Historical Race for COVID-19 Vaccine Inventor: Who has the Potential to Incise It?

0

Ilustrasi uji coba vaksin. Foto: FPCI UI.

Latar Belakang

Lebih dari setengah tahun pandemi COVID-19 menyerang semua negara dari berbagai sisi, sebuah harapan bagi masa yang dipenuhi ketidakpastian ini bergantung pada vaksin yang masih dikembangkan. Sebagai penyelamat yang dipercaya paling efektif dan ditunggu-tunggu untuk membebaskan masyarakat dunia dari status pandemi, vaksin menjadi suatu hal yang menarik dan penting untuk dibahas. Penelitian mengenai vaksin telah dimulai sejak 11 Januari 2020, ketika para ilmuwan pertama kali mengidentifikasi pandemi yang awalnya diduga disebabkan oleh pneumonia ini sebagai pandemi COVID-19 dan mempublikasikan cetak biru molekuler virus corona. Amerika Serikat, melalui perusahaan bioteknologi Moderna Therapeutics, berhasil menjadi negara pertama yang melakukan uji coba vaksin pada 16 Maret 2020, lalu disusul pada bulan April oleh Institut Riset Kesehatan dan Medis Prancis, perusahaan Inggris-Prancis (GlaxoSmithKline dan Sanofi), Jerman, Universitas Oxford, Imperial College London, Institut Gamaleya di Rusia, dan negara Eropa lainnya. Hingga kini, terhitung 80 kelompok di seluruh dunia yang meneliti dan menjalankan uji klinis vaksin COVID-19, lebih dari 165 vaksin yang dikembangkan para peneliti untuk melawan COVID-19, dan 30 diantaranya sedang dalam masa uji coba manusia.

Namun, kapasitas produksi vaksin yang pasti terbatas menyebabkan vaksin tidak akan langsung memenuhi kebutuhan seluruh populasi dunia. Menurut Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, pemimpin konsorsium pembuatan vaksin COVID-19 di Indonesia, kapasitas produksi vaksin dunia saat ini hanya sekitar 8-10 juta dosis per minggu. Kondisi ini memaksa para pengambil keputusan untuk membuat pilihan dalam distribusi vaksin, terutama pembuat kebijakan di negara produsen vaksin, mengingat pengaruh pandemi COVID-19 terhadap aspek kesehatan, ekonomi, dan pendidikan semakin mengkhawatirkan. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), karantina wilayah (lockdown), atau mekanisme New Normal hanyalah upaya untuk mengurangi risiko penyebaran virus, satu-satunya langkah untuk menyelesaikan pandemi ini secara efektif adalah dengan penemuan vaksin COVID-19.

FPCI Chapter UI Diplomatic Review #5 ini mencoba untuk menganalisis distribusi vaksin dari beberapa aspek dengan harapan dapat menyuguhkan pembahasan yang komprehensif dan holistik. Perspektif yang dibawa adalah distribusi vaksin dari aspek hukum, aspek ekonomi, dan aspek geopolitik internasional. FPCI Chapter UI Diplomatic Review #5 juga dilengkapi dengan skenario-skenario yang mungkin hadir dengan konfigurasi politik seperti yang kini terjadi. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, diharapkan FPCI Chapter UI Diplomatic Review #5 dapat memproyeksikan arah distribusi vaksin dan menyoroti faktor-faktor yang bisa mempengaruhi alokasi vaksin dalam waktu dekat. 

Aspek Determinan Distribusi Vaksin

Aspek Hukum: Hak Kekayaan Intelektual

Konsep hukum yang paling dekat dan tidak lepas dengan isu ini adalah konsep hak kekayaan intelektual. Hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights) mengacu pada kreasi yang dihasilkan oleh pemikiran manusia, salah satunya invensi. Hak ini mengizinkan inventor atau pemilik mendapatkan keuntungan perlindungan moral dan kepentingan material dari hasil ciptaannya atau investasi yang diberikan pada invensi tersebut. Apabila dirincikan, hak ini terdiri dari merek, desain industri, hak cipta, rahasia dagang, dan hak paten. 

Hak kekayaan intelektual, dalam hal ini paten, disematkan pada temuan untuk melindungi hak antara konsumen dan penemu. Konsumen menjadi terhindar dari penipuan karena pihak yang tidak mendapat izin, tidak berhak memproduksi dan menjual produk tersebut. Penemu juga mendapat hak atas hasil pemikiran dan temuannya sehingga memicu masyarakat untuk terus berinovasi. Hak ini membuat produsen harus membayar sejumlah uang pada penemu untuk dapat memproduksi temuan tadi. Alhasil biaya produksi menjadi mahal dan nilai jual tinggi. Hak kekayaan intelektual seperti paten juga memiliki jangka waktu. Di Indonesia, berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, jangka waktu paten ialah 20 tahun sejak tanggal penerimaan. Serupa dengan Indonesia, jangka waktu paten di Amerika Serikat juga 20 tahun berdasarkan Title 35 of the United States Code tentang Paten. Setelah jangka waktu tersebut selesai, maka hak tersebut tidak berlaku dan semua orang boleh memproduksi temuan tersebut. Contoh konkret dari habisnya hak paten ini adalah obat generik, yang masa hak patennya telah habis sehingga dapat diproduksi dan dijual dengan harga yang lebih rendah.

Hukum menawarkan mekanisme lain sebagai alternatif bagi permasalahan ini, yakni penetapan compulsory license, yaitu sebuah mekanisme yang terdapat pada Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, sebuah perjanjian yang dimuat dalam annex 1C Perjanjian Marrakesh yang menjadi dasar pembentukan World Trade Organization (WTO). Mekanisme ini berjalan dengan otorisasi paten oleh pemerintah tanpa izin dari penemunya sehingga pemerintah dapat memproduksi versi generik dari produk yang memiliki paten tanpa izin dari pemilik hak paten agar harga barang tersebut lebih murah. Mengingat sifat hak kekayaan intelektual yang sangat teritorial, pemerintah akan menjadi pihak yang bertanggung jawab untuk mengeksekusi mekanisme compulsory license ini. Mekanisme seperti ini bisa menjadi jawaban dalam permasalahan tingginya harga vaksin. Saat harga vaksin terlalu tinggi dan sulit diakses oleh masyarakat, pemerintah dapat memberi izin produksi vaksin pada perusahaan produsen vaksin tanpa izin dari penemunya sehingga harga vaksin, dalam hal ini vaksin Covid-19, dapat memiliki harga yang lebih terjangkau. Walaupun mekanisme ini bisa dilakukan, ada baiknya pilihan ini ditempatkan sebagai langkah terakhir mengingat ada penemu yang masih perlu kita hormati. 

Aspek Ekonomi: Negara yang Membayar Lebih, Konsep Kelangkaan

Dalam ekonomi terdapat sebuah istilah kelangkaan (scarcity), yaitu jumlah permintaan jauh melebihi jumlah penawaran sehingga barang yang ditawarkan menjadi langka dan sulit diakses. Hal ini tentu sangat relevan, mengingat penemuan vaksin COVID-19 tidak serta-merta menjamin produksi bisa memenuhi kebutuhan dunia. Selain itu, konsep ekonomi lain yang relevan dengan komoditas vaksin adalah istilah barang publik dan barang privat. Barang publik adalah barang yang tidak eksklusif dan bisa dinikmati semua orang, seperti jalan tol, sistem pertahanan, lampu lalu lintas, jembatan, taman kota. Sedangkan, barang privat adalah barang yang eksklusif, terbatas penggunaannya, dan diperjualbelikan. Sejatinya, vaksin adalah barang privat yang langka dan diperjualbelikan, namun untuk kepentingan kemanusiaan dan percepatan pemulihan pandemi, vaksin perlu dijadikan barang publik agar dapat dengan mudah diakses seluruh kalangan untuk sedikit mengatasi permasalahan kelangkaan, mengingat sifat virus yang tidak mengenal status ekonomi dan akan terus menular jika penyebarannya tidak dihentikan di seluruh wilayah. Distribusi vaksin di beberapa negara akan menjadi sia-sia karena negara yang belum mendapatkan vaksin masih bisa menjadi masalah bagi negara yang telah mendapatkannya.

Lalu, bagaimana ekonomi akan mempengaruhi distribusi vaksin? Jawabannya ada pada kedua konsep yang baru saja dipaparkan, yakni masalah kelangkaan dan barang publik. Saat vaksin pertama kali ditemukan tentu untuk mencapai tujuan pengentasan pandemi, kedua konsep tadi perlu dipertimbangkan. Jika para produsen memegang komitmen untuk menjadikan produk vaksin sebagai barang publik, maka permasalahan kelangkaan hanya muncul dari kapasitas produksi yang tidak bisa memenuhi kebutuhan vaksin dunia pada satu kali produksi. Salah satu mekanisme untuk menjadikan barang privat menjadi barang publik adalah dengan mekanisme Public Private Partnership seperti yang dapat kita temui dalam pembangunan MRT di mana beberapa fase pembangunan dapat dibiayai oleh pihak swasta dan sebagian oleh pemerintah. 

  Selain menjadikannya barang publik, terdapat mekanisme ekonomi lain yang dapat menjadi solusi ketimpangan distribusi vaksin, yakni subsidi silang antara negara yang memiliki ekonomi yang lebih kuat dan negara dengan ekonomi sulit. Dengan pemberlakuan subsidi silang diharapkan akan ada pemerataan distribusi vaksin sehingga tujuan pengentasan pandemi bisa lebih cepat dicapai. Namun, terdapat kemungkinan lain yang ternyata mempersulit distribusi vaksin. Pada kenyataannya, setiap barang komersial akan dijual pada konsumen yang akan membeli dengan harga mahal untuk memperbesar keuntungan. Sama seperti vaksin yang apabila hanya mengedepankan nilai ekonominya, maka distribusi akan terpusat pada negara-negara maju yang memiliki kesanggupan untuk membayar lebih mahal dibanding negara berkembang.

Aspek Politik: Public Private Partnership dan Politik Luar Negeri

Selain aspek hukum dan ekonomi, aspek politik tentu berperan besar dalam distribusi vaksin COVID-19. Semua pertimbangan hukum dan ekonomi akan bermuara pada keputusan yang didasari oleh konsiderasi politis. Kemampuan bernegosiasi negara penerima vaksin, manuver, dan kepentingan politik dari negara produsen vaksin merupakan beberapa determinan yang cukup signifikan dalam peta distribusi vaksin ini. Kedekatan hubungan diplomatik antarnegara juga memiliki peran yang signifikan untuk memastikan akses prioritas terhadap vaksin dari negara produsen.

Perihal di atas memunculkan sebuah istilah bernama “vaccine nationalism”, di mana pendistribusian vaksin COVID-19 terhadap suatu negara bukanlah berdasarkan kepentingan internasional yang merata, melainkan dicampuri oleh adanya kepentingan nasional. Contohnya, Amerika Serikat sebagai negara pertama yang berinvestasi mendanai penelitian dan pengembangan vaksin COVID-19 oleh raksasa farmasi Perancis Sanofi yang bermitra dengan Biomedical Advanced Research and Development Authority dan GlaxoSmithKline PLC akan menjadi yang pertama mendapatkan vaksin dan berhak mendapatkan jumlah pemesanan terbesar ketika perusahaan itu berhasil menemukannya. Dalam peristiwa ini terjadilah politik balas budi, di mana sebuah aksi membalas jasa diambil oleh suatu pihak kepada pihak yang telah mengeluarkan banyak tenaga demi pihak tersebut. Terlihat bahwa Amerika Serikat rela mengeluarkan banyak uang untuk mendanai perusahaan-perusahaan tersebut terlepas dari risiko terjadinya resesi ekonomi yang semakin parah dalam situasi ini. Namun, demi kepentingan nasional negaranya, Presiden Trump tetap mendanai perusahaan-perusahaan tersebut dan sebagai balas budinya sehingga Amerika Serikat akan menjadi negara prioritas penerima vaksin COVID-19 apabila perusahaan-perusahaan tersebut berhasil menemukannya. 

Poin lain yang terlihat dalam perebutan akses distribusi vaksin COVID-19 adalah sebuah aksi politik luar negeri yang tentunya melibatkan proses diplomasi yang ditunaikan oleh seorang diplomat untuk “membeli” kartu kuota atau bahkan kartu prioritas terhadap vaksin COVID-19. Alisher Faizullaev, D.Sc., Ph.D., seorang Adjunct Professor di Universitas Webster, mengungkapkan peran diplomat untuk negaranya dalam pengamanan akses vaksin COVID-19 dilakukan dengan negosiasi untuk membangun kerja sama internasional antara pemerintah, institusi kesehatan, dan perusahaan farmasi untuk menjamin pengadaan akses terhadap pasokan vaksin COVID-19 dalam jumlah besar. Pemerintah tiap negara juga akan memanfaatkan hubungan luar negeri mereka dengan negara produsen untuk mendapatkan vaksin sebelum negara-negara lain. Peristiwa ini kini disebut sebagai “vaccine diplomacy”, di mana perwakilan negara yang unggul dalam bernegosiasi dan menawarkan prospek keuntungan yang dapat disediakan negaranya untuk memajukan negara produsen yang akan memenangkan “kartu” tersebut.

Pemerintah Indonesia pun mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan akses Indonesia terhadap vaksin COVID-19. Rizki Aulia Natakusumah, Anggota Komisi I DPR RI,  mengatakan bahwa Indonesia perlu meningkatkan kerja sama strategis internasional terkait pertukaran informasi dan menunjang penelitian vaksin COVID-19 di dalam negeri. Menurut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, diplomasi Indonesia fokus memastikan ketersediaan peralatan medis dan obat-obatan, akses terhadap vaksin, dan kerja sama antara perusahaan farmasi nasional dengan mitra luar negeri untuk mengembangkan vaksin secara mandiri. Bentuk kemitraan Indonesia dalam hal penjaminan akses terhadap vaksin, misalnya 22 rumah sakit di Indonesia tergabung dalam Global Solidarity Trial yang mengujicobakan beberapa jenis obat-obatan COVID-19 dan penjalinan kerja sama dengan The Coalition for Epidemic Preparedness Innovation (CEPI) di Norwegia juga perusahaan biofarmasi Sinovac Biotech di Cina. 

Beberapa negara juga telah membuat perjanjian dengan produsen vaksin COVID-19 untuk mengamankan negara mereka dalam daftar penerima stok vaksin COVID-19. Brasil, Amerika Serikat, dan Uni Eropa telah mencapai kesepakatan dengan AstraZeneca PLC yang bermitra dengan Universitas Oxford untuk menjamin 300 juta dosis vaksin Universitas Oxford disalurkan ke negara mereka. Inggris juga membuat perjanjian dengan perusahaan yang sama untuk mendapatkan akses yang pertama dalam mendapatkan 30 dosis vaksin COVID-19. Selain itu, Inggris membuat perjanjian dengan Pfizer and BioNTech untuk 30 juta dosis vaksin dan Valneva dari Prancis untuk 60 juta dosis vaksin.

Di Indonesia sendiri, uji coba vaksin COVID-19 yang dilakukan pertama kali berasal dari perusahaan biofarmasi Sinovac Biotech asal Cina yang berkomitmen untuk memberikan Indonesia akses vaksin COVID-19 yang dibuat Sinovac. Perihal ini terjadi karena mesranya hubungan Indonesia dengan Cina melalui kerja sama bilateral antar keduanya. Cina merupakan mitra dagang terbesar Indonesia yang berinvestasi di sejumlah proyek infrastruktur besar negara, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Indonesia juga menempatkan Cina sebagai investor asing terbesar ketiga, setelah Singapura dan Jepang. Relasi Indonesia-Cina juga semakin erat dengan banyaknya perjanjian yang telah diimplementasikan melalui kesepakatan penguatan kemitraan kerja sama bilateral yang naik ke level comprehensive strategic pada 2013 lalu, begitu menurut ahli politik internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah. Sehingga tak heran, kalau Cina berbaik hati menyalurkan vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasinya untuk segera memulihkan Indonesia mengingat banyaknya investasi dan kemitraan dagang yang Cina letakkan di Indonesia.

Studi Kasus Vaksin COVID-19

Aspek Hukum

Peradaban manusia kini sangat berpegang pada vaksin COVID-19 yang masih dalam tahap perkembangan. Ketika vaksin sudah ditemukan, tentu dibutuhkan peraturan yang menjadi dasar hukum bagi pengadaan, penggunaan, bahkan pemroduksian vaksin tersebut. Dasar hukum krusial untuk segera dibicarakan oleh para regulator, mengingat dasar inilah yang akan digunakan sebagai perlindungan bagi vaksin COVID-19 sehingga tidak ada celah untuk tangan-tangan jahat dalam memonopoli stok dan pasar demi meminimalisir masalah hukum di masa mendatang. Dengan kata lain, regulasi untuk vaksin COVID-19 akan menjadi tindakan preventif pemerintah melalui pengenaan pidana untuk mencegah lahirnya oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan keadaan. 

Jumlah vaksin COVID-19 pada awal produksi tidak akan dapat sekaligus memenuhi jumlah populasi dunia, apalagi dengan kebutuhan dua suntikan untuk tiap orang sehingga harus dibuat prioritas. Oleh karenanya, ketika vaksin COVID-19 telah ditemukan dan siap digunakan secara massal, pemerintah harus segera mengesahkan peraturan yang memuat kriteria prioritas pengguna vaksin agar tidak menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat dan mencegah pemberian akses prerogatif yang sewenang-wenang hanya karena pihak tersebut memiliki kekuasaan dan harta. Menurut Kepala Lembaga Biologi Molekular Eijkman Amin Soebandrio, kriteria yang perlu diprioritaskan ialah tenaga medis, warga berusia lanjut, dan mereka yang memiliki riwayat kesehatan serius. Selain itu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pelayanan dan Penerbitan Sertifikat Vaksinasi Internasional telah mengatur bahwa vaksin diprioritaskan untuk anggota masyarakat yang ingin bepergian ke negara yang terkena wabah (dalam keadaan epidemi). 

Aspek hukum lain yang akan terlibat dalam pengembangan vaksin ialah hak atas kekayaan intelektual, khususnya paten, untuk melindungi hak moral dan hak ekonomi dari penemu terkait metode atau temuan miliknya yang lekat dengan unsur kebaruan. Namun, permasalahannya adalah kepentingan untuk menyelamatkan manusia sebanyak mungkin dapat terganggu karena pengenaan hak paten pada vaksin COVID-19 akan cenderung mementingkan kebutuhan ekonomi inventor dan pemerintah, di mana harga vaksin tersebut akan meroket dan sulit dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Hal ini merupakan sebuah masalah karena pandemi akan tetap mempengaruhi kehidupan masyarakat jika vaksin hanya dapat diakses oleh sebagian populasi. Bahkan persentase minimal penduduk yang menerima vaksin agar masyarakat dapat menumbuhkan herd immunity adalah 70% persen dari jumlah penduduk pada setiap negara. Sebaliknya, perlindungan paten vaksin COVID-19 dinilai sangat penting bagi perusahaan produsen dan negara, sebab pengembangan dan uji cobanya menghabiskan dana yang fantastis. Sebenarnya, pemerintah dapat melaksanakan paten tanpa izin dari pemegang paten dalam situasi yang mendesak untuk memproduksi produk farmasi dan/atau bioteknologi yang dipatenkan dalam jumlah banyak untuk menanggulangi kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia sehingga inventor tetap mendapatkan hak ekonomi dan ciptaannya terlindungi, hal ini disebut sebagai compulsory licensing. Ketika vaksin COVID-19 telah ditemukan, para regulator harus segera menetapkan apakah hak paten akan digunakan dan apabila tidak, peraturan apa yang harus dibuat untuk menjadi dasar hukum bagi perlindungan vaksin dan produsennya. 

Hingga kini masih belum banyak preseden mengenai penggunaan compulsory license dalam pandemi, namun kita bisa menggunakan penerapannya di negara lain sebagai perbandingan. Jerman merupakan salah satu negara yang pernah memberikan compulsory license dari paten milik Shionogi pada Raltegravir untuk virus HIV pada Merck. Untuk menghadapi pandemi Covid-19, beberapa negara juga menggunakan mekanisme ini. Kanada, Chili, dan Ekuador adalah contoh negara yang membuat kebijakan untuk menunda hak paten dan memberi justifikasi atas penetapan compulsory license terhadap hak kekayaan intelektual yang berhubungan dengan Covid-19.

Aspek Politik dan Pemerintahan

Pemerintah nantinya perlu mengeluarkan kebijakan atau mandat baru terkait penggunaan vaksin COVID-19 dengan dua pilihan, yakni apakah pemerintah akan memberikan mandat vaksinasi COVID-19 kepada seluruh warga negaranya meski mereka dalam keadaan sehat atau hanya warga negara tertentu yang paling berisiko dan paling memungkinkan melakukan kontak dengan pasien positif COVID-19? Hal ini perlu dipertegas untuk mengamankan jumlah vaksin COVID-19 yang sekiranya dibutuhkan. Apabila pemerintah ingin agar seluruh warganya menggunakan vaksin, maka pemerintah harus mempromosikan kesehatan dan keselamatan publik untuk mendapatkan kepatuhan warga. Pemerintah juga harus berhati-hati terhadap pengaruh gerakan anti vaksinasi, lantaran pemberlakukan kebijakan menggunakan masker tiap keluar rumah saja masih diremehkan oleh masyarakat, seperti yang dilakukan oleh anti-face-mask movement di Kanada, India, dan Amerika Serikat. Tetapi, apabila pemerintah hanya ingin memvaksinasi pihak dengan kriteria tertentu, hal ini akan dapat membendung penyebaran virus dengan lebih baik dan menekan biaya konsumsi vaksin COVID-19. 

Aspek politik yang kental dalam masa pengembangan vaksin COVID-19 juga adalah bagaimana nantinya negara penghasil vaksin atau yang menjadi rumah dari perusahaan penghasil vaksin akan memborong hubungan internasional dan kerja sama multilateral dari banyak negara hingga 3-5 tahun. Perihal ini dapat dipastikan terjadi mengingat inilah konsekuensi politik dari negara penemu vaksin COVID-19. Di sinilah peran pemerintah akan semakin menonjol, negara dengan politik yang lemah dikhawatirkan sulit mendapatkan akses vaksin COVID-19 dengan cepat karena negara-negara besar yang berambisi menjadi penemu vaksin seperti Amerika, Rusia, Inggris dan Cina tentunya akan mendahulukan negara yang memiliki komitmen, pengaruh, dan kekuatan politik terhadapnya. 

Aspek Ekonomi

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, ketika vaksin COVID-19 ditemukan akan ada permasalahan kelangkaan, sebab jumlah produksi tidak akan langsung memenuhi jumlah 7 miliar lebih populasi dunia. Indonesia saja perlu minimal 340 juta dosis vaksin COVID-19 yang terdiri atas dua kali suntikan vaksin bagi tiap orang, sedangkan kapasitas maksimal produksi vaksin oleh Bio Farma hanya 250 juta dosis. Selain itu, untuk memperlancar distribusi vaksin COVID-19 ketika nanti ditemukan, WHO meminta agar vaksin COVID-19 dijadikan barang publik agar dapat diakses seluruh pihak. Hal ini lalu disambut Cina dengan berjanji akan menetapkan vaksin buatannya sebagai barang publik. Di sisi lain, demi mengatasi kelangkaan, negara-negara Uni Eropa, yakni Italia, Jerman, Belanda, dan Prancis rela mengucurkan dana hingga 750 juta euro atau setara dengan Rp 11,9 triliun untuk mengamankan 300 juta dosis vaksin yang sedang dikembangkan oleh AstraZeneca PLC. Amerika Serikat juga melakukan hal yang serupa dengan Sanofi dan Novavax. Presiden Trump mengeluarkan dana sebesar 1,6 miliar dolar Amerika Serikat untuk mempercepat pengembangan vaksin COVID-19, sehingga Amerika Serikat dapat berada dalam daftar tertinggi penerima vaksin produksinya. Melihat keadaan ini, dapat dipastikan perusahaan pertama yang berhasil menemukan vaksin COVID-19 akan sangat dibanjiri pesanan dari seluruh negara yang tentunya bernilai ekonomi sangat tinggi. Hal ini tidak hanya akan memakmurkan perusahaan produsen, melainkan juga negara tempat perusahaan tersebut. Dengan menjadi produsen vaksin COVID-19 pertama yang telah teruji klinis berhasil mematikan virus corona, negara yang menjadi rumah dari perusahaan produsen akan memperoleh stimulus dana dan investasi dari negara-negara maju maupun berkembang, satu persatu masalah ekonomi pun akan dapat dibenahi.

Lalu, bagaimana dengan negara yang telah terlanjur mengeluarkan dana fantastis demi pengembangan vaksin COVID-19 namun gagal dan tetap harus mengeluarkan dana lagi untuk membeli vaksin dari perusahaan di negara lain? Pilihannya memang tidak lain untuk membeli vaksin COVID-19 dari perusahaan inventor dan dengan cepat mendistribusikannya ke masyarakat demi segera mengembalikan keadaan seperti semula. Dengan demikian, segala dana yang telah dikeluarkan untuk penanganan COVID-19 dapat kembali dan pemulihan ekonomi dapat segera diwujudkan. Ketika nantinya vaksin COVID-19 telah ditemukan dan perusahaan produsen memilih untuk membagikan “resep rahasia” mereka kepada perusahaan farmasi lain dan memutuskan untuk bekerja sama memproduksi vaksin COVID-19 dalam jumlah lebih besar, tentu hal ini akan sangat apik untuk mempercepat pemulihan dunia dari pandemi ini, terutama dalam hal ekonomi.

Skenario Distribusi Vaksin

Skenario Vaksin Produksi Swasta vs. Produksi Pemerintah

Vaksin COVID-19 produksi swasta dan pemerintah tentunya memiliki perbedaan, bukan dari sisi kualitas, melainkan dari sisi balas budi dan ekonomi seperti yang telah dibahas sebelumnya. Perusahaan swasta akan menetapkan sendiri daftar penerima vaksin produksinya, dimulai dari negara yang “menanam” investasi dengan memberikan dana fantastis untuk pengembangan vaksin yang dilakukan perusahaan tersebut. Di sisi lain, pemerintah akan memfokuskan pendistribusian vaksin temuannya kepada negara-negara yang memiliki komitmen politik atau kepentingan ekonomi dengannya, seperti Indonesia dengan Cina yang telah dibahas sebelumnya, pemerintah negara tersebut akan mendahulukan negara tempat ia berinvestasi paling banyak.

Selain itu, perusahaan swasta, terutama yang tidak bekerja sama dengan pemerintah, akan lebih meraup keuntungan sehingga harga yang dipasang pada vaksin temuan mereka menjadi lebih tinggi dan lebih sulit untuk dijangkau negara-negara miskin. Sedangkan, vaksin produksi pemerintah akan cenderung lebih murah karena tentunya lebih mempertimbangkan sisi keefektifan dari distribusi vaksin yang adil dan merata demi mempercepat pemulihan dunia, terutama dalam hal ekonomi dan kesehatan, sehabis masa pandemi ini. Melihat kondisi seperti ini, akan jauh lebih baik apabila perusahaan swasta dan pemerintah bekerja sama karena dengan keterlibatan tenaga ahli atau peneliti dari perusahaan swasta dan perusahaan milik negara agar mempersingkat penemuan vaksin COVID-19 pada awal atau pertengahan tahun 2021.

Sebagai contoh, harga rapid test di Indonesia yang awalnya mahal dapat ditekan harganya karena adanya intervensi pemerintah dalam pengadaan perangkat tes tersebut. Kementerian Kesehatan mengumumkan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor: HK.02.02/1/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan rapid test Antibodi bagi pasien mandiri. Melalui surat ini, pemerintah menekan harga rapid test agar lebih terjangkau bagi masyarakat.

Skenario Ideal dan Skenario Pesimis

Terdapat dua skenario utama dalam hal pengembangan dan distribusi atau penggunaan vaksin. Pertama, skenario optimis dan ideal, di mana setelah vaksin COVID-19 ditemukan, pemerintah dunia bahu-membahu dengan bantuan lembaga multilateral seperti PBB dan WHO untuk mengoordinasikan dan memfasilitasi pendistribusian secara adil dan cepat kepada sebanyak mungkin orang di seluruh dunia. Kedua, skenario pesimis, yakni setelah vaksin ditemukan, negara-negara tertentu mendapatkan akses pertama penerima vaksin berdasarkan investasi dan manuver politik mereka dengan mengambil pendekatan “every nation for itself” atau “vaccine nationalism” terhadap vaksin yang dikembangkan perusahaan swasta. Melihat situasi sekarang, dunia berada dalam skenario pesimis. Negara-negara maju dan besar membayar tinggi perusahaan swasta sehingga secara efektif mengurangi akses vaksin COVID-19 negara-negara miskin.

Idealnya dan pada kenyataannya juga, kini sejumlah negara melaksanakan skenario pertama dalam hal pengembangan vaksin COVID-19. Sebagai contoh, BUMN Indonesia, yakni BUMN PT Bio Farma yang bekerja sama dengan pemerintah Cina melalui perusahaan Sinovac atau kerja sama perusahaan Korea Selatan, Genexine dengan perusahaan swasta di Indonesia, yakni Kalbe Farma atau juga empat negara Eropa dan Amerika Serikat yang bekerja sama dengan perusahaan swasta di negara lain. Namun di sisi lain, masih terdapat kemungkinan skenario kedua yang terjadi. Oleh karenanya, para pemimpin dunia harus segera menyusun rencana pendistribusian vaksin agar diperoleh keputusan untuk negara mana yang sekiranya harus diprioritaskan (terutama negara miskin atau berkembang) untuk pemberian subsidi silang agar mereka tidak terlambat dalam mendapatkan vaksin COVID-19 setelah menunggu pengembangan vaksin di negara-negara besar yang memakan waktu lama sehingga skenario optimis yang ideal dapat terwujud.

Analisis Skenario Negara

Sebanyak 4 negara maju dan besar ikut andil dalam pengembangan vaksin COVID-19, di antaranya yakni Cina, Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa. Lalu, bagaimana apabila salah satu atau beberapa dari negara-negara ini yang menjadi penemu vaksin COVID-19? Keuntungan primer yang didapat adalah pulihnya dunia secara perlahan dan negara penemu akan menjadi negara yang mampu menoreh sejarah, dan tentunya akan ada keuntungan lain yang didapat baik oleh negara penemu maupun seluruh negara. Untuk memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi, berikut adalah uraian analisis penulis.

Cina. Cina menerima kecaman global karena dianggap lamban dalam mengantisipasi COVID-19 hingga meluas, namun kini Cina berusaha untuk menebusnya dengan ikut berjuang mengembangkan vaksin COVID-19 dan membantu negara lain. Diketahui 8 dari 30 vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan dunia disponsori oleh laboratorium Cina. Lebih jauh, Perusahaan Cina, CanSino Biologics, bekerja sama dengan Institut Biologi di Akademi Ilmu Kedokteran Militer Cina mengembangkan vaksin yang disebut Ad5 dan telah disetujui oleh militer Cina pada 25 Juni lalu sebagai “specially needed drug” selama setahun tanpa preseden setelah berhasil melalui uji coba fase pertama dan kedua serta akan menjalankan uji coba fase ketiga di Saudi Arabia. Apabila Cina berhasil menemukan vaksin yang telah disetujui oleh Kementerian Kesehatan negaranya dan World Health Organization (WHO), hal ini dapat melemahkan beberapa kritik dan mengubah cara pandang dunia terhadap Cina. Lalu, siapa yang akan mendapat prioritas vaksin Cina? Selain negara mitra uji klinis, negara berpenghasilan rendah dan menengah lainnya yang tercakup dalam rencana distribusi vaksin WHO juga dapat memperoleh prioritas akses vaksin COVID-19 Cina. Namun, hanya kemungkinan kecil vaksin Cina akan datang ke Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang karena negara-negara tersebut merupakan anggota konferensi internasional tentang Harmonization of Technical Requirements for Registration of Pharmaceuticals for Human Use (ICH) yang kebanyakan berpenghasilan tinggi memiliki regulasi sendiri untuk produk farmasi. Kesenjangan peraturan semacam itu mungkin yang menjadi alasan negara-negara besar Eropa maupun Amerika Serikat belum menunjukkan minat pada vaksin COVID-19 Cina. Selain itu dengan menggunakan vaksin dari Cina berarti AS, Eropa, dan Jepang melegitimasi kemampuan Cina dalam membuat vaksin yang mana Cina juga telah mendapat stigma buruk sebagai titik mulai pandemi sehingga sulit bagi negara lain untuk menerimanya sebagai penyelamat dari pandemi. Upaya pengadaan vaksin oleh Cina merupakan bagian dari soft diplomacy Cina dalam menggeser stigma buruk tadi. Terdapat kemungkinan besar pula Cina akan bekerja sama dengan WHO untuk meningkatkan kapasitas produksi vaksin COVID-19 untuk pasar dunia apabila Cina berhasil menemukannya.

Rusia. Presiden Vladimir Putin mengklaim Rusia telah menemukan vaksin COVID-19 “Sputnik V” yang digarap oleh The Gamaleya Research Institute of Epidemiology and Microbiology yang merupakan bagian dari Kementerian Kesehatan Rusia. Presiden Vladimir Putin mengumumkan bahwa regulator perawatan kesehatan Rusia telah menyetujui vaksin tersebut dan telah menyuntikkan satu dosis kepada putrinya sebelum uji coba fase ketiga dimulai. Pakar vaksin dan ahli kesehatan global mengecam keputusan Rusia yang terburu-buru dan berisiko ini karena perlu dipastikan perlindungan terhadap virus COVID-19 yang benar-benar aman dan efektif. Rusia sempat tidak mempublikasikan naskah akademik dan data hasil penelitian vaksin yang diproduksinya sehingga keamanan dan efektivitasnya masih kurang dipercaya negara lain. Bagi Rusia, perlombaan pengembangan vaksin COVID-19 ini harus dimenangkannya demi kejayaan geopolitik Rusia. Apabila Rusia menjadi negara pertama yang menemukan vaksin COVID-19, dikhawatirkan negara yang berkonflik atau memiliki relasi yang buruk secara historis dengan Rusia, seperti Amerika Serikat, Turki, dan Ukraina, akan dikesampingkan dalam hal akses pendistribusian vaksin COVID-19. Terlebih lagi Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada menuduh peretas intelijen Rusia mencoba mencuri informasi dari para peneliti yang bekerja untuk memproduksi vaksin COVID-19 di negara-negara tersebut. Perihal ini memunculkan keresahan, apabila Rusia benar menjadi negara penemu vaksin COVID-19, tensi politik Rusia dengan negara veto dunia, terutama Amerika Serikat, akan meningkat. Di sisi lain Cina, yang sama-sama memiliki tensi relasi dengan Amerika Serikat seperti Rusia, mulai menjalin persahabatan, dan memiliki relasi penjualan senjata juga energi secara besar-besaran akan menjadi negara yang didahulukan atau bahkan dijadikan mitra dalam hal pendistribusian vaksin COVID-19.

Eropa. Perusahaan biofarmasi di Eropa yang mempunyai andil dalam penelitian vaksin COVID-19, diantaranya yakni perusahaan biofarmasi Jerman CureVac, perusahaan Inggris-Prancis GlaxoSmithKline dan Sanofi, perusahaan farmasi Swedia-Inggris AstraZeneca PLC dengan Universitas Oxford, London’s Imperial College, perusahaan bioteknologi Jerman BioNTech dengan perusahaan farmasi Amerika Pfizer. Melihat pihak Eropa yang terlibat, kebanyakan dari mereka adalah pihak swasta, di mana telah dibahas sebelumnya bahwa pihak swasta memiliki daftar penemu tersendiri berdasarkan investasi negara-negara yang melakukan “pre-order”, seperti Amerika Serikat, Brasil dan negara-negara anggota seperti Jerman, Belanda, Perancis, Inggris, dan Italia. Meski hal ini ditentang oleh negara rumah dari perusahaan tersebut, tak dapat dimungkiri bahwa negara-negara tersebut akan tetap berada dalam daftar teratas penerima vaksin COVID-19 temuan perusahaan mereka sebab bagaimanapun juga, proses pengembangan dan uji coba vaksin mereka dapat berjalan lancar karena dana yang diberikan oleh negara-negara tersebut. Lebih lanjut, vaksin buatan Universitas Oxford dan AstraZeneca PLC merupakan yang paling menonjol, hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya negara dan investor swasta yang membantu kedua mitra tersebut. Apabila Universitas Oxford dan AstraZeneca PLC menjadi penemu vaksin COVID-19, para investor swasta dan negara-negara mitra siap mendapatkan keuntungan. Sejumlah perusahaan swasta yang menjadi investor pun akan mengalami kenaikan harga saham dan terkenal integritasnya. 

Amerika Serikat. Amerika Serikat menjadi negara yang sangat ambisius dalam berinvestasi di beberapa perusahaan biofarmasi untuk mengamankan akses terhadap vaksin COVID-19. Perusahaan biofarmasi besar Amerika yang terlibat dalam pengembangan vaksin COVID-19 adalah Moderna Therapeutics, Inovio Pharmaceuticals, CEPI, Johnson & Johnson yang bermitra dengan peneliti dari Boston’s Beth Israel Deaconess Medical Center, Pfizer yang bermitra dengan perusahaan swasta Jerman BioNTech, dan Novavax. Para ahli memperkirakan bahwa ketika nantinya Amerika Serikat yang menjadi penemu vaksin, gerakan anti vaksin atau anti-vaxxer akan muncul dan merekalah yang malah akan menentang vaksin buatan negaranya dan menghambat pemulihan Amerika Serikat dari pandemi COVID-19. Hal ini dipastikan bisa terjadi karena aktivis anti vaksin sudah mengisyaratkan melalui Twitter bahwa virus itu hanyalah penipuan atau bagian dari plot untuk meraup keuntungan dari penemuan vaksin. Serupa dengan demo untuk menolak penggunaan masker di beberapa daerah di Amerika Serikat pada Juli 2020. Sehingga, ketika Amerika Serikat mendapatkan kejayaan di bidang farmasi, tidak semua warganya akan menghargai dan merasakan kejayaan itu. Lebih lanjut, serupa dengan analisis penulis mengenai Rusia, Amerika Serikat juga kemungkinan tidak akan menempatkan Cina dan Rusia dalam daftar teratas penerima vaksin COVID-19 temuannya mengingat hubungan Amerika Serikat dengan kedua negara tersebut tidaklah begitu baik. Terutama betapa Presiden Trump geram dengan Cina di masa pandemi ini, ditambah penarikan Amerika Serikat dari WHO akan mempersulit kerja sama antardunia dalam hal pendistribusian yang adil atau pemroduksian dalam jumlah besar demi mencapai seluruh populasi dunia dalam waktu lebih singkat, terlebih WHO memiliki daftar negara mana saja yang perlu diutamakan.

Kesimpulan dan Saran Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Masalah kemanusiaan dan distribusi tidak merata tidak akan menyelesaikan pandemi secara menyeluruh sehingga diperlukan keterlibatan dari semua negara bahkan perusahaan swasta untuk mendistribusikan vaksin secara merata dan mengesampingkan kepentingan nasional negara masing-masing. Negara-negara besar dan maju harus berbaik hati untuk memberikan subsidi silang kepada negara-negara miskin dan berkembang demi pemerataan distribusi vaksin. Selain itu, penemu vaksin COVID-19 juga diharapkan akan memprioritaskan negara-negara miskin dan berkembang dengan angka kematian dan kasus positif COVID-19 yang sangat tinggi. Meninjau dari aspek hukum, penulis merasa bahwa para regulator harus mulai memperhatikan dasar hukum untuk melindungi vaksin, hak konsumen, dan hak produsen. Kemudian dari aspek ekonomi, vaksin COVID-19 ini perlu dijadikan barang publik global agar dapat diakses seluruh kalangan demi mempercepat pemulihan ekonomi tiap negara. Lalu dari aspek politik, penulis yakin setiap negara harus memiliki komitmen politik, kekuatan negosiasi, dan hubungan bilateral yang kuat dengan negara lain untuk membantu mereka mengembangkan vaksin secara mandiri dan menguntungkan satu sama lain apabila negara mitra menjadi penemu vaksin COVID-19. 

Perusahaan swasta dan pemerintah juga diharapkan mampu bekerja sama untuk menemukan vaksin agar tidak ada perusahaan yang berambisi menemukan vaksin hanya untuk kepentingan ekonomi perusahaan itu pribadi dan agar pemerintah dapat terbantu oleh sumber daya manusia maupun alat yang dimiliki perusahaan swasta. Melihat kondisi perebutan akses vaksin ini, penulis merasa bahwa banyak negara yang bersikap egois dengan mengambil langkah lebih dahulu dari negara lain demi membeli “kursi” akses vaksin COVID-19. Penulis melihat skenario pesimis dari pendistribusian vaksin COVID-19 sedang terjadi, yaitu ketika negara penemu akan mendahulukan negara yang memiliki komitmen dan pengaruh politik terhadapnya, negara mitra dagangnya, juga negara yang selama ini membantu atau bekerja sama dalam pengembangan vaksin COVID-19, atau disebut juga sebagai politik balas budi. Begitu juga yang terjadi apabila negara-negara besar, seperti Rusia, Cina, Amerika Serikat, dan negara di Uni Eropa menjadi penemu pertama dari vaksin COVID-19 yang benar-benar aman, efektif, dan memenuhi standar kesehatan WHO.

Kala situasi seperti ini, Indonesia harus tetap gencar dalam melaksanakan diplomasi vaksin dan memperkuat komitmen politik dengan negara-negara besar agar dapat memperoleh kemanfaatan dari negara-negara tersebut. Mengingat politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dan Indonesia sebagai negara anggota Gerakan Non-Blok, Indonesia tidak boleh terlalu terfokus dan berpihak pada satu negara untuk mendapatkan akses vaksin COVID-19. Indonesia perlu melebarkan komitmen diplomasi dan politiknya dengan banyak negara di masa pandemi ini, seperti dengan Inggris, Amerika Serikat, Cina, India, Thailand, Rusia, dan lain-lain. Sehingga ketika Indonesia gagal mengembangkan vaksin COVID-19 dan telah ada negara yang berhasil menemukan vaksin yang benar-benar ampuh, Indonesia tetap dapat mendapatkan akses terhadapnya dengan mudah. Selain itu, Indonesia juga perlu memaksimalkan kiprah keanggotaan di Dewan Keamanan (DK) PBB 2019-2020 dan Dewan HAM PBB 2020-2022 untuk menjaga prinsip multilateralisme dan di Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN ECOSOC) 2021-2023 untuk pemulihan sosial-ekonomi pasca pandemi COVID-19.   

All references cited in this writing shall be accessed in bit.ly/DipRevVaccineRaceReferences

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *