Masalah Kuota PNS dan Keadilan Antargolongan di Bangladesh

0

Demonstrasi Mahasiswa Bangladesh Menuntut Kesetaraan Akses dalam Bekerja/ Kredit Foto ABC.net

Demonstrasi besar-besaran yang diwarnai kerusuhan melanda di Bangladesh pada pertengahan Juli lalu. Negara yang ujung timur Asia Selatan ini mengalami gelombang demonstrasi dari mahasiswa dan pelajar setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang kontroversial terkait kebijakan kuota Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Peraturan tersebut mensyaratkan beberapa ketentuan kuota, salah satunya yang paling kontroversial adalah kuota 30% untuk veteran perang. Pengalokasian kuota ini dapat dibilang menjadi upaya emansipatif yang berakar pada sejarah Bangladesh, tetapi juga berkaitan erat dengan keadilan ekonomi terutama bagi generasi muda seperti pelajar dan mahasiswa yang baru akan memasuki dunia kerja.

Sejarah Bangladesh dan Golongan Veteran Perang

Bangladesh, sebagai wilayah mayoritas muslim, sebelumnya termasuk ke dalam negara Pakistan pasca Inggris pergi dari subkontinen Asia Selatan. Saat partisi India pada tahun 1947, meski terpaut jauh secara jarak ribuan kilometer, Bangladesh disatukan ke dalam negara Pakistan sebagai “Pakistan Timur”. Akan tetapi, ketegangan ekonomi, sosial, hingga bahasa membuat persatuan ini tidak bertahan lama. Keinginan untuk memisahkan diri dari Pakistan kemudian memantik pergerakan revolusi kemerdekaan etnis Bengali pada 1971.

Pasca-Pemilu 1970 menghasilkan partai Liga Awami sebagai pemenang dibawah pimpinan Sheikh Mujibur Rahman, kepemimpinan Pakistan Barat saat itu justru tidak menyetujui kekuasaan diserahkan kepada Sheikh Mujibur. Akhirnya, konflik politik ini meletus menjadi pertempuran militer yang berlangsung selama 9 bulan. Perang Kemerdekaan Bangladesh ini diperkirakan merenggut korban lebih dari 3 juta korban jiwa. Perang ini baru usai ketika India kemudian bergabung ke dalam konflik di sisi Bangladesh, sehingga memaksa pasukan Pakistan menyerah pada tanggal 16 Desember 1971. Perang Kemerdekaan Bangladesh membuat Pakistan Timur merdeka sebagai negara Bangladesh pada 26 Maret 1971.

Di sisi lain, Perang Kemerdekaan Bangladesh membuat adanya golongan veteran perang yang muncul pasca perang usai. Golongan veteran ini membutuhkan peran dan pekerjaan di Bangladesh, sementara mereka juga memiliki jaringan dan kekuatan politik untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, banyak dari golongan veteran ini kemudian berafiliasi dengan partai Liga Awami. Liga Awami merupakan partai tertua Bangladesh yang dibentuk pada tahun 1948 saat masih bernama Pakistan Timur. Di bawah Sheikh Mujibur, Liga Awami kemudian mengenalkan sistem kuota yang mengalokasikan 30% kuota untuk veteran perang kemerdekaan. Kuota ini kemudian menjadi fitur yang terus ada dalam politik Bangladesh, meski dengan presentase yang berubah-ubah, dengan kuota yang kemudian diperluas untuk mencakup keluarga dan keturunan veteran perang.

Kembalinya Liga Awami dan Sheikh Hashina

Setelah berkuasa di awal masa kemerdekaan, Liga Awami kemudian kehilangan kekuasaan selama berdekade-dekade. Liga Awami baru kembali berkuasa saat, Sheikh Hasina mengambil alih tampuk kekuasaan Perdana Menteri Bangladesh di tahun 1996. Namun, Sheikh Hashina kalah dalam Pemilu 2001, dan kemudian baru dapat kembali ke tampuk kekuasaan pada 2008. Sejak 2008, Sheikh Hashina dan Liga Awami terus berkuasa hingga sekarang.

Sheikh Hasina dikenal mentransformasi ekonomi Bangladesh yang lahir dari konflik peperangan dan membuat sektor industri garmen menjadi komoditas ekspor unggulan di dunia. Kemiskinan menurun sebesar 95% serta total 170 juta masyarakat saat ini bisa menikmati akses terhadap energi listrik. Lalu, Bangladesh juga mampu menjaga hubungan diplomatik baik dengan India ataupun Cina untuk mempermudah relasi bisnis bagi perdagangan negara itu. 

Beberapa dekade setelahnya, Sheikh Hasina mendapatkan kecaman dari banyak pihak setelah dianggap memanipulasi hasil pemilu Bangladesh awal tahun ini. Mantan perdana menteri Bangladesh Khaleda Zia dari partai Bangladesh Nationalist Party (BNP) yang sekarang menjadi lawan politik Sheikh Hasina mengatakan pemilu ini hanya sebatas “formalitas” dan “ilegal”, mereka menolak hasil perhitungan total sebesar 40%. 

Dugaan kecurangan pemilu membuat kehidupan berdemokrasi Bangladesh menjadi terancam, dengan hanya didominasi kekuasaan satu partai saja, yakni Liga Awami. Pemerintah menggunakan instrumen opresif demi membungkam kritik, kebebasan pers, dan kebebasan berpendapat oposisi beserta aktivis dengan melakukan penangkapan tanpa melalui proses hukum dan penghilangan secara paksa. 

Kolapsnya perekonomian global juga dirasakan di Bangladesh. Ini menyebabkan ketidakpuasan para buruh terhadap pemerintah akibat naiknya harga makanan dan bahan bakar sebanyak 9,5%. Inflasi juga mencapai nilai 10% serta cadangan devisa negara semakin menipis. Hal ini memaksa Bangladesh kembali meminjam dana talangan dari IMF sejumlah 4,7 miliar dolar AS, tertinggi bagi negara itu selama dekade 2010-an. Instabilitas politik domestik Bangladesh mencapai puncaknya saat Mahkamah Agung Bangladesh menetapkan perubahan kuota pegawai negeri sipil bulan Juli kemarin. 

Pemerintah Abai, Kekerasan Tidak Terhindarkan Lagi

Mahasiswa menolak keras penetapan kuota pegawai negeri pemerintah yang rencananya mengalokasikan sebanyak 56% bagi anak-anak veteran perang kemerdekaan. Mereka menganggap kuota ini akan semakin memperkuat posisi Liga Awami di pemerintahan yang pro Sheikh Hasina. Sebagai informasi, sistem aturan kuota di Bangladesh sudah ada sejak tahun 1972 yang telah mengalami beberapa kali amandemen. Awalnya, sistem kuota ini mengalokasikan 30% untuk para pejuang kemerdekaan, 10% untuk perempuan yang terkena dampak Perang Pembebasan, dan 40% untuk masyarakat dari berbagai distrik. Hal ini menyisakan alokasi 20% berdasarkan keahlian di pemerintahan. 

Pada tahun 1985, munculah alokasi kuota pekerjaan baru bagi perempuan sebanyak 10% dan keturunan pribumi sebanyak 5%, selagi veteran perang masih tetap sama 30% sejak awal peraturan ini diresmikan dan alokasi pekerjaan bagi beberapa distrik dikurangi menjadi 10%. Sisanya, 45% kuota pekerjaan umum dialokasikan berdasarkan keahlian. Golongan veteran perang kemerdekaan yang mulai menghilang membuat pemerintah menambahkan kuota tidak hanya untuk veteran perang itu sendiri, tetapi juga anak-anak mereka pada tahun 1997. Lalu, kriteria tersebut diperluas lagi hingga sampai cucu pejuang kemerdekaan di tahun 2010. Di tahun 2012, Bangladesh Public Service Commission (BPSC) menambahkan 1% kuota lagi untuk masyarakat disabilitas, menjadikan total persentase sebesar 56% dibandingkan total 44% yang dialokasikan berdasarkan keahlian.

Pada tahun 2018, kuota ini sempat ditangguhkan oleh pemerintah akibat masifnya protes dari masyarakat, tetapi peraturannya kembali diwacanakan akhir Juni. Unjuk rasa pun merebak, mahasiswa Universitas Dhaka membawa plakat dan bendera memprotes secara damai untuk mendesak pemerintah segera membatalkan alokasi kuota yang tidak adil. Dilansir dari Al Jazeera, persentase golongan masyarakat yang mendapatkan hak bekerja di pemerintahan menurut wacana kuota di bulan Juli 2024, antara lain: (1) 44% berdasarkan keahlian (merit), (2) 30% veteran perang, (3) 10% untuk distrik terbelakang, (4) 10% untuk wanita, dan (5) 6% untuk minoritas dan disabilitas. 

Sekitar seperempat dari total 170 juta penduduk Bangladesh berada di usia produktif untuk bekerja di rentang umur 15-29 tahun, 40 % diantaranya tidak bekerja, sekolah, atau menjalankan pelatihan, dilansir dari International Labour Organization. Ditambah lagi, faktor pemicu protes dilandasi stagnannya pasar pekerjaan di sektor swasta yang membuat profesi pegawai negeri menjadi menarik dengan gaji yang stabil dan terjaminnya tunjangan hidup. Memudarnya inklusivitas pekerjaan bagi semua kalangan dengan diterapkannya sistem kuota menyebabkan amarah publik hingga menimbulkan demonstrasi berskala besar oleh mahasiswa. 

Aksi protes mahasiswa semakin mengalami eskalasi ketika Sheikh Hasina menolak menanggapi aspirasi mereka terkait keputusan mahkamah agung. Justru, Hasina semakin memperparah situasi dengan menyebut demonstran sebagai “razakar” atau “pengkhianat” dalam bahasa Bengali di depan layar media. Demo mahasiswa pada akhirnya berujung kepada kekerasan, aparat keamanan terpaksa menembakkan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan mahasiswa yang memblokade jalan serta jalur kereta api. 

Keterlibatan Bangladesh Chatra League (Partai Pelajar Bangladesh) yang terafiliasi dengan Liga Awami semakin memperparah situasi, mereka menyerang mahasiswa menggunakan tongkat, pentungan, bahkan ada yang sampai mengacungkan pistol untuk menakut-nakuti mahasiswa. Bangladesh berada di dalam kekacauan selama beberapa minggu, pemerintah mematikan akses internet dan meluncurkan pasukan militer dengan menetapkan jam malam guna meminimalisir kerusakan lebih lanjut. Lebih dari 200 orang tewas hanya dalam waktu 10 hari serta ribuan lainnya mengalami luka-luka. 

Kuota Dibatalkan, Bagaimana Cara Hadirkan Keadilan Antargolongan?

Pada 21 Juli, situasi mulai mereda sedikit demi sedikit, akses komunikasi jaringan seluler dan internet yang sempat diputuskan kemudian dipulihkan. Pemerintah juga akhirnya melunak dengan menghilangkan kebijakan kuota veteran perang beserta keturunannya dari 30% menjadi hanya 5%, membuka peluang pekerjaan bagi penduduk Bangladesh sesuai dengan keahlian masing-masing (merit) sebesar 93%. Banyak yang menganggap bahwa tuntutan keadilan yang disuarakan mahasiswa sudah terpenuhi.
Kebijakan kuota selama ini memang menjadi salah satu cara untuk melakukan emansipasi terhadap golongan yang dianggap terbelakang dan layak mendapat bantuan. Akan tetapi, tidak jarang juga kebijakan kuota ini justru menjadi sarana untuk state capture atau patronase dengan memberikannya kepada golongan yang mendukung pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan antar golongan tidak hanya dapat dihadirkan melalui kuota semata, apalagi jika berkaitan dengan ratusan ribu pekerjaan pemerintah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Aksi protes ini yang memakan banyak korban jiwa ini seharusnya membuka mata Pemerintahan Bangladesh, dan lainnya, akan kompleksitas isu keadilan antargolongan dan menyikapinya dengan lebih bijak.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *