Menilik Peran Pemberdayaan Masyarakat dalam Energi Terbarukan

0

Ilustrasi penerapan sumber daya terbarukan di desa-desa pelosok di Sumba, Indonesia. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

“Alone, we can do so little. Together, we can do so much” 

– Helen Keller-

Helen Keller. Banyak orang mungkin pernah mendengar nama ini atau mungkin hanya mendengar kutipannya saja. Kutipan itu diucapkan oleh seorang tokoh kemanusiaan asal Alabama, Amerika Serikat, dalam bukunya The Story of My Life di tahun 1903. Tokoh unik, seorang perempuan pertama penyandang disabilitas, namun berhasil mengguncangkan dunia karena hasil karyanya dan perjuangannya.

Sebuah kutipan powerful dari Helen Keller membuat saya merenung dan merefleksi pada kondisi saat ini. Ketika kita bekerja bersama untuk tujuan yang sama, tanpa memandang apa, siapa, dan darimana kita, maka kita bisa menggapai hal-hal di luar imajinasi atau mimpi besar kita. Ini terutama jika niat kita nyata dan bertujuan untuk kemuliaan yang besar.

Kutipan ini berawal dari penderitaan yang dialami oleh Helen. Pada usia 19 bulan, ia terkena penyakit demam otak sehingga membuatnya buta dan tuli. Penderitaan itu tidak mematahkan semangatnya untuk bisa lulus kuliah di Radcliffe College. Ia benar-benar tahu bagaimana rasanya bekerja sama sebagai sebuah tim, yakni dia, gurunya, dan pengikutnya. Menyelesaikan banyak hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh seorang tuna-netra rungu dengan melibatkan guru-gurunya dan pengikutnya untuk menyumbangkan pemikiran kepada masyarakat sekitar. Kisah tersebut menjadikan sebuah inspirasi bagi siapapun, bahwa keterbatasan tidak menghalangi suatu keberhasilan.

Pernah dengar soal penerapan energi terbarukan di Indonesia? 

Betapa hebatnya jika implementasi energi terbarukan di Indonesia benar-benar mengusung kutipan tersebut, sebuah halangan atau keterbatasan suatu daerah dapat diatasi jika dilakukan secara bersama-sama dan terkonsep dengan baik. Saling bahu-membahu antar orang, bidang, dan sektor adalah kunci dari suatu keberlanjutan pembangunan. Terlihat indah bukan?

Saya mencoba ambil lingkup terkecil dari suatu administrasi pemerintahan di Indonesia, yaitu tingkat desa. Kita tahu, Indonesia terdiri dari 83.931 desa, dan dari desa-desa ini sebanyak 13.232 masuk dalam kategori desa tertinggal (Badan Pusat Statistik Indonesia). Yang mana, dikutip dari Kontan.com, sebanyak 433 desa di Indonesia bahkan masih belum mendapat pelayanan listrik.

Memprihatinkan, selama 75 tahun Indonesia merdeka masih ada saja wilayah-wilayah yang mengalami penderitaan di sektor energi listrik. Disamping itu, benar bahwa telah ada bantuan-bantuan pemerintah berupa proyek pengadaan energi, namun berujung sia-sia karena sebagian ada yang rusak, tidak jelas kelembagaannya, masyarakat tidak merasa memiliki, dan lain sebagainya. Media CNN mencatat bahwa sepanjang tahun 2011-2017, Kementerian ESDM telah membangun sebanyak 686 unit pembangkit listrik EBT, tetapi kondisinya 126 unit belum jelas terkait penanggungjawab pengelolaannya siapa, dan 68 unit mengalami rusak ringan hingga berat. 

Menyinggung kutipan Helen Keller, saya seketika teringat materi yang pernah diajarkan ketika di bangku perkuliahan, yaitu mengenai tipikal masyarakat desa yang cenderung bergotong-royong, memiliki empati dan simpati yang tinggi, dan interaksi sosial yang tinggi. Oleh karena itu, dalam mengatasi permasalahan yang terjadi agar tidak terulang kembali, pendekatan yang tepat khususnya untuk tingkat desa adalah jika pembangunannya menggunakan konsep pendekatan Participatory Rural Advisory (PRA) atau Pemahaman Partisipatif Kondisi Pedesaan. 

Metode ini merupakan metode atau pendekatan yang memungkinkan masyarakat secara bersama-sama menganalisis permasalahan dan kebutuhan serta merumuskan perencanaan dan pembangunan desa secara nyata. Selain itu, penggunaan pendekatan tersebut akan tercapai dan tepat-guna dengan kebutuhan masyarakat sehingga keberlanjutan (sustainability) program dapat terjamin.

Pertama, pemerintah dari anggarannya atau swasta dari program CSR-nya bersama masyarakat membuat dokumen perencanaan kegiatan, mulai dari perencanaan hingga keberlanjutan proyek ini nantinya seperti apa dan disesuaikan dengan keinginan masyarakat. Misalnya berkaitan dengan peningkatan pendapatan masyarakat karena setelah ada listrik masuk desa masyarakat desa dapat bergairah dalam berkarya. 

Selain itu, bisa juga dari pihak pemerintah desa dengan konsep bottom-up mencatatkan apa saja yang dimiliki desa tersebut terkait potensi dan masalahnya. Misalkan, desa terdapat sumber air yang deras alirannya, matahari yang bersinar cukup lama, masyarakat desa yang mayoritas beternak sehingga menghasilkan kotoran sapi sebanyak sekian kilo per hari, topografi perbukitan, dan lain sebagainya. 

Kedua adalah terkait pengelolaan atau kelembagaan setelah pembangkit listrik ini mulai beroperasi di desa. Seperti siapa nanti yang mengoperasikan pembangkitnya, siapa yang bagian menagih iuran perawatan listrik, pembukuan keuangan, dan sebagainya. Hal ringan seperti ini perlu dibicarakan dengan pemerintah ataupun masyarakat agar pihak tersebut akan mengerti solusinya jika terjadi apa-apa dengan pembangkit listrik tersebut. Contohnya, bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Karang Taruna, atau koperasi. Lembaga-lembaga tersebut nantinya diperkuat dengan diberikan pelatihan profesional agar dapat mengoperasikan dan mengelola pembangkit dengan benar. 

Terakhir, terkait skema pendanaan proyek ini nantinya akan seperti apa dan menggunakan sumber pendanaan dari mana saja, terkait pembangunan dan pemeliharaan. Pembiayaan bisa menggunakan dana dari pemerintah atau swasta ataupun keduanya (menggunakan konsep PPP/Public Private Partnership). 

Dengan bersama-sama merancang dokumen perencanaan kegiatan pembangunan yang tepat, suatu proyek akan tertata jelas dan juga dapat memberikan kepercayaan kepada investor lain atau kalangan atas jika ingin menggalang dana dari pihak lain maupun kepada masyarakat desa itu sendiri. Menggunakan konsep ini tentunya membutuhkan waktu cukup lama dibandingkan dengan proyek pengadaan pada umumnya karena perlu membangun kepercayaan pada masing-masing individu yang ada di desa. 

Keberhasilan masuknya listrik 24 jam ke desa saja bisa berdampak signifikan pada beberapa sektor di desa. Masyarakat bisa menikmati terangnya malam, anak-anak desa mudah untuk belajar di malam hari, mudah dalam mengerjakan pekerjaan rumah maupun berwirausaha. Dengan demikian, pendapatan masyarakat desa bisa meningkat sehingga daya beli meningkat, dan masih banyak lagi.

Jadi, kini sudah saatnya Gen Z dan Millenials bersama-sama bekerja menembus dinding-dinding keterbatasan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Gimana menurut kalian?

Dari desa, kita membangun Indonesia!

Referensi

Badan Pusat Statistika (BPS) Indonesia (Online) https://www.bps.go.id/

Laboraturium Pengembangan Wilayah dan Kebijakan Publik. 2013 Modul Studio Perencanaan Desa. Universitas Brawijaya.

Media Kompas (24 Juni 2015). Penggunaan Metode “Participatory Rural Appraisal” (PRA) dalam Evaluasi Kebijakan/Program. Kompas. https://www.kompasiana.com/sekar_advianty/552c4ac36ea8349f418b45c1/penggunaan-metode-participatory-rural-appraisal-pra-dalam-evaluasi-kebijakanprogram 

Primdhitya, S. (25 Januari 2018). Terjerat di Lingkaran Setan Proyek Energi Terbarukan. Media CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180125115623-85-271472/terjerat-di-lingkaran-setan-proyek-energi-terbarukan

Rahmawati, W. (3 April 2020). Jokowi: Ada 433 desa belum teraliri listrik. Kontan.com. https://nasional.kontan.co.id/news/jokowi-ada-433-desa-belum-teraliri-listrik 

Yasinta, V. (3 Oktober 2018). Biografi Tokoh Dunia: Helen Keller, Tunarungu Pendobrak Keterbatasan. Media Kompas. https://internasional.kompas.com/read/2018/10/03/17521121/biografi-tokoh-dunia-helen-keller-tunarungu-pendobrak-keterbatasan?page=all

Fadjar Iman Nugroho adalah penanggungjawab survey dan mapping (pemetaan) dari Divisi Pengabdian Masyarakat Adidaya Initiative. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @imanfadjar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *