Inkonsistensi Hak Sipil di Indonesia: Junta Militer di Myanmar dan Kekerasan Aparat di Wadas

0

Ilustrasi demonstrasi oleh warga Desa Wadas. Foto: Mongabay Indonesia

Tokoh Sentral Penolakan Rezim Junta Militer di Myanmar

Tidak dapat diragukan bahwa Indonesia memang salah satu, jika bukan satu-satunya, negara yang paling bersemangat untuk menolak rezim junta militer di Myanmar. Bahkan ketika baru awal kudeta militer Myanmar berlangsung, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan ASEAN untuk membahas bagaimana sikap ASEAN terhadap kudeta militer Myanmar. Pertemuan tersebut pada akhirnya meresmikan adanya lima poin kesepakatan (five-point consensus atau FPC) yang harus ditaati Myanmar.

Kendati demikian, Myanmar tidak juga menaati hal-hal yang disepakati dalam FPC. Parahnya, rezim junta militer Myanmar justru malah mengadili tokoh demokrasi Myanmar yakni Aung San Suu Kyi. Dari ketidakpatuhan Myanmar tersebut, ASEAN, dalam KTT 2021, menghukum Myanmar dengan tidak boleh mengirimkan delegasinya sebagai perwakilan. Delegasi yang harus dikirim ke Myanmar tidak boleh berafiliasi dengan junta militer. Keputusan tersebut memang mengundang pro-kontra di tubuh ASEAN sendiri, namun Indonesia sangatlah jelas mendukung tidak boleh ada rezim junta militer yang datang di KTT ASEAN 2021.

Presidensi ASEAN pun berganti dari Brunei Darussalam ke Kerajaan Kamboja. Tentu saja penanganan krisis di Myanmar menjadi sorotan, meskipun tidak sedikit juga yang pesimis bahwa Kamboja bisa menangani Myanmar. Semangat ASEAN untuk menolong warganya sendiri di Myanmar tergambar dalam FPC. Namun presidensi Kamboja justru diawali dengan blunder yang besar dengan menyambangi Myanmar dan Hun Sen, Perdana Menteri Kamboja, bertemu langsung dengan Jenderal Min Aung Hlaing di awal tahun 2022.

Melihat kejadian tersebut, Indonesia tidak sungkan untuk langsung menegur Kamboja. Indonesia tetap menegaskan bahwa perilaku dari Kamboja tidak disertai dengan diskusi terlebih dahulu oleh anggota ASEAN yang lain. Pada tanggal 16 Februari seluruh negara anggota ASEAN akan bertemu di Siem Reap, Kamboja dengan metode hybrid. Lagi-lagi di pertemuan tersebut, Indonesia tetap mendukung tidak adanya perwakilan junta militer Myanmar yang menghadiri pertemuan tersebut.

Krisis Hak Sipil di Desa Wadas

Diduga menyimpan banyak cadangan batuan andesit, pemerintah menetapkan ingin memulai proyek penggalian tambang di Desa Wadas. Selain itu Desa Wadas juga dekat dengan proyek Bendungan Bener, jadi pemerintah bisa melaksanakan proyek tambang andesit serta Bendungan Bener sekaligus. Meskipun dianggap potensial, warga Desa Wadas menolak dengan tegas desanya dijadikan sebagai kedua tempat proyek tersebut.

Warga Desa Wadas menolak dengan dalih bahwa kedua proyek tersebut merugikan lingkungan di Desa Wadas dan juga memakan banyak tanah warga yang tinggal di sana. Konsekuensi dilaksanakannya kedua proyek tersebut adalah rusaknya lingkungan di Desa Wadas dan terkurasnya tanah yang dimiliki warga Desa Wadas. Dari kedua konsekuensi tersebut, jelas warga di Desa Wadas sangat dirugikan.

Dirasa sangat sayang jika kedua proyek tersebut tidak terealisasikan, pemerintah Indonesia tetap kekeh untuk melaksanakannya di Desa Wadas. Bahkan pemerintah sampai mengeluarkan aparat untuk menahan aksi penolakan di Desa Wadas. Tercatat bahwa ada dari warga yang ditahan hanya karena menolak. Kedatangan aparat ke Desa Wadas sangat menimbulkan ketakutan bagi warga di desa tersebut.

Sikap dari Gubernur Jawa Tengah yakni Ganjar Pranowo juga tidak memuaskan para warga Desa Wadas. Terduga Ganjar hanya menemui mereka yang setuju terhadap kegiatan aparat di Desa Wadas. Sementara dugaan lain mengungkapkan banner yang berisi pesan tidak setuju dengan aparat telah dibersihkan sehingga Ganjar tidak dapat melihat mereka yang kontra terhadap perbuatan aparat.

Tinjauan Inkonsistensi Indonesia

Rosenau sudah pasti super bingung dengan keadaan Indonesia yang tidak sesuai dengan faktor eksternal dan faktor internal. Bukan tanpa sebab, pemikiran Rosenau memang bertumpu kepada keadaan (setting) internal dan eksternal. Kedua setting tersebut akan bertemu secara konsisten dan akan membentuk suatu kebijakan luar negeri.

Nyatanya tidak hanya Rosenau, Holsti juga pasti bingung dalam menjelaskan tingkah laku Indonesia yang sangat tidak konsisten (inkonsisten). Sama seperti Rosenau, Holsti juga salah satu pemikir yang menggunakan suasana domestik untuk menganalisis kebijakan luar negeri. Tapi biarlah Rosenau dan Holsti bingung, penulis tidak akan berfokus kepada tinjauan teoritis melainkan juga ke tinjauan praktis. Selanjutnya akan dipaparkan juga tinjauan praktis dari inkonsistensi Indonesia.

Indonesia memang dikenal sebagai negara yang hebat dalam mediasi permasalahan. Contoh konkretnya adalah mediasi Kamboja-Thailand di tahun 2011. Sepuluh tahun kemudian, Indonesia sebagai tokoh sentral di ASEAN kembali mediasi soal politik dalam negeri Myanmar. Meskipun begitu, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang permasalahan dalam negerinya belum selesai dan sangat terlihat inkonsisten dalam pendirian.

Sangatlah malu di tahun 2020 silam ketika Vanuatu mengkritik Indonesia perihal Papua Barat di DK PBB. Lebih memalukan lagi respon dari diplomat Indonesia yang bertujuan untuk self-defense. Akui saja, kita semua cukup malu dengan respon diplomat Indonesia saat itu.

Inkonsistensi Indonesia dalam bidang kebebasan hak sipil harus segera dihilangkan. Jika mau Myanmar segera menaati FPC, Indonesia harus bisa membuktikan apa yang ditegaskannya juga di lingkup domestik. Kekerasan aparat di Wadas harus segera dihilangkan agar Indonesia tidak terkesan ‘ngomong doang’ ke rezim junta militer Myanmar.

Inkonsistensi Indonesia juga harus hilang ketika menjadi presidensi di forum G20. Sudah bukan rahasia umum bahwa yang akan dibahas di G20 tahun ini adalah krisis iklim. Sangat memalukan jika Indonesia merancang penurunan gas emisi kalau nantinya Indonesia tidak menaatinya juga. Untuk menggerakkan seluruh negara anggota forum G20, Indonesia harus bisa ‘walk the talk’ apa yang dicanangkan nantinya.

Dari tinjauan teoritis dan praktis, ada dua kesimpulan yang bisa didapatkan. Dari tinjauan teoritis, selamat kepada Indonesia yang berhasil membuat dua pemikir yang selalu menjadi dasar pemikiran dalam skripsi mahasiswa yakni Rosenau dan Holsti super bingung atas inkonsistensi-nya. Tinjauan praktis didapatkan bahwa Indonesia harus mulai berani membuktikan apa yang diomongkan atau direncanakan di lingkup domestik agar perencanaan Indonesia ke depannya didengar oleh pihak internasional, terutama permasalahan rezim junta militer Myanmar. Alias agar didengar oleh Myanmar, Indonesia juga harus menghilangkan kekerasan aparat yang ada di domestik, terkhusus di Desa Wadas.

Muhammad Fikri Arrahman adalah mahasiswa Hubungan Internasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia dapat ditemukan di Instagram melalui nama pengguna @fikrrahman.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *