Memperluas Ruang Gerak Kajian HI dalam Memahami Pandemi

0

Satu bulan lebih terlalui setelah World Health Organization (WHO) memberikan status pandemi kepada virus corona. Dalam kurun waktu yang cukup padat ini, telah banyak perkembangan aksi atau kebijakan dari berbagai aspek untuk mengakomodasi dampak-dampak yang terjadi. Berbagai macam diskusi telah membuka beragam masalah yang perlu dibahas. Tak hanya itu, perkembangan isu pandemi virus corona ini menyadarkan kita akan suatu realita: Kita tidak siap.

Dalam sebuah diskusi di situs pembelajaran daring yang saya ikuti, ada perdebatan yang membahas isu pandemi sebagai perfect storm. Istilah tersebut dibawa dalam kasus wabah virus Ebola yang terjadi di Afrika Tengah pada tahun 2014. Paul Piot, seorang mikrobiologis yang menulis artikel editorial berjudul “Ebola’s Perfect Storm”, mendefinisikan kasus Ebola yang terjadi pada tahun 2014 sebagai akibat dari disfungsi pelayanan kesehatan secara turun-menurun sehingga tidak dapat diantisipasi. Definisi ini memberikan isu wabah sebagai sebuah karakter yang bersifat anomali, unik, dan tidak dapat diprediksi.

Pendapat berbeda dikemukakan Allan Brandt. Sejarawan medis dari Harvard ini memberikan argumentasi perlawanan terhadap istilah ini dengan menegaskan peran sejarah dalam memberikan refleksi terhadap kebijakan-kebijakan yang rasional. Wabah-wabah yang telah terjadi sebelumnya memiliki karakteristik kebijakan dan evaluasi yang dapat diambil sebagai visi untuk kasus yang akan terjadi di masa depan. 

Pandemi: Sebuah Perfect Storm?

Perdebatan mengenai perfect storm dapat dilihat sebagai pertentangan sudut pandang antara ilmu Sains dan ilmu Antropologi. Ilmu Sains menganggap pandemi yang pernah terjadi tidak sekiranya berpengaruh dalam dinamika pandemi di masa depan. Hal ini dikarenakan setiap pandemi memiliki jenis-jenis penyebab patogen yang berbeda. Dalam kasus virus corona, perhatian terhadap virus tidak begitu terlihat hingga munculnya gejala pneumonia secara sporadis. Gejala ini nyatanya merupakan penemuan baru sehingga membutuhkan pola pendekatan yang berbeda pula.

Adapun, sudut pandang Antropologi melihat dari bagaimana perkembangan manusia tidak terlepas dari kemampuannya dalam memberikan dampak kepada sekitarnya. Brandt memberikan argumennya lebih lanjut dalam kasus pandemi saat ini. Dalam artikelnya, ia menyatakan bahwa epidemi (awal dari pandemi) sendiri adalah hasil dari kelalaian manusia dalam proses kemunculan dan penahanan penyakit. Menaturalisasi pandemi sebagai perfect storm menyiratkan bahwa krisis kesehatan berada diluar cakupan manusia sama sekali.

Sebagai seseorang dengan latar belakang humaniora, memahami isu pandemi seperti berjalan di dalam kotak kaca; saya bisa melihat seberapa luas bahasan yang ada, tetapi tidak leluasa untuk meraihnya. Walaupun Ilmu Hubungan Internasional (HI) merupakan ilmu multidisipliner, tidak semua isu internasional yang terjadi sudah memiliki porsi analisis yang memadai. Dalam isu pandemi ini, dapat dikatakan kajian HI masih terbatas. Padahal, manajemen lintas-negara merupakan salah satu bagian penting dalam penanganan pandemi.

Bagaimana HI Melihat Pandemi Saat Ini?

Dalam pemahaman HI, akan lebih mudah untuk menolak isu pandemi sebagai perfect storm. Selain Antropologi berada pada satu rumpun ilmu yang sama, menolak pandangan perfect storm juga memberikan ruang yang lebih luas untuk dikaji. Memandang pandemi sebagai imperfect storm dapat membuka dialog yang lebih ekstensif tentang kebutuhan kebijakan preventif dalam menghadapi ancaman yang akan datang. Baik dari keamanan internasional, organisasi internasional, hingga analisa kebijakan luar negeri, rangkaian kajian HI akan mendorong integrasi penanganan pandemi yang komprehensif. Kembali lagi, potensi ini terhambat oleh terbatasnya diskusi yang berkembang hingga saat ini.

Dalam bahasan keamanan sendiri, sebenarnya masih ada ketidakpastian dalam memetakan konsep pertahanan kesehatan, terlebih lagi dalam penanganan isu pandemi. Dalam buku Security: A New Framework for Analysis oleh Barry Buzan, ancaman dari isu nonmiliter telah mendorong diskusi baru dalam pola sekuritisasi negara. Ancaman baru ini diasumsikan mendorong pembangunan sekuritisasi pada kondisi ketidakamanan (state of insecurity). Isu pandemi, yang merupakan bagian dari isu keamanan nonmiliter, mendorong datangnya kerentanan dalam masyarakat. Padahal, negara dapat mengantisipasi ancaman-ancaman yang muncul dari pandemi dengan menyadari kerentanan-kerentanan yang tampak baik dari segi internal maupun eksternal. Dengan menyadari posisi pertahanan kesehatan dengan ancaman dari pandemi yang telah ada, negara dapat memiliki acuan yang berkala untuk melindungi masyarakatnya. 

Adapun, gagapnya komunitas internasional dalam merespon tindakan preventif dari isu pandemi memunculkan kritik tersendiri. Mitigasi negara terhadap dampak-dampak pandemi telah berkembang sejak 2003 Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan International Health Regulations terus memberikan perkembangan kepada kerangka koordinasi respon global ketika pandemi influenza terjadi pada tahun 2009. Walaupun begitu, koordinasi tersebut masih dianggap kurang memadai dalam isu pandemi yang terjadi saat ini. WHO sebagai badan internasional yang krusial dalam melakukan koordinasi nyatanya tidak memiliki posisi yang kuat dalam menyambungkan kepentingan setiap negara untuk menghambat penyebaran virus. Pada akhirnya, beberapa negara, seperti Amerika Serikat, mengutamakan kebijakan kesehatan publiknya dibanding mengikuti aturan yang dikemukakan oleh WHO.

Sebagai bagian dari komunitas internasional, negara bersama aktor-aktor terkait lainnya dapat mendorong peran lembaga internasional untuk mampu mengisi celah antar-batas yang menghambat penanganan pandemi. Tidak hanya dalam konteks pergerakan manusia, tetapi juga untuk menahan penyebaran patogen meluas. Selain itu, kebijakan luar negeri yang sesuai dapat memangku kebijakan kesehatan publik dalam penanganan wabah dari tingkat domestik hingga ke tingkat koordinasi antar-negara.

Melepaskan pandemi dari kerangka perfect storm memang memberikan ruang gerak yang lebih leluasa kepada ilmu lain di luar ilmu alam. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kapabilitas sistem penanganan epidemi masih bergantung pada pengetahuan dan pengembangan medis. Memahami perspektif dari kubu sains — yang percaya bahwa pandemi adalah perfect storm — juga merupakan pendekatan yang harus diperhatikan dalam analisa HI. 

Dalam investigasi wabah, respons ilmiah selama ini masih kurang terkoordinasi atau tidak dengan pendekatan translasi yang terintegrasi dengan baik. Sumber-sumber internasional, yang seharusnya membantu, tidak tersebar secara menyeluruh dan kapasitas laboratorium internasional masih tidak mencukupi. Keterbatasan ini diungkapkan lebih lanjut dalam lokakarya Global Health Risk Framework pada tahun 2016, yang menekankan kekurangan tata kelola antara pemerintah dan WHO dalam mendorong kegagalan dalam pengendalian infeksi dan praktik pencegahan untuk perawatan kesehatan. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap pemangku ilmu terkait memiliki perannya masing-masing dalam melihat dan merumuskan masalah dari isu pandemi. Akan tetapi, isu pandemi ini memberikan kenyataan baru: Perlunya integrasi antara sains dan humaniora untuk mengisi ketidakpastian yang ada. Pada akhirnya, saya melihat narasi perfect storm bukanlah sebagai penghalang, melainkan menjadi pintu bagi pengkaji HI untuk bergerak. Tidak hanya dalam lingkup politik dan sosioekonomi, tetapi juga sebagai perpanjangan tangan dalam merumuskan penanganan pandemi yang terbaik.

Naifa Rizani adalah kontributor Kontekstual dan lulusan Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan. Ia sangat tertarik dengan isu-isu Keamanan dan Geopolitik.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *