. Warga lainnya, seorang supir taksi, bercerita bahwa ketika konflik sedang memanas, situasi jalanan di kota-kota Donbass tidak jauh berbeda mencekamnya dengan Chernobyl setelah kebocoran reaktor nuklir.

Cerita nenek dan supir taksi ini bukanlah sekadar cerita anekdot. Faktanya, telah ada 13 ribu lebih korban tewas, dengan 3 ribu di antaranya adalah warga sipil. Belum lagi sekitar 7 hingga 9 ribu warga sipil yang diestimasikan terluka dan 1,5 juta orang diestimasikan kehilangan tempat tinggal akibat konflik yang membentang di perbatasan sepanjang lebih dari 450 km ini. Angka-angka ini menjadi gambaran besar yang menunjukkan kehancuran, keterlukaan, dan keterasingan warga kota Donetsk dan Luhansk saat ini, yang tak sampai 1 dekade lalu begitu gemerlap dan semarak ketika menjamu tamu dari 31 negara Eropa lainnya dalam perhelatan Piala Euro 2012.

Namun sayangnya, tak peduli seberapa besar angka-angka tadi saya suguhkan, kita semakin kebal dengan angka-angka tersebut. Setiap harinya, kita sudah terbiasa dengan suguhan konflik dan data yang menyertainya, sampai-sampai data-data tersebut tak lagi menyayat hati.

Maka dari itu, izinkan saya mengajak Anda kembali memahami perspektif warga sipil Donbass dan melihat bagaimana konflik Ukraina-Rusia telah mengubah hidup sehari-hari warga perbatasan menjadi pertaruhan hidup dan mati, di wilayah yang bahkan baru belakangan ini saya tahu letaknya di peta.

Pertaruhan Hidup dan Mati di Wilayah Donbass

Saya tidak melebih-lebihkan ketika berkata bahwa kehidupan di wilayah Donbass sejak konflik pecah di Ilovaisk tahun 2014 dan Debaltseve tahun 2015 adalah pertaruhan hidup dan mati setiap harinya. Sebab, setiap hari, kehidupan di Donbass dipenuhi dengan ancaman serangan dan tembakan, ranjau darat, dan keterbatasan akses ke kebutuhan esensial.

Ancaman Serangan dan Tembakan

Masih segar di ingatan kita bagaimana pesawat komersial berisikan warga sipil Malaysian Airlines MH 17 ditembak ketika terbang melintas di atas wilayah Donbass. Hal seperti itu adalah pil pahit yang menjadi kenyataan sehari-hari warga sipil di wilayah tersebut. Tanpa pengumuman, tanpa peringatan, kehidupan dapat berubah dan bahkan berakhir begitu saja.

Bicara tentang gencatan senjata di wilayah tersebut juga hanya omong kosong belaka. Tidak ada gencatan senjata yang benar-benar terjadi di wilayah perbatasan Ukraina. Sepanjang tahun 2018 saja, Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) Special Monitoring Mission mencatat ada pelanggaran gencatan senjata sebanyak lebih dari 312 ribu kali. Itu artinya, rata-rata hampir seribu pelanggaran gencatan senjata setiap harinya.

Ancaman Ranjau Darat

Bahkan jika gencatan senjata dan situasi benar-benar mereda, hidup di perbatasan Ukraina-Rusia tetap begitu berbahaya. Saat ini, Ukraina tercatat sebagai salah satu negara dengan wilayah yang terkontaminasi ranjau darat paling tinggi di dunia. Sepanjang tahun 2015-2018, Ukraina mencatatkan kecelakaan ranjau darat terbanyak di dunia, dan berada di posisi nomor tiga korban ranjau darat terbanyak, di belakang Afghanistan dan Suriah.

Terdapat setidaknya dua cerita memilukan yang hadir dari ranjau darat ini. Pertama, di bulan April 2018, ketika keluarga yang beranggotakan empat orang tewas setelah mobil yang mereka tumpangi meledak karena menginjak ranjau darat dekat Sungai Sieverskyi Donets di Pishchane (bagian dari wilayah Luhansk, Donbass). Di bulan Oktober 2018, dua pekerja harus terluka selepas memperbaiki pipa saluran air bersih di wilayah Zalizne (bagian dari wilayah Donetsk, Donbass) setelah truk mereka juga menginjak ranjau darat.

Keterbatasan Akses ke Kebutuhan Esensial

Tidak hanya membahayakan nyawa secara langsung, kehadiran ranjau darat ini juga mau tidak mau membatasi ruang gerak warga. Akibatnya, kebutuhan esensial sulit terpenuhi di berbagai desa karena akses menuju tanah perkebunan warga dan penghubung antar desa banyak yang ditutup.

Seolah hidup di tengah ancaman serangan dan ranjau darat setiap saat kurang membuat warga Donbass menderita, konflik membawa kesulitan lain bagi kehidupan warga sehari-hari: tercemarnya Sungai Sieversky Donets yang menjadi sumber air sehari-hari jutaan warga yang tinggal di sekitar wilayah Luhansk Oblast dan Donetsk Oblast. Tercemarnya sungai ini terjadi karena tembakan-tembakan yang mengarah ke wilayah sekitar sungai telah merusak infrastruktur pipa saluran air. Akibatnya, suplai air menjadi begitu terbatas, dengan 30 persen warga yang tinggal berjarak 20 kilometer dari sungai mengalami kekurangan pasokan air bersih.

Kekurangan air bersih ini pun telah mendorong banyak pihak untuk mau tidak mau membeli air bersih. Namun, harga yang begitu mahal telah membuat banyak warga akhirnya memilih untuk tetap menggunakan air yang telah terkontaminasi. Akibatnya, di bulan April 2019, terjadi wabah gastroentritis di wilayah Donbass.

Pihak pengelola saluran air, Voda Donbassa, bukannya tidak mau memperbaiki kualitas dari air yang mereka kelola. Namun, risiko kerja yang begitu berbahaya telah membuat pekerjaan perbaikan pipa penyuplai air menjadi amat sulit dilakukan. Tercatat, sudah ada sembilan orang pekerja yang meninggal dan 26 lainnya luka-luka semenjak konflik dimulai.

Memahami tentang pertaruhan hidup dan mati di kehidupan sehari-hari warga Donbass, seharusnya membawa kita lebih peka dan sensitif atas angka-angka yang saya sebutkan di bagian sebelumnya. Benar, angka tersebut mungkin tidak sebombastis konflik-konflik lainnya, sehingga melihat angka statistik tersebut, skala konflik masih terasa ‘biasa saja’. Namun, jika kita melihat bagaimana di setiap angka, ada keluarga yang kehilangan tempat tinggal karena dihancurkan senjata, ada warga yang terasingkan dari tanah kelahirannya, dan ada orang-orang yang setiap harinya penuh kecemasan karena tak dapat memenuhi kebutuhan esensialnya, seharusnya dapat membuka mata dan hati kita bahwa konflik Ukraina-Rusia—terlepas seberapa penting atau tidaknya bagi kita—telah membuat jutaan warga sipil menderita. Derita yang seharusnya tak dirasakan, jika saja manusia yang lebih berkuasa tidak rakus dan buta akan kekuasaannya.

Hafizh Mulia adalah Managing Director dari Kontekstual. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @hafizhmulia.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *