Julian Assange, WikiLeaks, dan Kita Melawan AS

0

Ilustrasi Julian Assange. Foto: Jack Taylor/Getty Images

Pengadilan Inggris memutuskan bahwa pendiri WikiLeaks Julian Assange dapat diekstradisi ke Amerika Serikat (AS). Assange diincar oleh pemerintah AS setelah pada bulan April 2010 WikiLeaks membocorkan rekaman video berupa penembakan yang dilakukan oleh helikopter AS terhadap 18 warga sipil di Iraq termasuk dua jurnalis dan 500,000 dokumen rahasia lainnya. Rekaman tersebut didapatkan WikiLeaks dari seorang tentara US Chelsea Manning yang bertugas di Iraq. Trump menyebut Manning sebagai “ungrateful traitor”. Ini membuat AS (seharusnya) mendapatkan dakwaan kejahatan atas perang seperti yang telah diatur dalam Konvensi Geneva.

Dokumen yang diterbitkan oleh WikiLeaks lainnya adalah bukti proses lobbying antara pemimpin-pemimpin sekutu AS di Timur Tengah untuk menyerang Iran. Tekanan AS terhadap Spanyol untuk membatalkan pengadilan terhadap kasus kejahatan perang yang dilakukan personel tentara AS di Irak dan penyiksaan di Teluk Guantanamo. 

Jauh lebih memalukan adalah fakta yang terbitkan oleh WikiLeaks mengenai penggunaan alat peretasan CIA yang disebut sebagai Vault 7. Projek ini dikembangkan untuk memungkinkan CIA meretas iPhone, Android, TV Pintar, Windows, OSx, dan Linux. Spionase AS tidak hanya menyasar kalangan sipil seperti proyek Vault 7, AS juga pernah melakukan aktivitas mata-mata telepon genggam milik Angela Merkel dan Sekjen PBB

Ini adalah fakta dimana pemerintahan AS justru terlibat aktif dalam aksi spionase—melanggar Convention on the Privileges and Immunities of the United Nation 1946 dan Vienna Convention on Diplomatic Relation Tahun 1961. Namun negara-negara korban diam. Hingga saat ini tak ada tanda-tanda dimana mereka akan menuntut AS—lebih spesifik para pejabat CIA di bawah kepemimpinan Mike Pompeo.

Namun, AS tidak menghadapi tuntutan-tuntutan tersebut. Kenyataan yang kita lihat justru sebaliknya—AS mendapatkan kebebasan dan landasan hukum untuk memburu Assange. Sebelum dan sesudah Assange ditangkap, alamat web WikiLeaks down. Pembekuan akun Paypal. Penahanan donasi melalui Visa dan MasterCard. Susah untuk tidak percaya bahwa semua tindakan ini bukan dimaksudkan untuk menghentikan aktivitas WikiLeaks.

Lakukan Apapun, Sekalipun Tangan Sudah Berlumur Darah

Ketika Pompeo menjabat sebagai Direktur CIA di masa kepemimpinan Trump, ia memberikan label WikiLeaks sebagai “non-state hostile intelligence service”. Pernyataan umum dari Pompeo tersebut bukan sekedar pidato provokatif. Tetapi sebagai tahapan baru perburuan WikiLeaks dengan metode yang lebih agresif. Dalam beberapa bulan pasca pernyataan Pompeo, mata-mata AS memantau komunikasi dan pergerakan para personel WikiLeaks, termasuk pengintaian audio dan visual terhadap Assange. 

Plot melumpuhkan Assange berlanjut ke rencana penculikan dan pembunuhan yang dibicarakan secara intens oleh CIA dan pemerintahan Trump. Rencana seperti ini mengingatkan pada pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM di Indonesia, Munir. Upaya sistematis, melibatkan para petinggi negara untuk melakukan pembunuhan seorang sipil.

Assange bukanlah orang pertama yang membuka fakta kekejaman AS. Pada bulan Maret 1968 seorang kombatan AS menjelaskan tindakan kekerasan tentara di desa My Lay Vietnam terhadap penduduk negara tersebut. Ia menggambarkan misi brutalnya dengan kejujuran, “misi kami bukan untuk memenangkan medan atau merebut posisi, tetapi hanya untuk membunuh: membunuh komunis dan membunuh sebanyak mungkin dari mereka” (Prashad, 2020). 

Di tahun 1971, seorang analis keamanan Daniel Ellsberg merilis dokumen rahasia Pentagon Papers yang menunjukkan rencana-rencana kebrutalan tentara dan misi bunuh diri dari pentagon untuk pasukan AS dalam perang Vietnam. Atas tindakannya, Ellsberg pernah menghadapi tuduhan pencurian dan konspirasi dari pemerintah—juga upaya pencurian catatan medis dari psikiaternya. Ini dilakukan oleh pemerintah untuk menghabisi Ellsberg.

Sejarah Ellsberg, dan berjalannya kasus Assange menunjukkan bahwa AS akan melakukan segala cara untuk menutupi kejahatan perang mereka sekalipun bau amis darah korban yang mereka timbulkan telah tercium. Semangat yang dibawa serupa dengan laporan yang dikeluarkan oleh Dewan keamanan Nasional (NSC) AS pada 1953 dimana negeri Paman Sam harus memastikan bahwa tidak ada yang boleh mengganggu secara substansial ketersediaan minyak. Ini mengarah pada wilayah Teluk yang pada waktu itu menjadi produsen utama minyak sebagai bahan bakar kapitalisme pasca Perang Dunia II. Ini didasarkan pada propaganda atas ‘free world”—vis-à-vis dengan negara-negara sosialis yang dipropagandakan AS sebagai otoriter.

Free World”: Mereka vs. Kita

Ekstradisi Assange tinggal menunggu waktu. Assange akan dituntut hukuman paling lama 175 tahun di bawah Espionage Act of 1917 atas tuduhan 17 aktivitas spionase. Espionage Act of 1917 adalah sebuah produk hukum yang dikeluarkan AS di masa Perang Dunia I. Produk ini mengatur bahwa pemerintah diizinkan untuk memenjarakan siapapun yang menerbitkan “any disloyal, profen, scurrilous, or abusive language about the form of government of the US”. 

Julian Assange adalah warga negara Australia. Sedangkan produk hukum tersebut adalah milik AS. Ini membingungkan karena jika Assange dijerat dengan produk hukum ini. Artinya AS akan dengan mudah mengaplikasikan produk hukum yang sama untuk penduduk asing. Terkhusus jurnalis investigatif dengan kewarganegaraan non-Amerika.

Ini memberikan alarm yang mengerikan pada jurnalis investigatif di seluruh dunia. Apa yang dilakukan oleh Assange dan WikiLeaks selama ini tak lebih dari seperti yang telah jurnalis investigatif lainnya lakukan. Menggali dokumen informasi untuk mengungkapkan rahasia demi kepentingan publik.

Namun, bukan berarti apa yang telah terjadi terhadap Assange akan terjadi terhadap jurnalis New York Times di AS, Spiegel di Jerman, dan The Guardian di Inggris—tiga media massa yang bermitra dengan WikiLeaks. Bahkan kedepan akan terjadi hal yang lebih buruk dimana ketika cerita yang tabu akan dikuak, para pengacara akan memperingatkan, “Hey, kalian ingat dengan apa yang telah terjadi terhadap Julian Assange?”

Dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia 2021, Biden mengatakan, 

“Kami menyadari peran integral yang dimainkan kebebasan pers dalam membangun masyarakat yang makmur, tangguh, dan bebas. Dan kami berkomitmen untuk melindungi dan mempromosikan media yang bebas, independent, dan beragam di seluruh dunia.”

Namun, kenyataannya AS masih begitu berambisi memburu Assange dengan menempatkan ia dalam daftar orang yang paling diinginkan. Menyamakan WikiLeaks sebagai organisasi teroris yang lebih buruk daripada serangan militer seperti yang dikatakan politisi Partai Republik di New York Peter King. Ini adalah paradoks gagasan ‘free world’ menurut AS. Dari kasus Assange, gagasan ‘dunia bebas’ dimobilisasi untuk menghasilkan keyakinan implisit di AS. Sedangkan kebutuhan masyarakat dunia atas akses informasi, termasuk fakta-fakta kekejaman militer AS adalah sebaliknya. Bagi AS aktivitas itu menghambat kebebasan.

Proses pembangunan masyarakat yang makmur, tangguh dan bebas membutuhkan informasi atas kekurangan dan keburukan masyarakat dunia hari ini. Sehingga publik butuh keterbukaan informasi untuk diserap, kemudian dipelajari. Ini termasuk kebutuhan akan informasi mengenai fakta-fakta aktivitas penghambat kemajuan masyarakat untuk masa depan. Termasuk mendapatkan informasi atas fakta-fakta kekejaman yang ditimbulkan dari perang dan penjualan senjata. Di situlah peran sesungguhnya pers investigasi yang bebas. Mereka memberikan informasi kepada masyarakat—sebagai sumber imajinasi masa depan peradaban yang lebih baik.

Pembangunan masyarakat tersebut, dapat dimulai dengan salah satunya membela Assange untuk dibebaskan dari segala jenis dakwaan hukum terhadapnya. Ini bukan didasari pada rasa kasihan terhadap Assange. Tetapi kebutuhan kita akan keberlangsungan WikiLeaks untuk memberikan fakta-fakta kekejaman AS dalam mendikte ‘dunia yang bebas’. 

Referensi:

Prashad. V. (2020). Washington Bullets. LeftWorld Books. India. 2020.

Rizaldi Ageng Wicaksono adalah mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @rizaldiaw

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *