Men-demokratisasikan Interaksi Kota dalam Pembangunan Fisik

0

Foto: New York Times

Kota menyimpan dinamika yang sebetulnya tidak sebatas pada estetika infrastruktur serta kepadatan manusia. Salah satu celah yang kiranya selama ini belum begitu disadari pada sebagian besar pikiran kita adalah bagaimana unsur fisik (infrastruktur) dan biologis (manusia) memiliki interaksi. Hal ini diperjelas kembali oleh para pemikir Urban Political Ecology (UPE), seperti Nik Heynen dan Erik Swyngedouw yang mengatakan bahwasanya unsur organik pun bukan hanya manusia, melainkan juga alam yang ada pada kota. Alam ini bisa merujuk pada vegetasi, hewan, dan sumber daya alamiah seperti air, udara, dan sebagainya. Perlu diketahui pula jika bangunan atau infrastruktur kota merupakan bagian dari alam karena benda ini pada dasarnya terbuat dari bahan-bahan alamiah yang mengalami manufakturisasi.

Interaksi Tiga Entitas

Selain unsur fisik dan biologis, satu hal lainnya yang selama ini tidak pernah disadari dalam dinamika kota adalah keberadaan unsur kimiawi. Apapun yang ada di dunia ini terbentuk atas atom-atom yang saling terikat hingga akhirnya berwujud nyata dan padat. Unsur kimiawi ini juga hadir dalam suatu interaksi bertemakan ‘konstruksi’ yang selalu menjadi bagian dari cerita kota.

Sebagai contoh, ketika suatu pihak developer membangun perumahan di atas daerah berair, maka air yang mengitari daerah tersebut kemungkinannya akan tercemar akibat sisa-sisa pembangunan yang tidak bisa terdeteksi dan disterilisasi secara penuh. Akhirnya manusia berikut dengan hewan yang hidup di daerah perumahan tersebut akan mengonsumsi olahan air kotor dan terjangkit penyakit endemi yang mungkin saat ini diwajarkan keberadaannya. Makhluk hidup ini akan mengekstraksi apa yang dikonsumsi dan ekstraksi tersebut akan menghasilkan kotoran yang kembali mencemarkan tanah atau daerah sekitarnya. Siklus lingkaran setan ini mungkin terkesan sangat menyederhanakan proses yang kompleks tapi mau tidak mau, suka atau tidak suka, siapapun harus mengakui fakta ini.

Diskursus UPE barangkali melahirkan pandangan baru bahwa manusia bukan lagi penguasa alam kota karena keberadaannya dalam siklus metabolisme tersebut bisa menjadi pengendali dan juga pihak yang dikendalikan. Menurut penulis, analisis UPE cukup baik dalam mengkritik romantisasi ‘manusia sebagai agen’ yang umumnya lahir dari kelompok Marxist maupun Kapitalis—meskipun UPE sendiri didominasi oleh kerangka Marxist. Kecenderungan UPE terhadap aliran yang naturalis dan kritis turut mempertimbangkan alam sebagai sentra kekuasaan. Sehandalnya manusia dalam mereproduksi alam, di ujung cerita alam juga mampu melakukan ‘balas dendam’ dengan caranya sendiri.

Penyakit endemi yang biasa dialami warga kota akibat keracunan air atau makanan merupakan kasus sederhana yang menunjukkan bagaimana alam, melalui proses kimiawi, membalas dendam. Kasus lainnya adalah hujan yang sangat deras dan diikuti banjir merupakan respon alam (dalam hal ini iklim) terhadap pembangunan infrastruktur yang turut berkontribusi terhadap pemanasan di daerah sekitarnya. Betonisasi dalam proses pembangunan yang melibatkan penggunaan semen sudah menjadi buah bibir atas kontribusinya terhadap peningkatan karbon dioksida. Salah satu artikel yang ditulis sekitar dua dekade lalu bahkan sudah memberi sinyal bahwasanya semen mampu memproduksi tujuh persen dari emisi karbon global, dan bahkan produksinya lebih cepat dibandingkan bahan industrial lainnya (Pearce, 1997). Belum lagi dengan material pembangunan yang menjadi penunjang konstruksi dan sama-sama mampu menghantarkan panas. Hal lucu dari kasus betonisasi ini adalah wacana pihak pemerintah maupun pemberitaan yang lagi-lagi, di akhir tahun 2021 mengingatkan curah hujan tinggi sebagai sinyal dari datangnya banjir. Padahal curah hujan tinggi itu sendiri juga memiliki pemicunya, yang salah satunya dari beton-beton tersebut.

Dalam satu artikel yang dilansir oleh NASA, ditemukan bahwa atap rumah, trotoar, jalanan, tempat parkir juga mampu melakukan proses radiasi; mengirimkan panas ke atmosfir (House, 2020). Proses ini biasa disebut sebagai ‘urban heat island (UHI)  effect’. Artinya ada percepatan dan penguapan yang lebih besar—yang tidak semata-mata hanya dibentuk oleh laut/glasier—hingga akhirnya awan hujan yang terbentuk semakin besar pula (Earth Observatory, 2006). Kesimpulan serupa pun diperoleh dari studi yang dilakukan oleh Syamsudin dan Lestari (2017) yang kurang lebih mengatakan, peningkatan UHI memicu peningkatan curah hujan ekstrem. Dampak selanjutnya dari hujan ekstrem ini adalah peningkatan banjir (Syamsudin & Lestari, 2017).

Lebih lanjut, para pembuat narasi juga sering menutupi fakta lainnya bahwa akan selalu ada kelompok yang lebih rentan terhadap banjir; seolah-olah antara fenomena alam, teknis, dan sosial merupakan hal yang terpisah dan tidak pernah berhubungan. Jika memang para narator peka terhadap isu sosial dan lingkungan sekaligus, harusnya mereka berani membuka fakta kalau bangunan dan infrastruktur kota yang hanya bisa dirasakan kelas berprivilese, dalam jangka panjang, telah menyusahkan kelompok yang sedari awal tidak pernah memiliki akses (namun ironinya terkena dampak baik secara sosial dan alamiah).

Meskipun urgensi pembentukan narasi ini selalu dianggap sepele, rasanya siapapun perlu mengetahui jika narasi (berikut dengan untaian bahasanya) tidak akan pernah netral atau selalu melibatkan konteks ‘kepentingan’ yang akan terus merekonstruksi pikiran, budaya, dan kehidupan sosial (Jaelani, 2020). Begitu pun dalam pemberitaan arus utama dan pernyataan pihak pemerintah.

Bukan Sekadar Memanusiakan Kota

Pemaparan penulis yang panjang tersebut lebih ingin mengarahkan pada suatu inti kalimat, kalau pada akhirnya apa yang membuat kota terlalu dinamis secara negatif adalah adanya narasi yang selalu memutuskan hubungan alam buatan/fisik, alam alamiah, dan manusia itu sendiri. Implikasinya adalah ketika seseorang beritikad baik untuk menanggulangi permasalahan lingkungan di kota, seperti menyediakan ruang terbuka hijau, efektivitasnya tidak akan sebesar yang diharapkan. Logika sederhananya adalah, kita membangun infrastruktur hanya untuk melayani satu entitas tertentu; entah itu hanya untuk kepentingan lingkungan tanpa memedulikan ‘siapa yang bisa mengaksesnya’, atau hanya untuk kepentingan material manusia tapi mengesampingkan efek lingkungannya. Padahal ketiga entitas tersebut sama-sama memainkan peranan tersendiri dalam interaksi kota dan sama-sama memerlukan perhatian yang proporsional dalam tiap proses pembangunannya.  

Sampai di titik ini, kiranya perlu dipahami kembali kalau persepsi kota sebagai arena pertarungan antara ekonomi-bisnis dan masyarakat terpinggirkan secara sosio-ekonomi perlu diminimalisir. Penulis melihat argumen teori politik perkotaan lama masih cenderung memisahkan secara ekstrem antar entitas meskipun, perlu diakui lagi, kalau pandangan Marxist ini telah menyadarkan kita bahwa perlu ada perhatian khusus terhadap kelompok yang termarginalkan (low class). Namun, jika perspektif ini diterapkan sepenuhnya dalam perencanaan pembangunan kota yang lebih teknis, solusi yang ditawarkan mungkin kembali melayani kepentingan manusia secara material; yang membedakannya hanya kelas yang diakomodir. Melayani kepentingan kelas bawah hanya dengan sudut pandang material mungkin kembali mengabaikan fakta jika suatu saat entitas alam melakukan ‘pembalasan dendam’, maka mereka akan kembali atau bahkan tetap menjadi pihak paling rentan terhadap dampaknya.

Demokratisasi Kota

Kota merupakan unit terkecil dari negara dan juga bisa menjadi arena mempraktikkan demokrasi secara nyata. Tidak sedikit dari kita berkutat keras dan lama dalam menarasikan demokrasi yang ideal tapi kemudian berhenti pada gagasan yang belum tentu bisa dipraktikan. Sementara itu, di waktu yang sama kelompok rentan terus terpinggirkan. Mewujudkan demokrasi bisa dimulai dengan mempraktikkan pembangunan infrastruktur kota yang aksesnya inklusif tanpa mengesampingkan salah satu dari tiga entitas tadi.

Manusia hidup dalam ruang yang sebagian besar interaksinya, tanpa disadari, lebih banyak dengan ‘benda’ ketimbang dengan sesamannya (Kern, 2020). Manusia yang hidup di kota berusaha bertahan hidup baik secara ekonomi, sosial, kesehatan, dll, dan yang mendukungnya adalah ‘akses’ fisik. Permasalahannya adalah bagaimana akses ini tidak bersifat diskriminatif. Seperti yang dicatat oleh World Resource Institute, sebesar 70 persen penduduk kota kekurangan akses terhadap layanan utama seperti rumah, air, dan listrik (WRI, n.d). Bila ditinjau lebih lanjut, angka ini mungkin belum membicarakan bagaimana sebagian besar warga kota juga perlu menempuh akses terhadap infrastruktur yang memakan biaya, perjalanan yang berisiko dan tidak ramah bagi kesehatan, bertaruh makanan di tengah harga yang terus melambung tinggi, dan lainnya.

Maka dari itu, jauh sebelum membangun infrastruktur kota, prinsip demokrasi maupun inklusivitas harusnya dimulai dari tahap perencanaan. Tidak perlu menggunakan teori ilmu sosial-politik untuk memahami urgensi demokrasi dalam perencanaan fisik kota. Seorang ahli kota yang berlatarbelakang pendidikan arsitektur lansekap, Patsy Healey, pun turut melahirkan gagasan tentang ‘perencanaan kota yang kolaboratif dan komunikatif’ (communicative and collaborative planning) walaupun kecenderungannya masih berkutat pada unsur fisik dan manusia saja. Sementara itu, demokrasi dalam perencanaan kota yang dirujuk dalam tulisan ini perlu melibatkan entitas ‘makhluk hidup lainnya’.

Pandangan yang masih mendewakan satu kelompok teknokrat tertentu dalam pembangunan kota kiranya perlu diminimalisir untuk mewujudkan kota yang ramah lingkungan namun tidak mengabaikan inklusivitas akses. Keberagaman sudut pandang seperti dari teknisi (tidak terbatas pada perencana kota dan arsitektur saja) pekerja sosial, dan warga lokal, seyogyanya dapat lebih sering duduk bersama dalam merumuskan pembangunan kota, bahkan ketika itu tentang pembangunan fisik yang sangat teknis, dan mampu menghidupkan interaksi tiga entitas dalam perencanaannya.

Referensi

Heynen, N., Kaika, M., & Swyngedouw, E. (2006). In The Nature of Cities. New York : Routledge.

House, W. (2020, April 13). Pavement Heat in The Concrete Jungle.Diakses dari Archean Web: A Changing Earth: https://archeanweb.com/2020/04/13/pavement-heat-in-the-concrete-jungle/

Jaelani, J. (2020). Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.

Kern, L. (2020). Feminist City: Claiming Space in a Man-Made World. Toronto: Verso.

Pearce, F. (1997, Juli 17). The Concrete Jungle Overheats. Diakses dari New Scientist: https://www.newscientist.com/article/mg15520912-200-the-concrete-jungle-overheats/

Syamsudin, F. & Lestari, S. (2017). Dampak Pemanasan Pulau Perkotaan (Urban Heat Island) pada Peningkatan Tren Curah Hujan Esktrem dan Aerosol di Megapolitan Jakarta Sejak 1986. Jurnal Teknologi Lingkungan: 54-61.

World Resource Institute. (n.d.). Diakses dari https://www.wri.org/cities

Rizzah Aulifia adalah mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia dan Head of Graphic Designer Kontekstual. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @rizzhaulifia

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *