Hukuman Mati, Ferdy Sambo, dan Pembenaran Budaya Kekerasan di Indonesia

0

Ilustrasi hukuman gantung. Foto: Amnesty International

Hukuman mati banyak sekali ditemui di berbagai peradaban dalam sejarah manusia, termasuk di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun Indonesia menganut prinsip hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ke-2 pasal 28A-28J, dan TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), hukuman mati bukanlah termasuk ke dalam perkara Hak Asasi Manusia.

Dianutnya nilai hak asasi manusia di Indonesia ternyata tidak mengarah pada penghapusan hukuman mati dan hukuman mati masih tetap diperbolehkan. Menurut Pasal 100 Ayat (1) KUHP baru, ketika seorang terdakwa dijatuhi hukuman mati, masa percobaannya akan berlangsung selama 10 tahun. Namun, dalam memutuskan apakah akan memberikan masa percobaan atau tidak, hakim akan mempertimbangkan tingkat penyesalan terdakwa dan potensi untuk memperbaiki diri, serta peran yang dimainkan terdakwa dalam tindak pidana tersebut. Hal ini menunjukan bahwa secara legal, di Indonesia, hukuman mati adalah hal yang diperbolehkan. 

Meskipun demikian, hal ini bukan berarti penerapan hukuman mati tidak mendapatkan penolakan. Argumen pro-kontra hukuman mati secara umum berada pada enam area yang meliputi deterrence, incapacitation, caprice dan bias, miscarriages of justice, dan retribution. Pada tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat melalui perspektif bahwa hukuman mati merupakan sebuah produk hukum hasil proyeksi budaya kekerasan yang terus dilestarikan. 

Sejarah Indonesia Adalah Sejarah Budaya Kekerasan

Manusia selama ribuan tahun telah menguasai bumi dengan cara-cara yang merefleksikan budaya kekerasan. Sejarah manusia adalah sejarah kekerasan yang dibuktikan dengan kenyataan sosial yang ada. Kenyataan sosial yang digambarkan dengan adanya hierarki atau kelas-kelas sosial, dominasi, eksploitasi, sentralisasi kekuasaan, hingga glorifikasi cara-cara kekerasan itu sendiri merupakan bagian dari budaya kekerasan.

Budaya kekerasan (culture of violence) bukanlah sekedar budaya yang mengandung tindakan kekerasan (violent culture), melainkan budaya yang dibangun atas nilai-nilai yang membolehkan adanya kekerasan. Ketika seperangkat nilai tertentu yang termanifestasi pada kebiasan masyarakat berimplikasi pada kehidupan sosial yang asimetris itulah yang dimaksud sebagai budaya kekerasan. Dalam budaya kekerasan, cara-cara kekerasan dijustifikasi untuk menyelesaikan suatu konflik. Perlu dipahami, kekerasan tidak hanya yang bersifat langsung, tetapi juga struktural maupun kultural seperti yang sudah disinggung pada tulisan saya sebelumnya. Sistem patriarki adalah contoh paling gamblangnya. 

Sayangnya, sejarah Indonesia juga dipenuhi dengan budaya kekerasan. Galtung (2002) menyampaikan bahwa salah satu cara untuk menilai apakah suatu peradaban memiliki budaya kekerasan atau tidak adalah dengan menggunakan rumus Choseness, Glory, Trauma (CGT) + Dualism, Manicheism, Armagedon (DMA) + Projection.

Dalam mengidentifikasi apakah Indonesia memiliki budaya kekerasan, perlu dilakukan tinjauan historis terhadap budaya kekerasan di Indonesia. Sebagaimana mayoritas bangsa di dunia, Bangsa Indonesia memiliki banyak kenangan trauma sebagai negara pasca-kolonial. Indonesia kemudian juga tidak kekurangan narasi-narasi eksepsional sebagai “negara yang diberkati”, serta bayangan kejayaannya, paling sering dinarasikan di tahun 2045. Distingsi dualistik baik dan buruk, serta pertarungan diantaranya, juga merupakan bayangan yang umum ditemukan sebagai kombinasi dari faktor agama, kultural, dan lainnya. Keseluruhan kombinasi ini memberikan lahan yang memungkinkan budaya kekerasan untuk berkembang di Indonesia.

Salah satu manifestasi budaya kekerasan ini adalah penerapan hukuman mati di Indonesia. Bahkan sebelum kemerdekaan, hukuman mati telah menjadi suatu praktik yang umum diterapkan, dalam hal ini banyak diantaranya secara represif terhadap aspirasi Bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan, praktik ini terus berlanjut dan menjadi rentan disalahgunakan selama masa Orde Lama dan Orde Baru. Hingga era reformasi kini, hukuman mati juga terus dipertahankan sebagai fitur yang tampaknya sulit dihilangkan dari sistem peradilan di Indonesia.

Hukuman Mati sebagai Produk Budaya Kekerasan

Tujuan hukum setidaknya memenuhi tiga hal, yaitu keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan. Walaupun demikian, kalimat tersebut masih banyak diperdebatkan implementasinya dalam produk hukum. Tujuan hukum tersebut dapat dilihat melalui argumentasi yang umum ditemukan pada kelompok yang pro-hukuman mati, seperti (1) hukuman mati secara permanen dapat menghilangkan para pelaku kejahatan dari masyarakat sehingga memberikan ketenangan dan kedamaian (kebermanfaatan), (2) hukuman mati dapat memberikan rasa keadilan, terutama bagi korban dan keluarganya yang telah menderita akibat kejahatan tersebut (keadilan), (3) hukuman mati dapat memberikan efek jera bagi orang lain yang ingin melakukan kejahatan (kepastian), (4) meskipun memiliki persyaratan yang ketat, hukuman mati tidak dilarang oleh agama.

Argumentasi yang mendukung diterapkannya hukuman mati menggambarkan adanya normalisasi nilai-nilai kekerasan di dalamnya. Pertama, hal tersebut dapat dipahami dengan diperbolehkannya pencabutan hak untuk hidup dengan cara membunuh. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia paling dasar yang seharusnya tidak dapat dicabut atau diberikan oleh manusia lainnya. Dengan demikian, penggunaan cara apapun yang kemudian berujung pada hilangnya hak untuk hidup tentu salah secara moral.

Kedua, logika argumen utilisasi hukuman mati sebagai cara yang efektif dalam menekan angka kriminal sama dengan logika yang dipakai pemerintah otoriter dalam menjalankan rezimnya. Ketakutan menjadi instrumen utama untuk mengontrol masyarakatnya. Padahal, efektivitas penerapan hukuman mati masih menjadi suatu hal yang terus diperdebatkan. 

Ketiga, aspek keadilan yang coba diperjuangkan oleh pendukung penerapan hukuman mati menggunakan landasan berpikir hukum rimba yang menyatakan “nyawa dibalas nyawa”.  ditambah lagi dengan adanya bolstering dari dalil-dalil agama membuat pemikiran ini dibenarkan. Di luar  doktrin agama, keadilan yang coba diperjuangkan ini mensyaratkan adanya pertumpahan darah; bahwa darah hanya bisa dibalaskan oleh darah. Mengapa keadilan harus dicapai melalui darah ketika keadilan tersebut dapat dicapai melalui cara-cara perdamaian, misalnya restorative justice. Dalam hal ini, penerapan hukuman mati juga secara tidak langsung menyosialisasikan bolehnya penumpahan darah demi mencapai keadilan sosial.

Adanya nilai-nilai kekerasan dalam hukuman mati menunjukan bagaimana budaya kekerasan di Indonesia termanifestasi. Budaya kekerasan yang telah tertanam tersebut kemudian berperan sebagai acuan tentang bagaimana seharusnya keadilan diraih. Hukum sebagai instrumen untuk mencapai keadilan kemudian disusupi dengan nilai-nilai kekerasan tersebut dan dibenarkan atas penegakannya.

Hukuman Mati Ferdy Sambo

Bukti empiris dari kentalnya budaya kekerasan di Indonesia dapat diamati dalam salah satu vonis hukuman mati paling baru di Indonesia, yakni terhadap Ferdy Sambo. Sambo adalah seorang perwira tinggi Polri yang melakukan pembunuhan terencana atas Brigadir Yosua Hutabarat. Tidak hanya itu, pembunuhannya juga ditutup-tutupi dengan menggunakan berbagai akal bulus, dan tentunya, penyalahgunaan kekuasaan sebagai Jenderal Polisi berbintang dua. Akibat fenomena yang menghujam dekat dengan pengalaman publik ini, kasus Sambo dapat dikatakan menjadi kasus yang berdampak terhadap kesadaran kolektif rakyat Indonesia.

Ketika Sambo divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 Februari lalu, banyak masyarakat Indonesia lantas bersorak. “Ternyata masih ada keadilan di negeri ini,” adalah pernyataan yang banyak diutarakan oleh masyarakat dalam kaitan dengan vonis mati Sambo. Fenomena ini dapat dianalisis secara sederhana dengan pendekatan CGT + DMA + Projection dan dipahami dari argumentasi umum yang ada di masyarakat Indonesia.

Melalui kerangka CGT, diketahui bahwa pemahaman (dan perasaan) publik terkait dengan kasus ini tidak hanya tentang Sambo seorang, tetapi juga pengalaman (dan bayangan) masyarakat terhadap institusi Polri. Selama ini, banyaknya pengalaman ketidakadilan dari institusi Polri, mulai dari hal sederhana seperti suap dalam tilang hingga kolusi dalam penanganan kasus kriminal, terus berkembang hingga menjadi kesadaran kolektif masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi penting karena Polri merupakan salah satu lembaga penegak keadilan di Indonesia. Persepsi ini ditambah dengan fakta minimnya akuntabilitas terhadap anggota-anggota Polri. Keseluruhan anggapan ini menjadi suatu trauma kolektif yang membutuhkan penyelesaian tertentu.

Melalui kerangka DMA, diketahui bahwa terdapat dinamika pengatributan kesalahan yang cenderung (meski tidak sepenuhnya) dualistik dalam kasus Sambo. Dalam melakukan pembunuhan, Sambo tidak melakukannya sendiri, melainkan dengan bantuan beberapa orang terdekatnya. Dalam hal ini, nama Richard Eliezer atau Bharada E berkembang sebagai tokoh yang dianggap “baik” karena bersedia menjadi justice collaborator dan berada dalam posisi yang inferior dalam kasus pembunuhan Brigadir J, sementara kesalahan terutama dibebankan kepada Sambo. Artikel ini tidak berusaha membagi-bagi beban kesalahan pembunuhan Brigadir J, tetapi hanya ingin membuktikan bagaimana “dualisme baik-buruk” bermain dalam pengadilan, dan lebih penting lagi, dalam imajinasi kolektif kita.

Catatan Kritis Hukuman Mati di Indonesia

Tinjauan singkat ini menunjukkan pentingnya melihat isu hukuman mati sebagai sebuah produk kultural. Hal ini perlu dipahami secara luas sebagai cara untuk meninjau hukuman mati secara kritis, sekaligus merefleksikan moralitas individu maupun kolektif kita sebagai bangsa.

Dalam kasus Sambo, jelas bahwa Sambo dan rekan-rekannya telah menjadi oknum yang melakukan kekerasan terhadap Brigadir J. Kekerasan yang dilakukan Sambo ini reflektif dari minimnya akuntabilitas dan pelanggengan kekerasan di level institusional Polri. Akan tetapi, hal yang menjadi pertanyaan besar bagi bangsa Indonesia adalah bagaimana kita merespon kasus kekerasan ini?

Bahwa kekerasan layaknya juga dibalas dengan kekerasan tampaknya masih menjadi jawaban mayoritas masyarakat Indonesia sejauh ini. Kita bersorak ketika Sambo dihukum mati. Akan tetapi, hal itu berarti kita turut melanggengkan dan membenarkan budaya kekerasan yang lebih besar dari Sambo, lebih besar dari Polri, yakni budaya kekerasan di Indonesia. Budaya kekerasan ini akan terus dilakukan tidak hanya terhadap Sambo, tetapi juga terhadap orang-orang yang tidak terhitung banyaknya kedepan. Refleksi terhadap budaya kekerasan Indonesia ini akan terus menjadi pertanyaan yang tidak nyaman, tetapi harus ditanyakan, setiap kali vonis hukuman mati diberikan.

Falah Mar’ie Amanullah merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @flh.ma

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *