Kelompok Prekariat dan Perayaan Hari Buruh di Tengah Pandemi

0

Ilustrasi kelompok prekariat. Foto: pixabay.com.

Kira-kira beberapa minggu yang lalu, saya terbelalak ketika membaca berita mengenai beberapa serikat pekerja yang akan tetap merayakan Hari Buruh ditengah pandemi yang sedang bergejolak ini. Beberapa tahun ke belakang, tepatnya semenjak tahun 2014 ketika dijadikannya 1 Mei sebagai hari libur nasional, perayaan Hari Buruh tidak lagi semenakutkan tahun-tahun sebelumnya. Sebelumnya, beberapa serikat pekerja harus melakukan sweeping untuk mencari dan mengajak rekan-rekan buruh untuk berdemonstrasi dan mencari keadilan atas hak mereka.

Ngomong-ngomong soal Hari Buruh, saya selalu tergelitik ketika mengingat 1 Mei tahun lalu di kota saya, yakni sebuah perayaan Hari Buruh yang diselenggarakan oleh Polda Sumatra Utara dengan tema yang saya pikir wadaw sekali, yakni “Pesta Kuliner Buruh dan Masyarakat”. Kegiatan yang dilaksanakan pun cukup wadaw seperti joget balon, tarik tambang, panjat pinang, dan dimeriahkan musik serta lucky draw berhadiah barang elektronik hingga sepeda motor.

Semua gambaran kegiatan diatas tentu membuat peristiwa Haymarket tahun 1886 terasa tiada artinya. Tentunya, bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa saya tidak suka dengan kemesraan pihak kepolisian daerah saya dengan buruh. Saya juga tidak gila untuk berharap setiap Hari Buruh akan terjadi peristiwa seperti apa yang terjadi 134 tahun yang lalu. Tapi memang perayaan Hari Buruh tahun lalu selalu membuat saya tertawa kecil setiap kali mengingatnya.

Buruh Ditengah Pandemi Yang Sedang Mendera

Ketika terompet tahun baru pertama ditiup di tahun 2020, tidak ada yang menyangka bahwa tahun 2020 akan seperti ini. Tentunya kita memulai tahun baru dengan optimisme, walaupun berdasarkan ramalan yang dilakukan oleh para ahli menyatakan bahwa perekonomian mungkin akan melambat. Tapi, tidak ada yang berpikir akan separah ini. Segala bentuk kegiatan produksi juga dikalkulasi ulang mengingat perlunya perusahaan untuk beradaptasi dengan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Undang-undang mengenai Penciptaan Lapangan Kerja yang dianggap baik ataupun buruk — tergantung siapa yang memandangnya — juga digodok oleh pemerintah. Hal ini disadari akan menciptakan kontroversi ditengah masyarakat, namun apapun hasilnya baik disahkan atau tidak nantinya, diharapkan ekonomi tidak jatuh terlalu dalam.

Sampai tiba-tiba kasus pertama Covid-19 muncul di Indonesia.

Dengan munculnya kasus pertama pandemi ini yang kemudian diikuti dengan terus bertambahnya ribuan kasus lainnya hingga tulisan ini dibuat, membuat lagi-lagi kegiatan ekonomi harus dikalkulasi ulang, proses produksi dipangkas untuk menyesuaikan dengan permintaan, dan buruh yang bekerja juga mau tidak mau harus bekerja sesuai dengan protokol kesehatan yang ditentukan oleh pemeritah. Hal ini tentunya menyebabkan pengurangan tenaga kerja yang bekerja dalam satu jam kerja.

Perusahaan pun memutar otak demi usaha terus berlanjut, seperti pemotongan upah atau merumahkan pekerja atau pun PHK. Mau tidak mau harus ada lagi korban yang jatuh akibat kebijakan ini. Pemerintah dengan segala bentuk kebijakan safety net yang dimiliki, mencoba untuk menyelesaikan ini. Namun sejauh ini, kebijakan yang dimiliki nampaknya belum membuahkan hasil, dan malah menimbulkan kelompok sosial baru, yakni Prekariat.

Prekariat atau precariat dalam bahasa Inggris, adalah adalah gabungan dari dua kata yaitu precarious atau kerentanan dan proletariat. Istilah ini dipopulerkan oleh Guy Standing dalam bukunya yang berjudul The Precariat: the New Dangerous Class. Istilah ini digunakan untuk merujuk sebuah kelas sosial yang terbentuk dari orang-orang yang sangat rentan yang tidak memiliki kepastian dan kestabilan dalam pekerjaan karena dapat diputus oleh sang pemilik usaha secara sepihak.

Kondisi prekariat ini juga dapat terbentuk dari kebijakan pemerintah dengan dalih mempermudah pendirian usaha dan masuknya modal. Kondisi prekariat tidak hanya menghantam orang-orang yang bekerja di suatu bidang yang terdampak langsung, namun juga berdampak pada sektor lainnya yang bersentuhan baik langsung maupun dengan sektor formal terebut.

Misalnya adalah pelaku transportasi seperti ojek online (ojol) yang ikut sepi saat ini ketika mayoritas penumpangnya, yaitu para karyawan, dilarang untuk masuk kantor dan harus bekerja dari rumah. Kelompok prekariat ini bagi saya pribadi adalah kelompok yang unik, karena tidak jarang kelompok ini memilki tingkat pendidikan yang baik, hanya saja memang mereka tidak atau belum mendapat akses untuk naik ke kelas sosial yang lebih tinggi. Di tengah pandemi ini, malah ruang lingkup prekariat semakin meluas, hingga menyentuh orang -orang yang sudah mencapai level kelas menengah seperti karyawan perkantoran. 

Kelas Menengah Mungkin Memiliki Taraf Hidup Lebih Baik, tapi Mereka Lebih Rentan, Tidak Tahu Mau Berbuat Apa, dan Dirasa Tidak Perlu Diselamatkan

Kelas menengah di tengah pandemi ini memang di posisi yang sangat terjepit dan sangat rentan untuk jatuh ke kelas sosial yang lebih bawah. Di satu sisi, kelas ini punya kesadaran untuk menolong kelas bawah, namun disisi lain kehidupan mereka juga tidak sebaik bahkan juga bergantung kepada kelas atas.

Kelas menengah bukanlah sasaran utama bantuan langsung dari  pemerintah, di sisi lain mereka juga harus menghadapi realita bahwa mereka sewaktu-waktu dapat kehilangan pekerjaan mereka saat ini sebagai dampak dari pandemi ini. mereka juga tidak mendapat insentif ekonomi yang signifikan dari pemerintah ketika mereka tetap harus membayar tagihan rutin seperti listrik, air minum, dan fasilitas internet untuk menunjang aktivitas bekerja dari rumah yang besarannya tetap sama. Dan tentu saja, mereka juga harus tetap membayar tagihan yang selama ini mendukung kehidupan kelas menengah mereka, cicilan kartu kredit.

Terlebih, pemotongan gaji dari beberapa perusahaan dan penundaan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) juga terjadi sebagai dampak dari pandemi. Hal-hal ini semakin menunjukan bagaimana kelas menengah semakin mendekati bibir jurang penurunan kelas akibat pandemi ini. Maka sebagai kelas yang sangat rentan dan tentu saja sebagai kelas yang jumlahnya paling banyak di antara seluruh rakyat republik ini, pemerintah perlu dengan amat cermat membuat kebijakan yang juga mampu menyelamatkan kelas ini. Tugas kita, tentunya, adalah untuk mengawasinya.

Mohd Derial adalah mahasiswa tahun terakhir jurusan Manajemen Universitas Sumatra Utara. Bisa dihubungi melalui Twitter dan Instagram di @mderial.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *