Ketika Aku Harus Rela Menanggalkan Kewarganegaraan Jepang untuk Indonesia

0

Ilustrasi dwi kewarganegaraan. Foto: pixabay.com.

Saya adalah Satria Yuma, seseorang yang lahir dari Ibu berkewarganegaraan Jepang dan Ayah berkewarganegaraan Indonesia. Saya pernah berkewarganegaraan ganda. Namun, kecintaan saya pada Jepang dan Indonesia tertabrak realita. Ini cerita saya.

Masih kental rasanya di ingatan saya ketika masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama dan mendengarkan penjelasan Bipatride dari guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN).

“Ada yang bisa kasih contoh Bipatride?” ujar guru PKN kala itu.

“Yuma Bu!” teriak salah seorang teman saya seraya teman-teman satu kelas mulai melihat ke arah saya dengan tatapan ingin tahu.

“Ibu kamu asli Jepang?” ujar salah satu teman saya. “Bisa Bahasa Jepang ga? Coba dong coba!” ujar teman yang lain. Mendadak, teman-teman di kelas saya menjadi wartawan yang  mencoba menggali berbagai informasi terkait sisi Jepang hidup saya.

Senang rasanya menjadi contoh sebuah materi pembelajaran kelas, apalagi dengan materi kurikulum yang kala itu begitu membosankan dan terasa jauh dari dunia nyata.

Satu yang saya tidak ketahui kala itu, bahwa hal yang menjadi memori bahagia di masa SMP ternyata disaat yang bersamaan juga menjadi mimpi buruk bagi anak lainnya, Gloria.

Kurang Indonesia untuk menjadi Orang Indonesia

Ya Gloria Hamel, seorang anak yang besar dan mengenyam pendidikan di Indonesia seraya memberikan hormat pada Bendera Merah Putih setiap hari senin dianggap “Kurang Indonesia” untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih.

Hal ini mengingatkan saya akan kegagalan untuk mengikuti salah satu program pertukaran pelajar karena saya pernah tinggal di Jepang, yang bahkan saya tidak ingat.

Padahal salah satu persyaratan utamanya adalah Berkewarganegaraan Indonesia. Tapi ternyata saya kurang Indonesia?

Konyol memang, tapi apalah daya memang hukum diatas segalanya bukan kawan?

Tapi tunggu dulu. Kalau memang karena memiliki Paspor negara lain membuat anda kehilangan status anda sebagai Warga Negara Indonesia seperti Gloria, lalu bagaimana dengan Arcandra Tahar? Kenapa berbeda halnya dengan Gloria, dia bisa tetap mempertahankan statusnya sebagai Warga Negara Indonesia dan menjadi Wakil Menteri?

“Kalau saya sebagai Menkumham meneruskan mencabut kewarganegaraan Arcandra karena melanggar Pasal 23 (UU Kewarganegaraan), maka saya dapat dipidana menurut Pasal 36 (UU yang sama) selama tiga tahun. Aku belum siap untuk itu. Masih enak hidup ini,” kata Yasonna, sembari melontarkan canda, seperti dilansir dari CNN Indonesia.

Ah begitu, ternyata kali ini kasusnya hukum diatas hukum yang dibarengi dengan candaan serta balap-balapan mencabut Kewarganegaraan.

Lalu kenapa dulu Gloria tidak mencabut paspor Prancisnya seperti yang dilakukan Arcandra? Saya juga tidak tahu jawabannya.

Tapi bagi saya sendiri, tidak mudah mencabut suatu kewarganegaraan karena saya tahu betul bagaimana rasanya.

Mencabut sebagian dari Identitas diri

Di tahun yang sama dengan kasus Gloria dan Arcandra, saya menghubungi kantor Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia dan menanyakan status kewarganegaraan saya.

Ternyata status saya sebagai Warga Negara Jepang sudah dianggap hangus karena sudah berumur 18 tahun, namun saya tetap harus mendatangi kantor kedutaan untuk melakukan pencabutan secara resmi.

Tidak mudah melakukan hal tersebut. Untuk melepas sebagian dari identitas diri saya meskipun hanya pernah tinggal di kota kelahiran saya Suita, Osaka di awal tahun setelah kelahiran saya saja.

Setelah mencabut status saya sebagai Warga Negara Jepang, saya hanya mengajukan satu pertanyaan kepada staf kedutaan, “apakah suatu hari nanti saya bisa kembali menjadi Warga Negara Jepang?”

Tentu hal ini saya tanyakan setelah saya menanyakan bagaimana cara menulis nama, alamat dan data pribadi lainnya dalam tulisan Kanji, Hiragana dan Katakana. Maklum, saya buta huruf.

Ternyata, saya hanya perlu tinggal di Jepang selama lima tahun dan saya dapat kembali mengajukan diri untuk menjadi Warga Negara Jepang. Lalu apakah suatu hari nanti saya akan kembali menjadi Warga Negara Jepang? Entahlah.

Mungkin kalian bertanya-tanya, “tinggal di Jepang saja hanya waktu kecil, kenapa masih merasa bagian dari Jepang?”

Ah, pertanyaan bagus. Apalagi kalau kalian ingin menambahkan fakta bahwa saya juga tidak bisa membaca dan menulis dalam Bahasa Jepang dan hanya bisa berbicara dalam Bahasa Jepang, aneh memang rasanya.

Pada tahun yang sama dengan kasus Gloria, saya kebetulan mendapatkan kesempatan untuk pertama kalinya kembali ke tanah kelahiran saya, Jepang.

Saat itu saya membayangkan berbagai hal di benak saya layaknya seorang wisatawan mengunjungi negara lain.

Namun, setibanya saya di Tokyo saya tidak merasa seperti berada di negara asing.

Saya merasa seperti berada di rumah.

Kalau ditanya kenapa, saya pun tidak punya jawabannya. Saya juga tidak yakin Gloria atau anak berdarah campuran lainnya merasakan hal yang sama.

Dwi Kewarganegaraan? Untuk Siapa?

Isu Dwi Kewarganegaraan yang kembali muncul baru-baru ini kembali mengingatkan saya kepada dunia utopia dimana saya bisa merangkul dua identitas yang saya miliki.

Namun, baru saja muncul di berita dan menjadi wacana peraturan pemerintah, sudah banyak sekali pihak dan masyarakat yang menganggap isu dwi kewarganegaraan sebagai bentuk pengkhianatan negara.

Bahkan, beberapa hari lalu saya juga menemukan akun di Instagram yang mengunggah foto bertuliskan, “Indonesia bukan Indwisia! Kalau kalian cinta Indonesia gak mungkin mendukung dwi kewarganegaraan!”

Ah ya betul, dwi kewarganegaraan adalah bentuk pengkhianatan! ASING!

Tapi, bagaimana dengan kami kawan? Yang terlahir dengan darah dari 2 negara berbeda yang kami cintai sama kuatnya?

Bukannya Bhineka Tunggal Ika mengingatkan kita bahwa meskipun berbeda-beda kita tetaplah satu?

Atau mungkin jika perbedaan tersebut sudah lintas negara maka saya tidak lagi menjadi bagian dari kalian?

Pikirkanlah kawan, bagi saya, isu dwi kewarganegaraan tak melulu soal asing, asing dan asing.

Dwi kewarganegaraan dapat mencegah adanya Gloria, Arcandra dan saya yang berikut-berikutnya.

Terlalu konyol jika pemerintah harus kembali menelan ludahnya sendiri saat melantik seorang menteri tapi menutup matanya saat seorang anak bangsa ingin mengibarkan Sang Saka Merah Putih.

Dwi kewarganegaraan tak melulu hanya masalah keamanan, keuntungan yang didapat, atau pun pengkhianatan.

Bagi saya, dwi kewarganegaraan adalah masalah identitas diri.

Sederhananya dwi kewarganegaraan akan memudahkan saya dalam menjawab pertanyaan yang selalu sulit saya jawab, “orang mana?”

Saya bukan orang Jepang. Di atas kertas saya adalah orang Indonesia. Namun, secara identitas, saya adalah orang Jepang-Indonesia bukan setengah Jepang apalagi setengah Indonesia.

Setidaknya dengan dwi kewarganegaraan, saya bisa menjadi satu bagian dari dua keluarga saya.

Menjadi seorang Nishikawa-Kardjundi.

Satria Yuma adalah kontributor Kontekstual lulusan sarjana Hubungan Internasional Universitas Parahyangan.Dapat Dihubungi di Instagram @satriayuma dan surel satriayuma@outlook.com.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *