Konsepsi Peran Indonesia dan Diundangnya Rusia pada G20

0

Penutupan KTT G20 Indonesia pada 2022 lalu di Nusa Dua, Bali. Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA

Pada November 2022 lalu, Indonesia memutuskan untuk tetap mengundang Rusia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali 2022 di tengah ketegangan perang Rusia–Ukraina. 

G20 merupakan forum internasional yang berfokus pada koordinasi kebijakan luar negeri antar negara dalam bidang ekonomi dan pembangunan. Forum yang beranggotakan 19  negara dan Uni Eropa (UE) tersebut mencerminkan kooperasi kekuatan ekonomi dan politik dunia mengingat total keseluruhan anggotanya merepresentasikan lebih dari 60% populasi dunia, 75% perdagangan global, serta 75% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. 

Sebagai forum multilateral yang tidak memiliki sekretariat permanen, agenda dan aktivitas G20 dilakukan melalui rotasi presidensi antar anggotanya. Untuk pertama kalinya, Indonesia didapuk memegang Presidensi G20 tahun 2022.

Akan tetapi, terdapat situasi khusus pada G20 2022 karena presidensi Indonesia ini berlangsung bersamaan dengan invasi Rusia terhadap Ukraina. Fenomena tersebut direspon oleh berbagai pihak, seperti negara-negara Barat yang menentang tindakan Rusia dengan menjatuhkan sanksi ekonomi atasnya. Negara-negara Barat yang dipelopori oleh Amerika Serikat (AS) meminta Indonesia sebagai Presidensi G20 2022 untuk memboikot kehadiran Rusia pada KTT. Beberapa negara juga mengancam akan absen dalam forum tersebut apabila Rusia tetap diundang. Meskipun menjadi sebuah tantangan tersendiri, namun Indonesia pada akhirnya tetap mengikutsertakan Rusia pada KTT G20 2022. 

Mengapa kebijakan tersebut diambil oleh Indonesia? Dalam menjawab pertanyaan ini, penulis akan menggunakan proposisi role conception (konsepsi peran) dari identity and culture Level of Analysis (LoA identitas dan kultur) sebagai alat analisis. Lebih lanjut, penulis juga akan menggunakan pendekatan konstruktivisme struktural untuk membantu mengoperasionalisasikan LoA tersebut. Proposisi konsepsi peran dari sendiri menjelaskan mengenai posisi atau peran negara dalam sistem internasional yang salah satunya dapat dilihat dari kebijakan luar negeri negara (Holsti, 1970). 

Sementara itu, pendekatan konstruktivisme struktural menyatakan bahwa konstruksi sosial berperan dalam membentuk identitas nasional suatu negara yang juga dapat dinilai dari kebijakan negara tersebut terhadap “others” (Wendt, 1999). Berdasarkan proposisi kerangka pemikiran tersebut, penulis berargumen bahwa kebijakan untuk tetap mengundang Rusia pada KTT G20 diambil oleh Indonesia dikarenakan adanya prinsip bebas aktif sebagai identitas politik luar negeri Indonesia serta konsepsi peran Indonesia sebagai “non-aligned country”.

Konstruktivisme Dalam Melihat Identitas

Pendekatan konstruktivisme struktural yang dipopulerkan oleh Alexander Wendt menyatakan bahwa identitas bukanlah hanya tentang identifikasi atas “self”, tetapi juga mengenai bagaimana “others” merekognisi identitas tersebut (Wendt, 1999). Dalam artian, identitas tidak hanya hasil dari “self-proclaimed” saja, tetapi juga harus mendapatkan pengakuan dari pihak lain. Wendt juga menyatakan tiga asumsi terkait negara dan identitas, yakni: 1) negara adalah unit utama untuk menganalisis politik internasional; 2) kunci dari struktur sistem negara adalah intersubjektif daripada material; serta 3) identitas dan kepentingan negara dikonstruksikan dari struktur sosial daripada human nature atau politik domestik (Wendt, 1999). 

Identitas nasional itu sendiri merupakan subjek perubahan dalam proses interaksi. Dengan begitu, maka identitas negara bukanlah sesuatu yang bersifat permanen, melainkan dapat berubah seiring dengan dinamika interaksi yang terjadi. Identitas nasional negara umumnya dilihat sebagai bagian dari kultur yang didefinisikan konstruktivis sebagai socially shared beliefs (Wendt, 1999). Wendt melihat kultur atas komunitas antarnegara sebagai determinan utama atas identitas nasional. Kemudian, dapat dipahami pula bahwa identitas nasional yang membentuk kepentingan negara dan mengarahkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara baik di tingkat domestik maupun internasional, seperti halnya tercerminkan dalam kebijakan luar negeri. 

Di samping itu, konsepsi peran merupakan salah satu proposisi konsep yang ada dalam LoA identitas dan kultur. Konsepsi peran sendiri menggambarkan posisi atau peran suatu negara dalam sistem internasional. Menurut Holsti (1970), terdapat sembilan tipe utama peran negara dalam sistem internasional, yakni revolutionary leader-imperialist, bloc leader, balancer, bloc members/ally, mediator, non-aligned, buffer, isolate, dan protectee. Masing-masing tipe tersebut memiliki indikatornya masing-masing untuk dapat diidentifikasi.

Selanjutnya, konsepsi peran juga dapat dipahami sebagai inti dari grand causal map atas bagaimana negara make sense of the world dan bagaimana negara memahami eksistensi personalnya di dunia (Shih, 1988). Konsepsi peran sendiri harus meliputi tiga elemen, yakni deskripsi atas misi nasional negara tersebut di dunia, maksud/tujuan spesifik negara tersebut atas hubungan antarnegara yang diinginkan, serta stabilitas dari waktu ke waktu. Secara lebih lanjut, Holsti (1970) juga tidak memungkiri bahwa adanya multiplisitas konsepsi peran merupakan hal yang mungkin dan normal terjadi. 

Hal tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya unsur-unsur identitas dan kultur yang sama antarnegara. Kesamaan konsepsi peran negara tersebut dapat menjadikan negara saling berkooperasi atau justru saling berkompetisi untuk mewujudkan peran yang diusung masing-masing. Maka dari itu, peran negara juga dapat dilihat pada organisasi internasional yang diikutinya.

Bebas Aktif Sebagai Identitas Polugri Indonesia

Dalam konteks hubungan internasional, identitas yang dimaksud adalah identitas kolektif yang dimiliki oleh suatu negara atau yang lebih dikenal dengan identitas nasional. Dapat dikatakan seperti itu karena identitas nasional inilah yang akan menjadi pembeda negara satu dengan negara yang lain dalam suatu interaksi internasional. Dalam hal ini, identitas nasional tidak hanya bersifat materiil seperti tercermin dalam simbol-simbol negara berupa lagu kebangsaan, bendera negara, lambang negara, dan sebagainya. Akan tetapi, identitas nasional juga dapat berupa aspek-aspek non materiil seperti halnya prinsip atau nilai yang dijunjung oleh negara tersebut. 

Secara lebih lanjut, prinsip atau nilai tersebut juga dapat diinstitusionalisasikan dalam landasan idiil, operasional, maupun konstitusional negara sehingga menjadi terlegitimasi keberadaannya. Terbentuknya identitas nasional sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti halnya primordialitas, kultur, sosio-ekonomi, hingga sejarah (Grotenhuis, 2016). 

Dalam konteks Indonesia, identitas nasional Indonesia berasal dari prinsip politik luar negerinya, yakni bebas dan aktif. Peneluran prinsip bebas aktif tersebut salah satunya didasari oleh faktor pengalaman historis yang dialami. Sebagaimana diketahui, Indonesia sebelumnya pernah mengalami pengalaman pahit kolonialisme, sebagai negara yang baru saja merasakan dekolonisasi, Indonesia enggan untuk kembali terjebak dalam situasi serupa ketika terdapat intervensi eksternal yang menunggangi kebebasan negara. 

Oleh karena itu, Hatta menegaskan bahwa Indonesia perlu menetapkan arah politik luar negerinya agar tidak hanya menjadi objek dalam percaturan politik internasional, tetapi juga menjadi subjek yang dapat menentukan nasib atau sikapnya sendiri secara penuh. Lebih lanjut, pemikiran Hatta tersebut kemudian diinstitusionalisasikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI), tepatnya pada Pasal 3 UU nomor 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri, yang berbunyi:

“Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.”

Makna dari pasal tersebut kemudian diterangkan dalam Penjelasan atas UU RI nomor 37 tahun 1999 tentang hubungan luar negeri sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan ‘bebas aktif’ adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Rekam Jejak Konsepsi Peran Indonesia Sebagai Non-Aligned Country

Konsepsi peran merupakan salah satu proposisi konsep dalam LoA identitas dan kultur yang menggambarkan mengenai posisi atau peran negara dalam suatu sistem internasional. Menurut Holsti (1970), Indonesia memiliki konsepsi peran sebagai non-aligned country atau disebut juga active independent. Hal tersebut merujuk pada keputusan Indonesia untuk bebas dan tidak terikat komitmen militer dan komitmen ideologis dengan major powers mana pun. 

Sebagai non-aligned country, keputusan kebijakan luar negeri Indonesia berbasis pada realitas internasional, dibuat untuk mencapai kepentingan nasionalnya sendiri, dan bukan untuk memenuhi kepentingan “others” atau major powers. Selain itu, Holsti (1970) juga menjelaskan bahwa non-aligned country juga dicirikan melakukan upaya aktif untuk menumbuhkan hubungan dengan berbagai negara, Hal ini tercermin dengan Indonesia yang mengekstensifikasi kooperasi dan hubungan bilateral dengan negara-negara di dunia. 

Dalam konteks multilateral, Indonesia juga berpartisipasi aktif dalam mencari solusi penyelesaian konflik secara damai atau permasalahan global lainnya dalam berbagai inisiatif internasional yang ada. Secara garis besar, konsepsi peran ini menekankan independensi, hak menentukan nasib sendiri (self-determination), fungsi mediasi, ekstensifikasi aktif atas relasi diplomatik, serta penentangan terhadap hegemoni dan segala jenis monopoli dalam hubungan internasional (Holsti, 1970).

Secara historis, sejak awal kemerdekaan, Indonesia sudah memiliki rekam jejak sebagai non-aligned country, seperti halnya ditunjukkan Indonesia dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Gerakan Non Blok (GNB). Pertama, KAA diadakan pada 18-24 April 1955 di Bandung dan dihadiri oleh 29 negara Asia-Afrika (Berger, 2008). Indonesia menginisiasi konferensi ini untuk merespons ketegangan Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, serta untuk mendukung upaya dekolonisasi di negara-negara yang masih terjebak dalam belenggu penjajahan. 

Secara umum, KAA sendiri memiliki arti penting baik bagi dunia secara keseluruhan, maupun bagi Indonesia sebagai tuan rumah. Secara internasional, KAA berkontribusi terhadap penghapusan praktik kolonialisme, diskriminasi, maupun rasialisme di dunia, utamanya di wilayah Asia dan Afrika. Sementara itu, bagi Indonesia, KAA juga dimanfaatkan sebagai sarana untuk menggalang dukungan dalam merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda (Gupta 2014). Selain itu, secara value, KAA juga menghasilkan Spirit of Bandung yang menjadi dasar kerja sama lainnya seperti GNB atau Non Aligned Movement (NAM) (Westad, 2007).

Kedua, Indonesia juga menjadi pionir dalam pembentukan GNB sebagai forum yang beranggotakan 120 negara berkembang dan didirikan pada tahun 1961 di Beograd, Yugoslavia (Westad, 2007). Organisasi ini lahir sebagai jawaban atas Perang Dingin yang menyebabkan dunia terpolarisasi menjadi dua kubu. 

Secara garis besar, terdapat dua tujuan GNB yakni mengakselerasi proses dekolonisasi dan pembangunan negara-negara tertinggal, dan GNB juga berusaha meredakan ketegangan antara dua kubu yang sedang berseteru agar tercipta kehidupan dunia yang aman dan damai. Jika diikhtisarkan, GNB berfokus terhadap beberapa prinsip berikut, di antaranya: self-determination, kedaulatan, integritas nasional, non-intervensi, peaceful coexistence, penghapusan apartheid, serta penentangan terhadap segala bentuk imperialisme dan kolonialisme (Leffler & Westad, 2010). Dari kedua contoh di atas, dapat diketahui bahwa Indonesia memenuhi kriteria konsepsi peran sebagai non-aligned country dan telah menjalankan peran tersebut dalam sistem internasional selama ini.

Manifestasi Identitas Nasional dan Konsepsi Peran Indonesia dalam Presidensi G20

Tahun 2022 menjadi salah satu momen yang bersejarah bagi Indonesia. Dapat dikatakan seperti itu karena untuk pertama kalinya Indonesia mendapat kesempatan memegang Presidensi G20. Oleh karena G20 termasuk forum bergengsi yang diikuti oleh negara-negara kekuatan ekonomi besar, momentum tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Indonesia dengan persiapan yang matang. 

Akan tetapi, realita berkata lain ketika invasi Rusia terhadap Ukraina mendisrupsi sistem internasional. Merespon hal tersebut, beberapa negara Barat—yang dipelopori oleh AS—meminta Indonesia sebagai Presidensi G20 untuk tidak mengundang Rusia dalam KTT G20 2022 sebagai bentuk ketidaksetujuan atas invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina (Llewellyn, 2022). Negara-negara tersebut juga mengancam tidak akan menghadiri forum jika Rusia tetap diundang. Tuntutan tersebut tentu menjadi tantangan dan dilema tersendiri bagi Indonesia apakah akan mengakomodasi suara negara-negara Barat atau tetap menjalankan presidensi sesuai prosedur yang berlaku. Namun, pada akhirnya Indonesia tetap memilih untuk mengundang Rusia dalam KTT G20 tahun ini.

Pada dasarnya, G20 memang tidak memiliki mekanisme khusus yang mengatur hukuman atas sebuah negara yang melakukan pelanggaran di bidang non-ekonomi—seperti halnya Rusia yang menginvasi Ukraina. Jikalau keputusan tersebut harus dibuat, hal tersebut harus berdasarkan kesepakatan kolektif melalui konsensus semua negara anggota (Teresia, 2022). 

Sementara itu, hal tersebut bukanlah sesuatu yang memungkinkan mengingat Rusia sendiri merupakan anggota G20 sehingga pasti akan menolak keputusan tersebut. Maka dari itu, sebagai tuan rumah, Indonesia tidak punya otoritas untuk tidak mengundang Rusia di KTT G20 dan tetap harus mengundang semua negara tanpa terkecuali sesuai dengan membership precedent sebagaimana disampaikan dalam pernyataan resmi di atas. 

Selain itu, ketika Indonesia memilih untuk tetap mengundang Rusia pada KTT G20, Indonesia sejatinya sedang memainkan perannya sebagai negara yang tidak berpihak. Indonesia ingin merefleksikan konsepsi perannya sebagai non-aligned country melalui kebijakan luar negeri tersebut. 

Keputusan ini menunjukkan ketegasan Indonesia bahwa tidak ada negara lain yang bisa mengatur tindakan Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia memiliki self-determination sebagai non-aligned country dengan memilih menghindari keterlibatan dalam konflik terbuka antar major powers dan menolak untuk berpihak pada salah satu kubu (Holsti, 1970). 

Mewarisi semangat GNB, Indonesia menunjukkan komitmennya sebagai non-aligned country yang tidak terpengaruh oleh tekanan great powers. Sebaliknya, berpegang teguh prinsip bebas aktif sebagai identitas politik luar negerinya, Indonesia justru mampu berdikari dan berperan aktif dalam upaya menyelesaikan konflik dalam tatanan global. Seperti halnya ditunjukkan dengan diundangnya Ukraina dalam KTT G20 dan dibahasnya isu invasi Rusia-Ukraina dalam penyusunan draf komunike (Lai, 2022). Dengan begitu, alih-alih condong kepada salah satu pihak, Indonesia justru bisa menjadi strategic middle power yang mendapatkan trust dari pihak-pihak yang berkonflik.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa keputusan Indonesia untuk tetap mengundang Rusia pada KTT G20 2022 meskipun mendapatkan tekanan dari negara-negara Barat dikarenakan adanya prinsip bebas aktif sebagai identitas politik luar negeri Indonesia serta konsepsi peran Indonesia sebagai non-aligned country. Berdasarkan pandangan konstruktivisme struktural, identitas nasional tercipta melalui konstruksi sosial yang secara lebih lanjut membentuk kepentingan negara dan mengarahkan tindakan-tindakan negara baik di tingkat nasional maupun internasional, seperti halnya melalui kebijakan luar negeri.

Ditambah, konsepsi peran merupakan salah satu proposisi konsep yang ada dalam LoA identitas dan kultur. Oleh karena Indonesia berpegang teguh pada prinsip bebas aktif dan memiliki konsepsi peran sebagai non-aligned country, maka Indonesia tidak mengindahkan tuntutan tersebut dan tetap mengundang Rusia sesuai prosedur presidensi.

Referensi

Berger, Mark T. (2008). The Real Cold War was Hot: The Global Struggle for the Third World. Intelligence and National Security. 23(1). 112-126.

Djani, Dian Triansyah. (2022, 24 Maret). Press Briefing Kementerian Luar Negeri RI, 24 Maret 2022. Youtube Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. https://youtu.be/bdkrfkIFyk8.

Grotenhuis, René. (2016). Nation-Building as Necessary Effort in Fragile States. Amsterdam University Press.

Gupta, Amit Das. (2014). The Non-Aligned and the German Question. dalam Mišković, Nataša, et al.(eds.), The Non- Aligned Movement and the Cold War: Delhi – Bandung – Belgrade. Routledge.

Hatta, Mohammad. (1948). Mendajung antara Dua Karang: (KETERANGAN PEMERINTAH DIUTJAPKAN OLEH DRS. MOHAMMAD HATTA DIMUKA SIDANG B.P.K.N.P DI DJOKJA PADA TAHUN 1948). Kementerian Penerangan Republik Indonesia.

Holsti, K. J. (1970). National Role Conceptions in the Study of Foreign Policy. Wiley-Blackwell Publishing.

Kemlu. (2022a, 1 Oktober). Indonesia Promotes Spirit to Recover Together in the 2022 G20 Presidency. Kemlu. https://kemlu.go.id/portal/en/read/3288/berita/indonesia-promotes-spirit-to-recover-together-in-the-2022-g20-presidency.

Kemlu. (2022b, 11 November). Indonesia leads G20 during tumultuous year for world. Kemlu. https://kemlu.go.id/madrid/id/news/21802/indonesia-leads-g20-during-tumultuous-year-for-world.

Lai, Yerica. (2022, 28 Mei). Ukraine’s Zelensky accepts Indonesia’s G20 invitation. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/world/2022/05/27/ukraines-zelensky-accepts-indonesias-g20-invitation.html.

Leffler, Melvyn P. & Westad, Odd Arne. (2010). The Cambridge History of the Cold War. Cambridge University Press.

Llwellyn, Aisyah. (2022, 22 April). Not G19’: Why Indonesia won’t bar Russia from the G20. Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2022/4/22/not-g19-why-indonesia-wont-bar-russia-from-the-g20.

Neack, Laura. (2008). The New Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era, edisi kedua. Rowman & Littlefield Publishers, Inc.

Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, 1999. DPR RI.

Shih, Chih-yu. (1988). National Role Conception as Foreign Policy Motivation: The Psychocultural Bases of Chinese Diplomacy. Political Psychology. 9(4). 599-631.

Teresia, Ananda. (2022, 10 November). Russia’s Putin will not attend G20 summit in Bali in person. Reuters. https://www.reuters.com/world/russias-putin-will-not-attend-g20-summit-bali-indonesian-official-2022-11-10/. 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, 1999. DPR RI.

Wendt, Alexander. (1999). Social Theory of International Politics. Cambridge University press.Westad, Odd Arne. (2007). The Global Cold War: Third World Intervention and the Making of Our Times. Cambridge University Press.

Devi Yuni Ekasari merupakan mahasiswa di Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @deviekasari_

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *