Menjadi Apolitis Adalah Privilese Tertinggi Manusia

0

Ilustrasi demonstrasi sebagai bentuk aspirasi politik. Foto: pixabay.com.

Tidak banyak yang menyadari kalau kembang api pertama yang pecah di langit dini hari tanggal 1 Januari silam tidak hanya menandakan tahun yang telah berganti, melainkan juga menjadi penanda dimulainya tantangan-tantangan global yang baru. Tahun 2020 memang baru berjalan tiga bulan, tapi dunia sudah menghadapi beragam tantangan. Kebakaran hutan dengan segala asap pekatnya, perkembangan teknologi yang kian pesat, gangguan iklim dari polusi, hingga yang terhangat, penyebaran virus mematikan yang tak kenal batas. Isu-isunya sih bukan sesuatu yang benar-benar baru, tapi tantangan yang muncul setelahnya selalu dinamis dan penuh teka-teki baru. Tantangan-tantangan global itu lantas memberikan panggung bagi narasi yang selama ini selalu tenggelam digerus ombak para buzzer politik:

“Udah, lah, bahas politik terus, nggak haus?”

Abad ke-21 tidak lagi membuat kita berbicara tentang kolonisasi, Perang Dingin, apalagi perang terbuka antar negara. Tanpa menegasikan potensi bahaya yang masih tetap ada dari masalah di atas, semakin ke sini dunia semakin disibukkan dengan masalah-masalah global yang—apabila dilihat dari sedotan paling kecil, dengan mata paling minus, dan dari ujung terjauh puncak Monas—terlihat “kurang” politis. Misalnya saja ketika isu mengenai penyebaran virus berbahaya mulai mengglobal, kita tidak berhadapan dengan masyarakat yang menuntut pemimpin harus seiman atau pembatasan impor barang tertentu (kecuali di negara tertentu yang warganya malah sibuk menyebarkan informasi ngaco lewat grup Whatsapp tentang virus yang bisa menumpang dalam mesin telepon genggam). Alih-alih, masyarakat cenderung lebih menuntut reaksi cepat tanggap dari para ahli dan pakar mengenai apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah serta menanggulangi penyebaran virus ini. Terlihat “kurang” politis, kan?

Tantangan global yang “kurang” politis tentu memberikan karpet merah bagi orang-orang yang lebih senang menuntut agar suatu isu ditangani tanpa harus dipolitisasi. “Tolong, dong, biar masalahnya cepat selesai, jangan apa-apa politik.” Ini kemudian menandakan kalau dunia global sedang menghadapi arus kuat dari orang-orang yang kita kenal sebagai golongan apolitis.

Apolitis tentu berbeda dengan anarkis. Menjadi apolitis bukan berarti membenci tatanan politik yang ada. Mereka yang apolitis hanya mengelak atau tidak menaruh perhatian pada hal-hal yang berbau politis. Mereka tidak berpihak apalagi berafiliasi pada argumen-argumen politik tertentu, sehingga umumnya mengambil langkah netral ketika terjadi baku hantam politik. Golongan apolitis sejatinya mudah dikenali. Golongan ini terdiri dari orang-orang yang ketika banyak orang meributkan tentang apakah pedagang martabak punya kemampuan yang mumpuni untuk mencalonkan diri menjadi walikota, mereka cenderung lebih suka memposting foto-foto kucing dan anjing yang menggemaskan di sosial media. Atau memes Robert Wilde kadang-kadang.

Apolitis berarti melepaskan diri dari perihal politik. Harus diakui, kemampuan melepaskan diri dari politik adalah sebuah keistimewaan tersendiri. Jika kamu apolitis, itu berarti kamu punya keistimewaan. Orang memilih menjadi apolitis, alias tidak berpihak pada salah satu argumen politik terhadap suatu isu, biasanya karena orang itu tidak terkena dampak dari masalah atau isu yang sedang bergulir di masyarakat. Berarti, kamu istimewa. Kalau kata anak-anak sekarang, kamu punya privilege.

Sudah, terima saja. Kalau kamu pernah mengatakan: “persetan politik, siapa pun yang jadi presidennya, bodo amat!”, kamu adalah golongan orang-orang privilege. Masalahnya, kita tinggal di sistem dunia di mana setiap orang perlu secara konstan berjuang besar hanya untuk memenuhi hak-hak dasar agar bisa tetap hidup. Kamu-kamu yang apolitis berarti punya kemampuan untuk menyimpulkan kalau apa pun kondisi politik yang ada, hak dasarmu tetap terpenuhi. Dan itu privilege, karena tidak semua orang punya kemampuan yang sama.

Politik secara sederhana berbicara tentang distribusi. Adalah politik yang memastikan kalau hak dapat didistribusikan secara merata kepada setiap kelompok masyarakat. Sikap “bodo amat politik” terhadap suatu isu diiringi dengan keputusan untuk tidak memihak pada argumen politik tertentu hanya bisa diambil ketika seseorang bebas dari tekanan-tekanan politik. Sayangnya, hampir setengah populasi dunia yang hidup dalam kemiskinan, atau tiga miliar penduduk, menghadapi tekanan politik itu sejak mereka lahir, dan mungkin sampai mereka mati.

Politik memang kotor dan membuat banyak orang frustrasi. Terutama jika melihat polah para politikus yang lucu-lucu itu. Lagi pula, wajar jika politik dianggap kotor, sebab, di sanalah segala nilai tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang selama ini kamu yakini diuji. Di sanalah tempatnya hak mereka yang makan babi dan sering kamu anggap hina itu diperjuangkan. Padahal mereka manusia yang sama denganmu, meskipun minoritas, dan layak diperlakukan setara.

Kamu yang apolitis sesungguhnya hidup dalam ilusi. Pada akhirnya, tantangan-tantangan yang tadi dianggap “kurang” politis, sebenarnya sarat dengan politik. Memang harus diakui, terkadang menjadi apolitis itu penting. Terutama, di tengah buzzer yang menjamur karena dibayar dengan uang-uang “besar” ini. Tapi apolitis tidak pernah menawarkan solusi. Tidak pernah menjadi solusi.

Tapi tulisan ini tidak sedang berusaha menghakimi kamu yang memutuskan untuk menjadi apolitis. Terus saja posting foto-foto anjing dan kucing itu, tidak perlu peduli dengan masalah yang ada. Toh, menjadi apolitis adalah hak politik setiap orang. Apolitis sejak awal memang menjadi haknya kaum elitis. Karena cuma kaum elitis yang bisa hidup tanpa nuraninya terusik, di saat ada sekelompok orang yang justru bergantung pada empati orang lain hanya untuk sekadar suaranya terdengar dan hak hidupnya terjaga.

Haikal Putra Samsul adalah alumni Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang juga menjabat sebagai Chief Strategy Officer Kontekstual. Bisa ditemui di Instagram dan Twitter dengan username @icalhaikal.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *