Menepis Mitos atau Stigma Negatif Energi Terbarukan

0

Ilustrasi Energi Terbarukan. Foto: Aon

Artikel ini juga telah dipublikasi di kanal Medium Adidaya Initiative.

We will run out of energy and die.

Kutipan dari Elon Musk ini terdengar cukup masuk akal ketika manusia tidak segera beralih ke konsep energi baru terbarukan (EBT) di masa mendatang. Namun, seperti itu lah faktanya sejauh ini. Walaupun mulai banyak masyarakat yang sadar akan hal ini, tetapi tidak sedikit pula yang masih menilai energi terbarukan dengan sebelah mata dan memberikan berbagai komentar negatif untuk mendukung ketidaksetujuan mereka tersebut. Lantas benarkah ‘mitos-mitos’ tentang energi terbarukan tersebut? 

Berikut penulis mengulas beberapa stigma negatif tentang energi terbarukan beserta fakta sebenarnya. So, check it out!

“Paling juga sama aja!”

Kalimat ini adalah salah satu stigma negatif yang dilabelkan pada konsep energi terbarukan. Padahal, sama sekali tidak sama apabila membandingkan dengan konsep energi terbarukan dengan bahan bakar minyak (BBM) yang populer digunakan hingga saat ini, khususnya pada aspek ramah lingkungan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya penggunaan BBM dan bahan bakar fosil lainnya menimbulkan emisi karbon yang berbahaya untuk kesehatan manusia dan lingkungan. Emisi karbon bertanggung jawab atas beberapa gangguan kesehatan pada manusia mulai dari pusing, mual, sesak nafas, serangan jantung, dan yang paling parah kematian. Selain itu, emisi karbon juga menjadi bagian dari fenomena gas rumah kaca yang menyebabkan global warming atau pemanasan global dan berbagai masalah lingkungan lainnya yang berpotensi menjadikan bumi tidak layak huni di masa depan.

Pemakaian EBT tentu saja akan menjadi solusi atas berbagai permasalahan di atas karena sumber energi yang digunakan tidak berbasis karbon sehingga tidak akan menimbulkan emisi karbon selama pemakaian. Apabila peradaban manusia berhasil berhijrah ke era EBT ini, masa depan yang lebih sehat dan bebas karbon tidak akan menjadi isapan jempol belaka. 

So, masih berfikir bahwa beralih ke EBT tidak akan merubah apa-apa dan bakalan sama aja?

Duh, ribet!

Tidak sama sekali! Hadirnya energi terbarukan di masa depan justru akan sangat mempermudah kehidupan manusia. Bagaimana bisa demikian?

Saat ini, para ilmuwan dan pakar di bidang EBT sedang mengembangkan integrasi antara EBT dan Internet of Things (IoT). IoT sederhananya merupakan teknologi yang bisa menghubungkan segala hal di muka bumi dengan internet. Integrasi IoT dengan bidang EBT akan memberikan kemudahan dalam identifikasi potensi, optimalisasi kapasitas produksi, distribusi kepada masyarakat luas, dan berbagai kemudahan lainnya yang berkaitan dengan EBT itu sendiri. 

Apabila hal ini berhasil direalisasikan di masa depan, ketika transportasi sudah beralih dari yang berbahan bakar BBM menjadi listrik, kita akan dapat dengan mudah mengisi kembali energi untuk mobil atau motor listrik kita tanpa pergi ke recharge station terdekat dengan bantuan distribusi energi oleh IoT. Realisasi IoT terbilang cukup realistis di masa depan, mengingat sekarang ini saja, masyarakat sudah mulai familiar dengan internet akibat adanya pandemi global yang menuntut mereka untuk melakukan banyak hal secara daring satu tahun belakangan ini.

Bakalan banyak makan tempat nih!

Make sense! Mengingat fakta untuk membuat pembangkit listrik tenaga surya dalam skala besar membutuhkan hampir 5 hektar tanah dengan solar cell per megawatt listrik yang dihasilkan. Tetapi, menurut saya hal ini bisa bersifat relatif, lho! Begini penjelasannya.

Tidak semua teknologi EBT ‘makan’ banyak tempat. Contohnya adalah teknologi untuk pembangkit listrik tenaga angin. Instalasi pilar-pilar berkincir sebagai pembangkit listrik tidak terlalu makan banyak tempat di suatu lahan, bahkan contoh penerapan yang sudah dilakukan di luar negeri, pembangkit listrik tenaga angin bisa diinstalasi pada lahan-lahan pertanian terbuka yang ada sehingga penggunaan lahan bisa menjadi lebih efisien sebagai lahan pertanian dan pembangkit listrik.

Sementara itu, untuk persoalan sel surya yang terlalu banyak makan tempat bisa diatasi dengan cara memilih lahan yang tepat untuk mendirikan pembangkit listrik tenaga surya tersebut. Sebagai contoh, kompleks sel surya mungkin bisa didirikan di tempat yang beriklim kering seperti di daerah gurun yang tidak banyak ditinggali oleh manusia atau adanya aktivitas kehidupan lainnya. Oleh karena itu, pemasangan sel surya bukan lagi permasalahan dan justru menjadi upaya yang baik untuk memanfaatkan lahan-lahan yang kurang terpakai.

Mahal, cuy!

Hingga beberapa saat yang lalu, saya pun masih berpikir demikian. Tetapi, faktanya harga berbagai teknologi EBT selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Salah satu contohnya adalah baterai Lithium sebagai komponen energi utama untuk mobil/motor elektrik harganya menurun drastis sebanyak 79% hanya dalam kurun waktu 7 tahun, dari seharga $1000 per kWh (kilowatt per jam) di tahun 2010 menjadi hanya $209 per kWh per tahun 2017. Oleh karena itu, mobil keluaran Tesla yang saat ini nilainya mencapai 1,5 milyar rupiah mungkin saja akan menjadi seharga mobil-mobil di pasaran pada umumnya beberapa tahun mendatang.

Kini tinggal menunggu waktu yang tidak lama lagi, EBT akan menjadi teknologi yang terjangkau untuk masyarakat luas. Untuk mengingatkan betapa pesatnya perkembangan teknologi saat ini, hanya dalam waktu satu dekade saja, ponsel-ponsel konvensional sudah tergantikan oleh keberadaan smartphone dengan segala fitur kemudahan yang mereka sajikan dan tentunya dengan harga yang terjangkau.

EBT menurut saya juga memiliki potensi yang demikian. Tinggal peran kita sebagai pemuda dan masyarakat yang baik untuk sebisa mungkin mengaplikasikan EBT dengan versi kita sendiri. Serta, tetap menyuarakan EBT kepada sesama agar perubahan masif yang mengarah ke era renewable energy bisa segera terealisasikan.

Referensi

Admin Dishub Kota Medan. (2014, 22 Januari). Dampak Emisi Kendaraan Bermotor dan Lainnya. Dinas Perhubungan Kota Medan. https://dishub.pemkomedan.go.id/berita-40-dampak-emisi-kendaraan-bermotor-dan-lainnya.html

Greg and Mitch. (2020, 10 September). The Biggest Lie About Renewable Energy. Youtube: AsapScience. https://youtu.be/bC-BYhuFUtY 

IRENA (2019). Innovation landscape brief: Internet of Things. International Renewable Energy Agency, Abu Dhabi

Riski Agung Nata Utama adalah penanggungjawab teknis dari Divisi Pengabdian Masyarakat Adidaya Initiative. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @riskiagungn

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *