Kalau Soal Israel, Jokowi Bukanlah Soekarno

0

Ilustrasi bendera Israel dan Indonesia. Foto: Oleksii Liskonih/iStockphoto

Bagi kalian penggemar sepak bola, pernahkah kalian bertanya mengapa Rusia tidak bermain di Piala Dunia 2022 di Qatar kemarin? Rusia tidak berpartisipasi, terlebih mengikuti tahapan kualifikasi, perhelatan tersebut karena FIFA melarangnya bermain. Berkaca kepada keputusan Rusia untuk menginvasi Ukraina setahun yang lalu, tidak heran untuk berpikir mengapa FIFA memutuskan demikian. Meski Putin mendapuk langkahnya sebagai “Operasi Militer Khusus” saja, secara global langkah tersebut dipahami sebagai “perang”. 

Oleh karena perang merupakan kelanjutan dari politik dengan cara lain, dapat dikatakan bahwa FIFA telah mencampurkan politik dalam keputusannya. Kejadian ini pun jelas bukan kali pertama dalam sejarah olahraga. Pelajaran yang bisa diambil ialah adanya keterkaitan erat politik dan olahraga. Hal yang membedakan adalah derajat politisasi dari pihak-pihak yang terkait.

Dipilihnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia FIFA U-20 merupakan pencapaian besar bagi sepak bola negara ini. Meskipun bangga bisa jadi rasa yang tepat untuk menggambarkan hingar-bingar yang membumbung, “tanpa masalah” agaknya tidak sesuai disandingkan dengan perhelatannya kelak. Bagaimana tidak? Lolosnya tim Israel untuk bermain di Piala Dunia U-20 ini membuat pemerintah Indonesia dihadapkan pada beribu pertanyaan terkait Israel.

Bagaimana Pemerintahan Jokowi bersikap dalam kesempatan ini? Tidak kalah penting, bagaimana keputusannya akan bersanding dengan keputusan presiden lainnya dalam sejarah Indonesia? Terutama Presiden Soekarno.

Dulu, Di Zaman Soekarno…

Perhelatan Asian Games (AG) pada tahun 1962 di zaman Soekarno dulu dipandang sebagai acara tempat harga diri bangsa dipertaruhkan, sehingga dijalankan sebagai proyek mercusuar. Pada kesempatan ini juga, Presiden Soekarno menampakkan tajinya dalam menegaskan sikap Indonesia terhadap Israel. 

Israel dahulunya merupakan anggota Asian Games Federation (AGF), sama dengan Indonesia di era Presiden Soekarno. Keanggotaan bersama tersebut memungkinkan-bahkan memberikan hak-keduanya untuk saling bertemu di lapangan olahraga. Akan tetapi, Bung Karno dengan tegas menyatakan menolak masuknya tim Israel ke Indonesia. 

Ibarat mengacungkan jari tengah kepada Komite Olimpiade Internasional (IOC), Bung Karno juga mengecap IOC sebagai alat neokolonialisme. Hal ini lantaran tidak adanya Tiongkok dan Vietnam Utara sebagai anggotanya.Jarang diketahui bahwasanya AG ‘62 bukan kali pertama Bung Besar mengambil tindakan ketika interaksi dengan Israel di lapangan olahraga tak terhindarkan. Empat tahun sebelumnya, pada babak kedua tahapan kualifikasi Piala Dunia 1958 Swedia, Indonesia dijadwalkan bermain melawan Israel. Setelah FIFA menolak permohonan Indonesia agar match-nya dengan Israel bisa dilaksanakan di lokasi lain, Soekarno tak ambil pusing dan langsung memerintahkan para atlet untuk mundur dari lapangan, ketimbang memancing keributan domestik.

AG ’62 dilaksanakan ketika Presiden Soekarno dianggap berperilaku sewenang-wenang melalui gagasan Demokrasi Terpimpin-nya. Revolusi dan semangat antikolonialisme, seperti halnya perbuatan Israel ke Palestina, memang mewarnai pidato demi pidato Soekarno kala itu. Akan tetapi, perilaku adventurism—bahasa lainnya, kepedean—dianggap mendorong Bung Besar bertindak demikian. Di sisi lain, menolak Israel bertanding juga dianggap sebagai aksi “balas budi” atas rekognisi banyak negara Arab terhadap Indonesia di awal kemerdekaannya. Ketika Indonesia nantinya memprotes Agresi Militer Belanda melalui PBB, negara-negara Arab pun turut mendukung.

Sekarang, Dipimpin Jokowi…

Meskipun penjajahan Israel atas Palestina terus berlanjut dan sentimen anti-Israel tetap abadi bersarang di benak masyarakat Indonesia, things have undoubtedly changed. Sebagai contoh, diskursus antikolonialisme menjadi bahasan yang tidak begitu dominan, setidaknya jika dibandingkan dengan era Orde Lama. Dalam beberapa tahun terakhir, Israel juga menjadi semakin dapat diterima oleh negara-negara Arab, meski kebanyakan karena alasan pragmatis.

Pada akhirnya, Indonesia tidak menolak kedatangan timnas U-20 Israel sampai sekarang. Sebaliknya, pemerintahan Jokowi justru memberikan jaminan keamanan terhadap mereka.Dalam pemerintahannya, ini juga bukan kali pertama terdapat atlet Israel yang berkompetisi di Indonesia. Terdapat dua atlet berkewarganegaraan Israel, Misha Zilberman serta Mikhail Yakovlev, yang berkompetisi di Indonesia belakangan ini. Zilberman berpartisipasi pada Kejuaraan Dunia Badminton (2015), sementara Yakovlev mengikuti UCI Track Nations Cup (2023), keduanya digelar di Jakarta.

Para pendukung kebijakan ini banyak mengutip Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) yang spesifik mengatur hubungan pemerintah daerah (pemda) di Indonesia dengan Israel. Permenlu No. 3 Tahun 2019 di era Pakde Jokowi, menjadi buah legislasi yang memperbaharui Permenlu No. 09/A/KP/XII/2006/01 keluaran SBY pada urusan ini. Legislasi terbaru tetap tegas melarang “penerimaan resmi” delegasi Israel dan lagu kebangsaan negara itu untuk berkumandang di Indonesia.

Mengapa pemda yang diatur? Sebab pelaksanaan acara olahraga menjadi wewenang yang didelegasikan ke pemda berdasarkan prinsip otonomi daerah, walau dalam kasus khusus, juga terdapat banyak keterlibatan pemerintah pusat. 

Oleh karena itu, penolakan Gubernur Bali I Wayan Koster terhadap bertandingnya Israel di Bali menjadi sesuatu yang somewhat memiliki landasan hukum. Kontradiksi antara pemda dan pusat ini menambah runyam penerimaan tim Israel dalam perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Meskipun begitu, sikap Pemerintahan Jokowi tampaknya sudah jelas, yakni tidak menolak kedatangan timnas Israel di Indonesia. Mungkin Pemerintahan Jokowi memiliki prioritas lain yang dianggapnya lebih penting ketimbang menolak kedatangan Israel.

Jokowi Tidak Memiliki Keberanian Soekarno

Bagaimanapun perbedaan yang ada, posisi Indonesia dalam isu Palestina sejatinya tetaplah sama. Akan tetapi, cara ekspresi dan derajat keberaniannya yang berubah.

Pemerintahan Jokowi jelas tidak berselera menolak kedatangan tim Israel untuk Piala Dunia U-20. Meski disebut tidak memengaruhi posisi Indonesia dalam isu Palestina, hal ini berarti salah satu cara pengekspresian posisi tersebut telah ditutup.

Memiliki posisi yang sama belum tentu berarti memiliki keberanian yang sama. Dari kebijakan ini, terlihat jelas bahwa Jokowi tidak seberani Soekarno dalam isu Palestina, meski kedua tokoh ini kerap disamakan karena partai, pendekatan, dan alasan-alasan lainnya.

Dari respons publik, dapat dipahami bahwa sentimen anti-Israel masih mengalir bak darah dalam nadi rakyat Indonesia yang terus berdenyut. Preferensi elit di dalam pemerintahan ternyata lebih mudah berubah dibandingkan preferensi rakyat. Dalam hal itu, protes rakyat adalah hal yang sangat valid.Dalam hingar bingar perhelatan olahraga ini, barangkali tidak sedikit rakyat menggumam: “Ah, cemen kau Jok! Bung Karno saja berani sama Israel, masak kau tidak?”

Philipus Mikhael Priyo Nugroho merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @miko.khael

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *