Love-Hate Relationship Indonesia-Australia

0

Ilustrasi bendera Indonesia dan Australia. Foto: Shutterstock

Dalam beberapa pekan terakhir di penghujung tahun 2020, isu perang dagang antara Australia dan Cina semakin menguat. Masalah ini dipicu oleh tuntutan Australia, bersama dengan Uni Eropa, kepada World Health Organization (WHO) untuk menyelidiki asal-usul virus corona yang berasal dari Wuhan, Cina. Hal ini membuat Cina geram dan merenggangkan hubungan kedua negara. Puncaknya pada 15 Desember 2020, Cina secara tidak resmi menyatakan larangan ekspor batu bara Australia ke Cina, disusul penangguhan dan kenaikan bea impor dari beberapa komoditas utama Australia seperti daging sapi, susu, serta buah-buahan (CNBC, 2020). Kondisi ini dinilai dapat menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi mitra dagang utama Australia menggantikan Cina. Terlebih keduanya baru saja menandatangani perjanjian IA-CEPA yang telah berlaku sejak Juli 2020 (Kemlu RI, 2020) dan semakin memperkuat hubungan kedua negara. 

Indonesia dan Australia memang memiliki hubungan bilateral yang sangat baik. Keduanya memiliki kedekatan geografis dan ikatan historis yang cukup kuat. Meskipun berbeda benua, letak geografis yang berdekatan membuat Indonesia menjadi mitra yang strategis bagi Australia di Asia. Hal ini juga diperkuat dengan sejarah panjang kedua negara sejak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam kurun waktu 1945-1949, Australia berperan sebagai penyokong utama kemerdekaan Indonesia dan menjadi negara pertama yang melakukan misi diplomatik ke Indonesia. Selain itu dalam peristiwa-peristiwa penting, Australia juga seringkali dipercaya untuk mewakili Indonesia di tingkat Internasional hingga pada akhirnya Indonesia berhasil meraih pengakuan dari dunia Internasional pada tahun 1949 (ABC News, 2020). Kedua hal ini yang kemudian menjadi awal hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia yang dalam perjalanannya seperti hubungan antara dua tetangga yang tidak akur tetapi saling membutuhkan.

Pada masa Orde Baru, hubungan Indonesia dan Australia dapat dikatakan mengalami pasang-surut. Kecenderungan Presiden Suharto menerapkan kebijakan pro terhadap Barat menjadi faktor utama dukungan Australia. Beberapa kunjungan dari pemerintah Australia dan pemberiaan bantuan ekonomi kepada Indonesia menandai relasi antar keduanya sangat baik. Namun, kondisi tersebut sempat merenggang dalam kurun waktu yang cukup lama akibat permasalahan pengakuan Timor-Timor ke wilayah Indonesia sekitar tahun 1980-an pada masa Perdana Menteri Malcolm Fraser. Secara perlahan hubungan tersebut direkonsiliasi oleh Perdana Menteri Paul Keating pada tahun 1990-an. Paul Keating (2000) melihat bahwa Indonesia memiliki posisi yang strategis untuk menguatkan kepentingan ekonomi, politik, dan budaya Australia di Asia, yang juga menjadi tujuannya selama menjabat sebagai Perdana Menteri (Troath, 2019, hlm. 133). Oleh sebab itu, Paul Keating memilih Indonesia untuk kunjungan luar negeri pertamanya pada tahun 1992 dan dianggap sebagai Perdana Menteri Australia yang paling bersahabat dengan Indonesia.

Hubungan Keating dan Suharto memang terjalin dengan baik seperti dua pemimpin negara yang bersahabat. Hal ini tidak lain karena tujuan Keating untuk merangkul Indonesia dan memberikan gambaran kepada masyarakat Australia bagaimana pentingnya kerja sama antara Australia dan Indonesia. Dalam bukunya Engagement: Australia Faces the Asia-Pacific, Paul Keating menerangkan dengan jelas bahwa hubungannya dengan Suharto dilandasi pada kepercayaan yang tulus (Troath, 2019, hlm. 134). Dalam pertemuan-pertemuannya, Suharto selalu meyakinkan Keating bahwa Indonesia tidak akan menjadi ancaman bagi Australia dan bagaimana pentingnya agar kerja sama antara Australia dan Indonesia dapat terjalin di berbagai sektor. Kepercayaan di antara dua pemimpin tersebut kemudian menimbulkan indikasi positif untuk mengakomodasi kepentingan dua negara. Secara konkret hal tersebut dapat dilihat dari perjanjian keamanan regional tahun 1995 sebagai simbol komitmen Australia dan menguatkan kepercayaan antara kedua negara (Fathana, 2018). Upaya-upaya yang dilakukan oleh Paul Keating dan Suharto menjadi fondasi kuat hubungan antara Australia dan Indonesia yang dalam praktiknya mengalami banyak tantangan.

 Pasca kepemimpinan Suharto dan Keating, hubungan Australia dan Indonesia kembali mengalami periode pasang-surut. Pergantian rezim yang lebih demokratis dan kondisi politik Australia yang begitu dinamis menyebabkan relasi kedua negara yang tidak sepenuhnya berjalan baik. Sejak Suharto dan Keating hingga saat ini, Joko Widodo dan Scott Morrison, terhitung Indonesia telah mengalami pergantian Presiden sebanyak lima kali dan Australia telah dipimpin oleh enam Perdana Menteri berbeda. Selain itu, munculnya berbagai masalah dan isu Hak Asasi Manusia juga seringkali membuat renggangnya hubungan Australia dan Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Colin Brown (2013), hubungan Indonesia dan Australia dapat digambarkan sebagai roller coaster yang setiap ada kenaikannya pasti akan diikuti oleh sebuah penurunan.

Selama masa reformasi, memang terdapat beberapa isu yang mengakibatkan renggangnya hubungan Indonesia dan Australia atau yang disebut sebagai ‘penurunan’ dalam analogi Colin Brown. Masih teringat betul skandal kasus penyadapan oleh Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ani Yudhoyono pada tahun 2013. Kasus ini membuat geram Presiden saat itu hingga menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia dan menjadi titik penurunan hubungan baik kedua negara. Titik renggangnya hubungan Australia dan Indonesia berikutnya adalah pada tahun 2015, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, yaitu eksekusi hukuman mati bagi warga negara Australia sebagai terpidana kasus Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Dampaknya, Duta Besar Australia untuk Indonesia juga ditarik kembali ke Australia. Penarikan Duta Besar masing-masing negara jelas menjadi indikasi titik rendah hubungan diplomatik antara dua negara tetangga ini. Terbaru adalah mengenai isu Papua yang menyangkut pelanggaran HAM dan kemerdekaan Papua yang terus disuarakan oleh Australia.

Terlepas dari masalah-masalah yang terjadi, faktanya Australia dan Indonesia selalu dapat memperbaiki dan bahkan memperkuat hubungan mereka. Kerja sama di bidang ekonomi, pendidikan, serta kontra-terorisme yang menjadi fokus kedua negara juga tetap berjalan dan tidak terganggu oleh adanya keretakan hubungan keduanya. Posisi Indonesia sebagai mitra strategis Australia di Asia dan dibutuhkannya bantuan dari Australia menjadi simbiosis mutualisme yang memperkuat hubungan mereka. Seperti yang terjadi pada tahun ini ketika Australia dan Indonesia menandatangani perjanjian IA-CEPA. Selain itu dalam penanganan COVID-19, Australia bersama dengan WHO telah berupaya membantu Indonesia dalam menanggulangi pandemi yang belum terkendali di Indonesia. Secara resmi Australia juga menawarkan bantuan sebesar satu triliun dollar kepada Indonesia untuk mendukung hal ini (The Diplomat, 2020).

Apabila mengacu pada tulisan Greta Nabbs-Keller (2020), pasang surutnya hubungan Australia dan Indonesia disebabkan oleh rasa hormat dan ketahanan yang kuat. Renggangnya hubungan antar dua tetangga ini dalam beberapa waktu disebabkan oleh kurangnya rasa hormat Australia terhadap Indonesia, utamanya pasca kepimpinan Paul Keating. Australia seakan tidak menghargai kedaulatan nasional Indonesia dan kepentingan negara di dalamnya (Nabbs-Keller, 2020). Hal ini terlihat dalam kasus penyadapan Presiden SBY serta eksekusi hukuman mati bagi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang terjadi karena Australia tidak mengakui kedaulatan dan hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, di sisi lain, Keller mengungkapkan bahwa faktor ketahanan menjadi penguat hubungan Australia-Indonesia. Fondasi yang dibangun oleh Paul Keating dan Suharto serta kemauan untuk rekonsiliasi pasca konflik menjadi kunci keberhasilan ini. Faktanya, Indonesia dan Australia selalu dapat kembali pada jalur yang aman untuk melaksanakan bisnis seperti biasa, layaknya dua tetangga yang bersahabat (Nabbs-Keller, 2020, hlm. 533).

Pada dasarnya Australia dan Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi poros kekuatan menengah (middle power) di samping Cina dan Amerika Serikat. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan adanya penguatan hubungan antara keduanya. Seperti yang diungkapkan oleh Sian Troath (2019), hubungan Australia dan Indonesia dapat diperkuat dengan adanya kepercayaan antar pemimpin, pemerintah, dan masyarakat kedua negara. Kepercayaan yang telah dibangun oleh Paul Keating dan Suharto harus dilanjutkan dan masalah ketidakpercayaan antar masyarakat sebagai akar rumput perlu diperbaiki untuk mencegah masalah dan kejatuhan hubungan di masa yang akan datang. Dengan begitu, posisi Indonesia yang strategis dan dukungan Australia dapat menjadi sebuah kerja sama yang sangat baik. Terlebih saat ini tengah terjadi perang dagang antara Australia dan Cina yang bisa menjadi peluang kerja sama lanjutan dari perjanjian IA-CEPA. Indonesia dapat dan akan menjadi mitra strategis bagi Australia di Kawasan Asia dalam upaya melawan pengaruh Cina yang semakin besar. Apabila masalah-masalah dan kerenggangan hubungan dapat diminimalisir, tentu hubungan tetangga yang pasang-surut dapat bertransformasi menjadi ombak yang besar di dunia.

Referensi

Brown, Colin. (2013, 7 November). Spying ‘Scandal’: Another Challenge to The Australia-Indonesia Relationship?. The Conversation. https://theconversation.com/spying-scandal-another-challenge-to-the-australia-indonesia-relationship-19909

CNBC Indonesia. (2020, 16 Desember). Perang Dagang Makin Panas, Australia ‘Sere’ China ke WTO. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20201216160518-4-209579/perang-dagang-makin-panas-australia-seret-china-ke-wto

Fathana, Hangga. (2018, 2 Januari). Kertas Kabinet Australia 1994-1995: Perjanjian Keamanan dengan Indonesia Meredam Kekhawatiran. The Conversation. https://theconversation.com/kertas-kabinet-australia-1994-1995-perjanjian-keamanan-dengan-indonesia-meredam-kekhawatiran-89543

Nabbs-Keller, Greta. (2020). Understanding Australia-Indonesia relations in the post-authoritarian era: resilience and respect. Australian Journal of International Affairs, 74(5), hlm. 532-556.

Strangio, Sebastian. (2020, 10 November). Australia Offers Indonesia $1 Billion to Aid COVID-19 Recovery. The Diplomat. https://thediplomat.com/2020/11/australia-offers-indonesia-1-billion-to-aid-covid-19-recovery

Troath, Sian. (2019). Bonded but not embedded: trust in Australia-Indonesia relations, Keating & Suharto to Turnbull & Jokowi. Australian Journal of International Affairs, 73(2), hlm. 126-142.

Wibawa, Tasha. (2020, 4 Januari). Hubungan Indonesia dan Australia Capai Titik Balik yang Strategis Meski Banyak Kesalahpahaman. ABC News. https://www.abc.net.au/indonesian/2020-01-04/70-tahun-hubungan-diplomatik-australia-dan-indonesia/11839228

Ikhsan Hanif merupakan mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram melalui nama pengguna @ikhsanhanf

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *