Anggota Dewan Kementerian Arab Saudi Musaad al-Aiban (kiri), Diplomat dan Politikus Cina Wang Yi (tengah), dan Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Iran Ali Shamkhani (kanan) dalam pertemuan di Beijing. Foto: Xinhua/Associated Press

Cina dikabarkan telah sukses membuat hubungan ketegangan antara Arab Saudi dan Iran menurun. Berita ini tersebar di berbagai platform media massa pada sekitar bulan Maret 2023 lalu. Tepatnya, setelah Cina dan kedua petinggi negara tersebut menyelenggarakan pertemuan rahasia selama empat hari lamanya.

Konflik Arab Saudi dan Iran berawal dari tumbuhnya rivalitas aliran agama yang berbeda satu sama lain. Iran memegang dominasi mazhab Syiah, sedangkan Arab Saudi bermazhab Sunni (Marcus, 2017). Konflik di Iran ini memang dimulai sejak masa penggulingan Saddam Hussein dengan bantuan Amerika Serikat untuk memperluas kekuasaannya ke Irak. Namun, eskalasi konflik ini memanas ketika adanya persaingan regional negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Iran (Marcus, 2019). 

Konflik ini diawali dari adanya tuduhan oleh Arab Saudi kepada Iran terkait penyelundupan persenjataan ke Houthi yang mana membuat persaingan regional semakin memanas. Ditambah lagi dengan posisi Amerika Serikat yang bias terkait konflik kedua negara ini. Amerika Serikat ada di pihak Iran sebagai tokoh yang mendukung Iran walaupun tidak ada hubungan khusus. Di satu sisi, Amerika Serikat juga ada di pihak Arab Saudi karena komitmennya untuk menjaga keamanan negara tersebut (Rascoe & Amos, 2023).

Eskalasi konflik yang semakin memanas ini sampai akhirnya berujung pada masing-masing pihak yang ingin memanfaatkan momen gejolak di kawasan Teluk. Diam-diam Iran dan Arab Saudi bergerilya menanam hegemoni di negara-negara tetangga kawasannya.

Hard Power Tak Kasat Mata

Diketahui Cina merupakan mitra dagang terbesar bagi kedua belah pihak, baik Iran maupun Arab Saudi. Pada tahun 2021 kemarin, Cina juga menyumbang sebesar $57 miliar dari total pemasukan Arab Saudi $87 miliar (Haghirian, dkk, 2023). Di tahun yang sama pula, hubungan bilateral perdagangan Cina dan Iran menghasilkan lebih banyak $16 miliar di atasnya. Bahkan beberapa tahun sebelumnya, Iran pernah menjadi pemasok minyak terbesar bagi negara Cina. Tercatat Cina telah menguasai hampir 30% dari perdagangan Iran (NPR, 2023). 

Apabila ditarik lebih jauh lagi, di tahun 2016 Cina juga menginisiasi diplomasi status kemitraan strategis dengan Iran dan Arab Saudi (Dixon & Sun, 2020). Agendanya adalah untuk memperkuat relasi di bidang militer, ekonomi, dan politik di kawasan Teluk Persia. Bentuk bantuan yang dikucurkan oleh Cina tidak lain berupa investasi. Nantinya, sasaran dari investasi ini adalah membangun infrastruktur perdagangan seperti pelabuhan laut. Gestur diplomasi Cina ini kemudian banyak dinilai semata-mata demi memenuhi kepentingan proyek Belt and Road Initiative (BRI) (Pourahmadi, dkk, 2023).

Potret keserasian hubungan ini kemudian merangsang respons positif dari masing-masing pihak. Arab Saudi berkomentar bahwa dirinya merasa dapat mengandalkan gerakan persuasif Cina. Argumen ini dilandaskan pada premis “apabila Iran bersikap curang, maka secara otomatis Iran kehilangan importir minyak terbesar, yaitu Cina” (Haghirian, dkk, 2023). Begitu pun sebaliknya dengan pihak Iran, yang merasa dapat mempercayai Cina sebagai mediator yang strategis.

Keberhasilan Charm Offensive ala Xi Jinping

Peran media dalam pembentukan perspektif posisi Cina nyatanya telah membuat Xi Jinping memiliki charm offensive seperti apa yang Joshua Kurlantzick, jurnalis dari Amerika tersebut katakan (Hall, 2010). Bisa dilihat bahwa strategi public diplomacy dari Xi Jinping lewat charm offensive merupakan sebuah cara unik yang tidak banyak dilakukan oleh negara-negara superpower lainnya.

Xi Jinping merasa telah gagal dengan strategi awalnya, yaitu menggabungkan jumlah tentara militer besar-besaran dengan pembangunan “pulau militer” di Laut Cina Selatan (Walt, 2023). Kegagalan tersebut membuat dirinya sadar bahwa aksi negara yang begitu berani pasti akan membuat negara superpower lainnya merasa terancam dan meningkatkan kewaspadaan kepada Cina.

Strategi charm offensive ini terlihat dari gestur pernyataan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi yang mengungkapkan komitmen Cina untuk mengawal proses mediasi antara Iran dan Arab Saudi. Xi Jinping juga mampu mendorong kedua petinggi negara bersangkutan untuk menuai pernyataan dukungannya atas bantuan mediasi Cina (AP News, 2023). Pernyataan tersebut semakin dipercaya ketika mengetahui bahwa saat ini Amerika Serikat tidak dapat menengahi kesepakatan dengan Iran secara khusus karena mereka tidak memiliki hubungan yang lebih intensif dibandingkan Cina. 

Charm offensive dari Xi Jinping tersebut ternyata berujung pada keberhasilan perjanjian kesepakatan Iran dan Arab Saudi. Isi dari perjanjian tersebut antara lain adalah komitmen Iran untuk menghentikan serangan lebih lanjut kepada Arab Saudi dan membatasi dukungan untuk kelompok-kelompok militan yang menargetkan kerajaan (Baker, 2023).

Yin & Yang ala Xi Jinping

Peran mediasi Cina antara Iran dan Arab Saudi positif dikatakan seimbang dalam memainkan hard sekaligus soft power secara bersamaan. Joseph Nye (2004) menjadi akademisi pertama yang memperkenalkan perbedaan di antara keduanya.

Hard power dijelaskan sebagai bentuk kekuasaan yang bersumber daripada kekuatan militer dan ekonomi. Definisi ini terlihat jelas sebagaimana rekam jejak Cina yang berusaha menjalin hubungan perdagangan dan diplomasi kemitraan strategisnya dengan Iran dan Arab Saudi. Keharmonisan ini kemudian dimanfaatkan oleh Cina sebagai bahan bargaining power-nya untuk memediasi kedua belah pihak. Alhasil, baik Iran maupun Arab Saudi, dapat saling mempercayai bahwa tidak akan ada satu pihak pun yang cukup berani untuk bersikap curang. Sebab konsekuensi terberatnya bisa berdampak pada kehilangan importir terbesar, yaitu Cina. Ini disebut juga dengan sanksi ekonomi yang termasuk dari bentuk turunan hard power lainnya (Wilson, 2008).

Sedangkan soft power adalah penggunaan kekuasaan yang bersumber dari tiga bidang, yaitu budaya, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri. Charm offensive atau public diplomacy termasuk bentuk dari soft power. Dalam hal ini, Cina mampu menampilkan dirinya sebagai sosok pembawa budaya, nilai politik, dan arah kebijakan luar negeri yang penuh perdamaian (peacemaking).

Demikian, resep rahasia diplomasi ala Cina. Berbeda dengan beberapa negara mediator yang memiliki kecenderungan untuk menggunakan soft atau hard power secara parsial. Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, Cina justru mampu mengkombinasikan penggunaan soft dan hard power secara strategis.

Amaraduhita Laksmi Prabhaswari dan Stephanie Dinda Iskandar merupakan mahasiswa Ilmu Hukum dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @amaraduhita dan @stevidinda_23

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *