Menabur Bibit Demokrasi di Tanah Gersang: Protes Belarusia dan Revolusi Velvet Armenia

0

Protes Belarusia 2020. Foto: ABC News

Pecahnya Uni Soviet pada tahun 1991 disebut-sebut menandai gelombang demokratisasi ketiga di wilayah eks-Soviet. Negara-negara eks-Uni Soviet diprediksi akan segera mengalami demokratisasi, namun pada kenyataannya transisi demokrasi terjadi tidak merata dan lebih lambat dari yang diprediksi (Norling & Cornell, 2016). Institusi dan budaya politik warisan Uni Soviet serta cengkeraman kepentingan strategis Rusia membuat tanah eks-Soviet, khususnya Belarusia dan Armenia, menjadi kurang subur bagi tumbuhnya demokrasi. Ordukhanyan (2019) menyebutkan bahwa negara-negara eks-Soviet yang lebih dekat dengan Rusia, salah satunya Belarusia, cenderung lebih tidak demokratis dibanding negara-negara eks-Soviet yang dekat dengan Uni Eropa, misalnya negara Baltik seperti Lithuania, Latvia, dan Estonia. Bagai menabur bibit gandum di gurun yang gersang, bibitnya mungkin akan berkecambah, tetapi tidak tumbuh sebagaimana diharapkan.

Bertahun-tahun gelombang protes ‘colour revolution’ – terma untuk menggambarkan dan menamai gerakan revolusi di beberapa negara eks-Soviet terhadap pemerintahan diktator – terjadi mulai dari Ukraina, Georgia, hingga Kyrgyzstan, namun di Belarusia sendiri “Revolusi Denim” pada tahun 2006 menemui kegagalan. Belarusia disebut-sebut menjadi “kediktatoran terakhir di Eropa” dengan Presiden Alexander Lukashenko berkuasa selama 26 tahun. Belakangan ini muncul lagi protes yang disebut-sebut terbesar selama berkuasanya Lukashenko. Protes ini disebut-sebut tidak hanya bertujuan melengserkan Lukashenko, tetapi berpotensi mendorong transisi demokrasi di Belarusia. Apa tantangan yang dihadapi protes-protes dan gerakan pro-demokrasi dalam mendorong transisi demokrasi di Belarusia? Lalu, apakah protes di tengah pandemi ini dapat mengakhiri musim dingin demokrasi di Belarusia?

Belarusia di Persimpangan Kekuasaan Rusia dan Uni Eropa

Belarusia sangat bergantung pada Rusia – kita semua tahu itu – tetapi pendapat populer bahwa hubungan Belarusia dan Rusia menjadi penghambat terbesar demokrasi di Belarusia sering kali tidak produktif. Demokratisasi seolah (dan hampir selalu) dipahami memiliki kelindan dengan menjauhkan geopolitik dari lingkup pengaruh Rusia. Pandangan Barat ini kerap mendominasi diskursus keterlibatan Barat dalam demokratisasi Belarusia. Hal ini masuk akal bila melihat memang negara anggota atau berafiliasi Uni Eropa, seperti negara Baltik, Moldova, dan Georgia, dinilai lebih demokratis dibandingkan negara-negara yang dekat dengan Rusia, tetapi pandangan ini abai terhadap konteks sosial-budaya masyarakat Belarusia. Akibatnya, demokratisasi dipandang sebagai pengaruh Barat alih-alih bisa muncul dari akar rumput, yaitu tuntutan ekonomi dan politik masyarakat Belarusia itu sendiri.

Protes di Belarusia ini baru menjadi yang kedua setelah Armenia yang pada 2018 menghadapi pemimpin yang didukung Kremlin. Anna Ohanyan (2020) memaparkan bahwa Belarusia dapat belajar dari Revolusi Velvet di Armenia. Nikol Pashinyan, oposisi yang menghadapi Serzh Sargsyan, berhasil mengorganisasi protes nirkekerasan yang memberikan sinyal bahwa kebijakan luar negerinya tidak akan bergeser drastis dari Rusia. Hal ini bertujuan untuk menjaga persepsi ancaman Rusia dan kemungkinan keterlibatan langsung Kremlin, seperti yang terjadi dalam Ukraina dan Georgia tempat revolusi yang terjadi memberikan sinyal pro-Barat yang sangat kental. 

Belarusia dapat mengambil pelajaran dari taktik protes di Armenia yang memberikan sinyal bahwa protes tersebut berbeda dari ‘colour revolution’ sebelum-sebelumnya yang dituduh diinisiasi Barat. Masyarakat dapat berkaca pada kegagalan revolusi pada 2006 yang menyimbolisasikan denim, membuat Lukashenko dengan mudah mereduksi dan mendelegitimasi gerakan demokratisasi sebagai ide pro-Barat dengan mengapitalisasi ketakutan efek bola salju sebagaimana protes-protes lainnya di negara eks-Soviet.

Dibandingkan dengan Armenia yang terkunci dengan negara-negara yang kurang demokratis, Belarusia berbatasan langsung dengan Uni Eropa (melalui Polandia dan negara-negara Baltik). Walaupun begitu, ketergantungan ekonomi, politik, serta resurgensi identitas Soviet mendorong Sovietisasi di Belarusia dan mengalienasinya dari Eropanisasi yang terjadi di perbatasan barat. Sehingga, transisi demokrasi di Belarusia harus dimulai dengan lebih berhati-hati memperhatikan faktor geopolitik serta sejarah dan faktor sosial-budaya masyarakat.

Demokrasi Potemkin: Lemahnya Masyarakat Sipil dan Pemberangusan Oposisi

Demokrasi yang ada di lanskap pasca-Soviet dilabeli dengan “Demokrasi Potemkin” – defektif, sandiwara seperti kisah Desa Potemkin yang dikonstruksi untuk memberikan kesan dan ilusi kemakmuran – pemilihan umum dan kriteria prosedural berlangsung, tetapi terdapat kontrol yang sangat kuat terhadap masyarakat sipil. Pemimpin otoriter pasca-Soviet membungkam oposisi dengan narasi stabilitas yang akhirnya mengakar pada partisipasi politik masyarakat sipil yang tidak disruptif dan terbatas pada pemilihan umum. Karena lemahnya masyarakat sipil dan budaya partisipasi sipil, transisi demokrasi di lanskap pasca-Soviet sangat bergantung pada peran elite dalam membangun proses top-down melalui proses pembagian kuasa, hal ini yang dapat menjelaskan mengapa ada kesenjangan kemajuan demokratisasi pasca-Soviet (Anton, 2020).

Belarusia mewarisi institusi dan budaya politik ini: masyarakat sipil di Belarusia pasif dan tidak sekuat di Armenia serta belum terbangun partisipasi yang membudaya sebagai upaya yang konsisten dan disruptif. Nechyparenka (2020) menyebutkan bahwa tiadanya organisasi non-pemerintah yang disokong Barat menjadi tantangan demokratisasi Belarusia. Hal ini dikarenakan revolusi di negara-negara eks-Soviet melibatkan berbagai organisasi pro-demokrasi (yang dimaknai dekat dengan Barat) untuk mengkultivasi dan mengamplifikasi kepedihan masyarakat, mengaktivasi agensi untuk melawan. Sejak Referendum 1996, Lukashenko menggunakan berbagai cara untuk membatasi bahkan mengopresi NGO dan organisasi masyarakat sipil yang independen dan pro-demokrasi di Belarusia, misalnya Belarus Soros Foundation, dan “mengganti”-nya dengan organisasi yang berafiliasi pemerintah, seperti Belaya Rus.

Tantangan lainnya bagi transisi demokrasi Belarusia ialah belum adanya oposisi yang kuat, “karismatik” (populer), serta bersatu. Dalam sejarah Pemilu Belarusia sejak 1994, oposisi sangat terfragmentasi, kurang populer, atau sebelum menjadi kuat sudah ditindas terlebih dahulu (Ash, 2014). Lukashenko menggunakan narasi persatuan nasional dan stabilitas untuk menindas oposisi. Keamanan nasional juga dibangun dengan narasi bebas dari pengaruh Barat dan sering kali oposisi dilabeli “agen Barat” untuk melegitimasi penindasan. Pada protes belakangan ini, walaupun popularitas Lukashenko menurun, tetapi kedudukan oposisi melemah, terutama setelah penangkapan pemimpin utama, Sergei Tikhanovsky dan Viktar Babaryka. Oleh karenanya, protes Belarusia disebut ‘leaderless’ dan berbeda dari protes-protes pasca-Soviet lainnya.

Mengaplifikasi Tuntutan Akar Rumput di Belarusia

Sejak 1991, negara-negara eks-Soviet mengalami krisis ekonomi yang mendelegitimasi rezim otokratis dan memunculkan harapan transisi demokrasi. Di Belarus, gelombang ini mengalami pembalikan setelah terpilihnya Lukashenko. Vysochina & Degteva (2018) menyebutkan bahwa Lukashenko kemudian bisa mempertahankan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, bahkan sempat meningkatkan taraf ekonomi dan kualitas hidup masyarakat melalui stabilitas politik dan hubungan dengan Rusia. Teori modernisasi telah gagal menjelaskan mengapa Moldova dan Ukraina, negara yang jauh lebih miskin dalam hal PDB per kapita, telah membuat lebih banyak kemajuan dalam demokrasi dibanding Belarusia. Namun, kondisi ini bisa berubah ketika pandemi, Belarusia mulai berada di bayang-bayang krisis ekonomi yang ditandai dengan menurunnya PDB dan nilai tukar Rubel, masyarakat yang mulai berada di domain risiko semakin banyak yang turun ke jalan memprotes kemerosotan ekonomi dan kebijakan Lukashenko yang dinilai menyepelekan pandemi.

Dalam hubungan internasional, teorisasi transisi demokrasi pada umumnya dapat dibagi pada teori yang sentral pada kondisi prakondisi, kondisi ekonomi, serta teori yang berorientasi pada kapasitas agensi. Transisi demokrasi di negara-negara eks-Soviet pada umumnya mengikuti trayektori transisi yang menekankan pada peran penting agensi atau elite politik dalam mendorong demokratisasi. Salah satu teorisasi dari Barbara Geddes (1999) yang membayangkan demokratisasi di rezim personalistik bagai stag hunt game atau permainan berburu rusa antara para elite pemerintah dan oposisi. Walaupun terlihat memiliki preferensi kebijakan dan bersaing satu sama lain, tiap faksi sebenarnya lebih baik bersatu dan tetap ada di jajaran elite – seperti berburu rusa. Akan tetapi, pada akhirnya dalam rezim personalistik, tidak ada faksi yang mau mundur secara sukarela. Kedua kelompok ini saling bersaing untuk “berburu kelinci.”

Rezim personalistik, seperti di Belarus, beberapa kali mengeksklusi oposisi dari kemungkinan kooptasi. Transisi demokrasi pada rezim personalistik berakhir dengan protes populer, pemberontakan, hingga kudeta yang membuat pemimpin personalistik tersebut akhirnya dipenjara, menjadi eksil, atau bahkan terbunuh. Hal inilah yang membuat rezim personalistik menahan kekuasaan selama mungkin – termasuk dengan menindas oposisi – atau di beberapa kasus akhirnya melangsungkan negosiasi dengan oposisi. Dalam protes yang terbaru, persepsi Lukashenko terhadap ancaman akan terjadinya ‘colour revolution’ yang diwarnai kudeta cukup besar.

Pada protes Armenia, Pashinyan dalam Revolusi Velvet terlebih dahulu mengadakan negosiasi formal maupun tidak formal dengan petahana, terutama mereka ada yang di jajaran elite yang menjadi ‘softliners.’ Sehingga, gerakan ini mendapat legitimasi dan tatanan konstitusional, membuat protes berjalan dengan adanya stabilitas politik, tanpa kerusakan yang berlebihan. Hal ini kemudian meningkatkan legitimasi dari gerakan protes dan membuat orang-orang akhirnya mau dan yakin untuk turun ke jalan. Walaupun tidak ada proses negosiasi elite, protes di Belarusia dapat secara konsisten memberikan sinyal transisi damai, nirkekerasan, dan mengamplifikasi ketidakpuasan terhadap pemerintah yang bersifat lokal dan kontekstual.

Protes Belarusia harusnya dapat menolak pembingkaian protes secara simplistik sebagai bentuk keterlibatan Barat (terutama Uni Eropa dan NATO). Tuntutan utamanya ialah penolakan hasil Pemilu yang memenangkan Lukashenko dan alasan akar rumput seperti kecurangan Pemilu, stagnasi ekonomi, kegagalan penanganan pandemi covid-19, serta penindasan terhadap oposisi. Belarusia dapat belajar dari Protes Armenia yang mengapitalisasi sumber daya dan tuntutan akar rumput yaitu tingginya korupsi dan stagnasi ekonomi di samping tuntutan politik. Walaupun dilema kebijakan luar negeri terjadi pasca-revolusi, Armenia berhasil mengganyang praktik otoritarianisme dan mendorong transisi demokrasi (Giragosian, 2019). 

Kebangkitan Sipil dan Jalan Belarusia Menuju Demokrasi

Belajar dari Revolusi Velvet di Armenia, menggoyang diktator atau praktik otoritarianisme tentunya tidak menjadi akhir, tetapi menjadi bibit menuju jalan panjang menumbuhkan dan merawat demokrasi. Protes ini dapat mendorong perkecambahan demokrasi atau justru mengalami kematian seperti sebelum-sebelumnya. Ketahanan dan pertumbuhan bibit ini menjadi penanda transisi musim dingin menuju berseminya demokrasi. Keberhasilan dari gerakan ini akan sangat bergantung pada upaya berkelanjutan membudayakan resistensi dan partisipasi sipil secara nirkekerasan untuk mendelegitimasi opresi. Lukashenko sendiri sebenarnya sudah memberikan sinyal (kemungkinan) akan turun dari jabatan dengan Pemilu lebih awal, tetapi opresi terhadap protes masih berlangsung.

Walaupun oposisi banyak yang ditangkap dan menjadi eksil, protes ini memiliki makna besar bagi proses transisi demokrasi Belarusia. Jaringan dan solidaritas masyarakat sipil ‘tuteishyia‘ – orang-orang lokal yang tinggal di sana – membuat protes ini terlokalisasi dan kontekstual serta mendorong kemunculan gerakan dan organisasi akar rumput lainnya. Berbeda dengan Armenia, protes ini muncul bukan dari proses top-down yang dilakukan oleh elite. Protes ini juga memunculkan figur perempuan yang suaminya mengalami tekanan politik dan tidak bisa maju dalam pemilihan, terutama Svetlana Tikhanovskaya yang menyatakan “Maju dalam Pemilu bukan untuk kuasa, tapi untuk keadilan.” Perempuan dan pemuda Belarusia menjadi “pemimpin” dalam protes dan berhasil menggalang dukungan lintas kelas, usia, hingga ideologi politik.

Bagaimanapun juga, protes ini memiliki makna penting dalam membuka diskursus dan ruang tumbuhnya demokrasi melalui partisipasi politik dan gerakan akar rumput yang bermakna bagi transisi demokrasi di Belarusia. Keberhasilan gerakan inilah yang pada akhirnya akan menjawab seberapa sentral peranan oposisi yang kuat dalam menumbuhkan demokrasi di lanskap eks-Soviet, mengingat model top-down ini menjadi pola umum keberhasilan transisi demokrasi sebelum-sebelumnya, termasuk di Armenia. Kalau pun Protes Belarusia ini tidak berhasil, kultur demokrasi di Belarusia tidak akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Di negara eks-Soviet yang menjalin hubungan erat dengan Rusia, protes dan aksi nirkekerasan perlu memberikan sinyal transisi damai baik ke luar, maupun ke dalam dengan menyesuaikan latar belakang kultur masyarakat. Sehingga, demokrasi tidak didemonisasi melulu sebagai pengaruh Barat, tetapi bisa tumbuh melalui amplifikasi tuntutan akar rumput. 

DAFTAR PUSTAKA

Anton, S. Democratization in the Post-Soviet Space: A Case Study of the Republic of Georgia and Ukraine. Capstone Showcase 4.

Ash, K. (2014). The election trap: the cycle of post-electoral repression and opposition fragmentation in Lukashenko’s Belarus. Democratization Vol. 22 (6).

Geddes, B. (1999). What Do We Know About Democratization After Twenty Years? Annual Review of Political Science Vol. 2.

Leschenko, N. (2008). The National Ideology and the Basis of the Lukashenka Regime in Belarus. Europe-Asia Studies, 60 (8).

Nechyparenka. Y. (2020). Democratic Transition in Belarus: Cause(s) of Failure. Institut Barcelona d’Estudis (IBEI) Student Paper Series 03. Institut Barcelona d’Estudis.

Norling, N. & Cornell, S. (2016). The Role of the European Union in Democracy-Building in Central Asia and the South Caucasus. International IDEA.

Ohanyan, A. (2020, 21 Agustus). “Belarusians can learn a lot from Armenia’s Velvet Revolution.” Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/opinions/2020/8/21/belarusians-can-learn-a-lot-from-armenias-velvet-revolution/

Ordhukhanyan, E. (2019). The Pecularities of Democratization in Post-Soviet Countries: Current Situation and Trends. International Journal of Scientific & Technology Research Vol. 8 6 ).

Vysochina, A. & Degteva, I. (2018). Causes of Democratic Failure in Belarus. Journal of Governance and Politics No. 2 (3).

Muhamad Anugrah Utama adalah mahasiswa Hubungan Internasional UGM. Dpaat ditemui di media sosial dengan nama pengguna @tama_anugerah

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *