Menganalisis Sesat Pikir Mardigu dalam Tiga Level Kajian Hubungan Internasional!

9

Ilustrasi laut Indonesia. Foto: pixabay.com.

Another day, another stupidity goes viral.

Kali ini datang dari seseorang yang sering dipanggil sebagai bossman sama pengikutnya. Mardigu. Yang membantu memviralkan? Siapa lagi kalau bukan Tuan Deddy Corbuzier. Tuan yang memanggil pendengar/penontonnya sebagai smart people, tapi kontennya lebih sering konspirasi daripada bikin orang pintar.

Sebenarnya, Mardigu ini punya banyak banget konten yang bisa saya kritisi. Namun untuk menghemat energi, dan biar terfokus ke kajian Hubungan Internasional, saya akan menggunakan sebuah potongan video dari Twitter yang sedang viral ini.

Dari yang saya coba pahami, di dalam video tersebut, Mardigu berargumentasi bahwa selat-selat di Indonesia (Selat Sunda, Malaka, Lombok, dan Makassar) begitu berharga untuk jalur pelayaran internasional, sehingga sudah selayaknya Indonesia memasang tarif USD 1 per ton bagi semua kapal-kapal yang melaluinya. Biaya yang kecil dibanding dengan valuasi dari tiap-tiap ton barang yang dikirimkan.

Hmm, apa iya?

Mari kita rinci satu per-satu, kenapa argumentasi Mardigu tersebut tidak didasarkan dari pemikiran yang koheren.

Mardigu Gagal Memahami Kompleksitas Interaksi Negara di Level Internasional

Mardigu mendasari argumentasinya seolah-olah di dunia ini tidak ada negara penting lain selain Indonesia, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Ini merupakan oversimplifikasi dari sistem internasional yang begitu kompleks. Pertama, Mardigu mengabaikan Malaysia yang juga memiliki hak atas Selat Malaka. Malaysia, yang relatif sama kuatnya dengan Indonesia, tentunya akan meminta jatah juga. Masa iya, jatahnya hanya dibagi ke Amerika Serikat dan Cina? Alih-alih mendapatkan keuntungan dari Selat Malaka, yang ada hubungan Malaysia-Indonesia akan semakin memanas dan dapat berujung perang. Belum lagi Singapura.

Kedua, Mardigu lupa bahwa ada negara-negara lain yang sebenarnya relatif memiliki pengaruh yang lebih besar dari Indonesia, yang juga membutuhkan selat-selat yang disebutkan olehnya. Bagaimana posisi India, Korea Selatan, Jepang, Australia, Britania Raya, dan negara-negara Eropa Barat lainnya melihat Indonesia tiba-tiba memasang perbatasan di jalur perdagangan yang sudah mereka gunakan ratusan tahun lamanya? Apa Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup, untuk mampu bernegosiasi dengan negara-negara tersebut di level internasional? Masa iya, ngasih 40 sen per ton ke Amerika Serikat dan Cina cukup untuk membuat kedua negara tersebut memilih Indonesia, alih-alih aliansi tradisional mereka?

Ketiga, dan ini mungkin yang paling penting, adalah Indonesia sudah berkomitmen dengan meratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 1985. Di tahun 1957, Indonesia memperjuangkan Deklarasi Djuanda sedemikian sulitnya, hingga akhirnya diakui dunia internasional di dalam UNCLOS tahun 1982. Apa iya, kita bisa seenaknya sekarang melanggar apa yang sudah dari dulu kita perjuangkan?

Emang apa kaitan UNCLOS dengan argumentasi Mardigu? Nah, selat-selat yang disebutkan oleh Mardigu ini (selain Selat Malaka) termasuk dalam Lintas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yang mana kapal dapat melintas langsung, terus menerus, dan tidak terhalang dalam mode normal. Sekarang kalian bayangkan kalau tiba-tiba ALKI ini diabaikan, akan sebesar apa kecaman dunia internasional kepada Indonesia? Bayangin aja, gara-gara ngebet USD 1 per ton, negara-negara di dunia justru menggunakan pelanggaran Indonesia atas UNCLOS untuk melanggar batas-batas kelautan Indonesia?

Mardigu Gagal Memahami Perjuangan Indonesia Mendapatkan Status Negara Kepulauan

Selain soal kepentingan negara lain, Indonesia juga memiliki posisi kepentingan di lautnya yang relatif tak berubah semenjak Deklarasi Djuanda dicanangkan tahun 1957. Deklarasi Djuanda adalah perjuangan bangsa Indonesia, yang secara sederhana memperjuangkan Indonesia menjadi negara kepulauan (archipelagic state). Sebelumnya, berdasarkan Ordonansi Hindia Belanda 1939, laut Indonesia hanya berjarak 3 mil dari pulau Indonesia. Selain dari 3 mil tersebut, wilayah laut Indonesia adalah laut bebas yang dapat dinikmati asing sesukanya.

Dengan menjadi negara kepulauan, Indonesia dapat mengklaim laut-laut antar pulau sebagai miliknya. Setelah Deklarasi Djuanda disahkan oleh dunia internasional dalam UNCLOS, luas wilayah Republik Indonesia meningkat 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km². Tidak ada lagi laut bebas di dalam wilayah Indonesia.

Salah satu contoh paling mudah adalah laut antara Pulau Jawa dan Kalimantan. Sebelum Deklarasi Djuanda, laut tersebut dapat dilayari asing dengan bebas. Namun, wilayah tersebut kini menjadi wilayah kedaulatan Indonesia yang tak bisa lagi dilayari sesukanya.

Dengan mencederai UNCLOS, itu tandanya Indonesia mencederai perjuangannya sendiri. Apa iya, kita siap menerima konsekuensinya?

Mardigu Ingin Menang dalam Perdagangan Bebas, tapi Menggunakan Tarif?

Terakhir, saya ingin coba memasuki alur pikir individu Mardigu. Ia mendasari pemikirannya pada konsep ekonomi merkantilisme/nasionalisme, yang fokusnya adalah bagaimana Indonesia mampu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dasar pemikirannya bukan perdagangan bebas karena kebijakannya didasari pada pengenaan tarif.

Namun, ia gagal memahami bahwa perdagangan bebas bergerak menggunakan mekanisme pasar. Jika jalur laut Indonesia dirasa tidak lagi efisien (karena adanya pengenaan tarif), akan ada inovasi lain agar perdagangan bebas dapat bergerak lebih efisien. Mungkin tidak dalam satu atau dua tahun. Tapi setelah 10 tahun? 50 tahun?

Semisal, Malaysia yang membangun kanal seperti Terusan Suez dan Panama, sehingga kapal tidak lagi melewati Selat Malaka? Siapa yang rugi?

Ya, Singapura bakal ikutan marah sih ke Malaysia, tapi kalau memang lebih menguntungkan dan efisien buat Malaysia dan seluruh dunia, kenapa nggak?

Belum lagi soal kalkulasi biaya membangun infrastruktur “tarif” di selat-selat tersebut yang akan melambung tinggi. Bisa-bisa, biaya USD 1 per ton tidak cukup. Lantas, Indonesia harus meningkatkan tarifnya lagi, menjadi USD 10 per ton, misalnya. Apa iya, pengusaha-pengusaha pelayaran nggak mencari cara lain yang lebih efisien? Bisa-bisa, udah bikin infrastruktur “tarif” mahal-mahal, nggak ada yang lewat. Bukannya untung, malah buntung.

Hafizh Mulia adalah Pemimpin Redaksi Kontekstual. Bisa ditemui di Twitter dan Instagram dengan username @moelija.

Tentang Penulis

9 thoughts on “Menganalisis Sesat Pikir Mardigu dalam Tiga Level Kajian Hubungan Internasional!

  1. Berarti bagaimana kita bisa mendapatkan keuntungan scr ekonomi dr choke point tersebut?

  2. Seandainya di choke point tersebut kita melakukan perluasan daratan, apakah diperbolehkan?

  3. Berdasarkan ALKI, Indonesia tidak mendapatkan manfaat apapun scr ekonomi (jalurnya), bahkan malah buntung karena banyak biaya (mungkin) yg harus keluar. Kalaupun ada untung scr ekonomi (mungkin) tetap harus ttp lewat jalur produk baik hasil laut ataupun daratan.

  4. Menurut anda, apakah bossman hanya menggoda? Dan kalau saya boleh tau (otak saya hanya akar rumput), hal apalagi yg perlu dikritisi dari pernyataan bossman (untuk saya/ kami belajar) hingga saya tidak menjadi tersesat dan lebih pintar?

  5. Artikel ini bagus, sayang gaya bahasa yang digunakan bukan ngajak diskusi, tapi justru merendahkan, kalo boleh ngasih saran, coba contek gaya bahasa santun ala ala om madeandi di youtube, yang dikritik pun gak akan merasa di lucuti, akhirnya terbuka ruang diskusi, sayang banget konteks pembahasan sebagus ini justru menimulkan kebencian,

    Salam, milenial sebagai native digital yuk #santundiinternet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *