Menyebarkan Nasionalisme Albania Bersama Dua Lipa dan Granit Xhaka

0

Ilustrasi nasionalisme Albania. Foto: Balkan Insight.

Nampaknya kita tidak pernah kehabisan isu identitas untuk dibicarakan. Setelah Elizabeth Warren yang mengaku sebagai keturunan Native America pada masa konvensi calon presiden Amerika Serikat, sekarang muncul lagi isu kebanggaan identitas yang dilakukan oleh Dua Lipa. Iya, Dua Lipa yang sekarang lagi terkenal.

Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Lipa mencuit,

au·toch·tho·nous  adjective (of an inhabitant of a place) indigenous rather than descended from migrants or colonist.”

Cuitan ini disertai bendera Greater Albania, dua elang simbol Albania, serta wajah Isa Boletini dan Ismail Qemali, dua orang yang dianggap sebagai pahlawan Albania. Gestur ini dimaknai Dua Lipa sebagai rasa bangga dirinya terhadap asal usulnya. Namun di sisi lain hal ini diartikan sebagai dukungan dirinya terhadap gerakan ultranasionalis Albania yang ingin menyatukan Kosovo, Makedonia Utara, dan wilayah lainnya dibawah Albania.

Nasionalisme Albania 101

Embrio dari nasionalisme Albania diawali dari pembentukan Liga Prizren setelah meredanya perang antara Kekaisaran Russia dan Kesultanan Ottoman, yang membuat pengaruh Ottoman di Semenanjung Balkan mengendur. Berakhirnya perang antara Russia dengan Ottoman membuat orang-orang Albania terbagi atas dua kubu, yaitu yang tetap setia terhadap Ottoman dan yang menginginkan kemerdekaan.

Gerakan nasionalisme Albania ini awalnya bertujuan untuk menjaga agar wilayah yang dihuni oleh mayoritas muslim tidak dibagi-bagi oleh Bulgaria, Montenegro, Serbia, dan Yunani. Hal ini pun membentuk kesadaran orang-orang Albania, yang memiliki kesamaan budaya dan bahasa, bersatu dibawah bendera Albania (Kostov, 2010). Seperti yang ditawarkan oleh Pashko Vasa, Albania akan mendapatkan otonomi sederhana, yang dapat mengatur mayoritas orang Albania dalam satu daerah (Robert, 2005).

Namun kemudian, tujuan gerakan ini bertransformasi menjadi sebuah gerakan yang menginginkan kemerdekaan penuh, dan kemudian melakukan perlawanan terbuka kepada Ottoman. Atas saran Abdyl Frasheri, nasionalis Albania meminta agar otonomi tersebut tidak hanya berada di dalam satu vilayet (distrik). Ide ini juga menginginkan penyatuan vilayet lainnya, termasuk wilayah Kosovo, dengan alasan adanya kesamaan identitas agama. Namun impian untuk menyatukan Kosovo dibawah Albania tidak dapat terjadi karena di vilayet Kosovo, 25 persen dari penduduknya merupakan warga Serbia (Malcolm, 2008).

Gerakan ini pun melakukan serangkaian aksi seperti penyerangan tokoh-tokoh Ottoman, seperti saat melakukan serangan terhadap Mehmed Ali Pasha di tahun 1878 (Gawrych, 2006). Akibat peristiwa ini, Pemerintah Ottoman melakukan tindakan represi, dengan mengirimkan 10 ribu pasukan untuk menghadapi Liga Prizren. Abdyl Frasheri pun dituntut hukuman mati atas tindakannya, namun hanya mengalami penahanan hingga tahun 1885, dan kemudian diasingkan hingga kematiannya tujuh tahun kemudian (Skendi , 1967).

Di tahun 1912, Albania melakukan pemberontakan besar besaran atas kebijakan yang dilakukan oleh Young Turk. Pemberontakan ini dipimpin oleh Isa Boletini dan Ismail Qemali dengan Bantuan Kosovo. Pemberontakan yang sukses ini kemudian memicu terjadinya kemerdekaan Albania di tahun 1912, yang sekaligus menandakan terjadinya pelemahan kekuasaan Ottoman (Warrander & Knaus, 2007).

Peristiwa ini melambungkan nama Isa Boletini dan Ismail Qemali sebagai orang yang sangat berjasa dalam sejarah Albania. Namun di masa perang dunia pertama, Albania terpecah kembali menjadi beberapa bagian berdasarkan agama dan suku.

Perpecahan turut terjadi pada masa Perang Dunia Kedua. Pada masa awal Perang Dunia Kedua, Albania berada dibawah kekuasaan Italia dan Jerman. Sedangkan pada tahun 1944, Albania berada dibawah paham komunisme dengan Enver Hoxha sebaga pemimpinnya. Nasionalisme Albania di era ini mengabaikan Kosovo, dan justru malah bertransformasi dalam bentuk rasa kesetiaan terhadap Hoxha yang kemudian diikuti perubahan sistem pemerintahan Albania menjadi Stalinis (Fischer, 1999).

Dengan nasionalisme versi Hoxha, ide ultranasionalis justru hilang. Di sisi lain, Orang-orang Kosovo keturunan Albania pada dekade 1970 dan 1980-an melakukan protes atas ketidakadilan pemerinta pusat Yugoslavia kepada daerah Kosovo. Tahun 1981, Universitas Pristina menjadi pusat pergerakan yang dimotori oleh mahasiswa (Dragovic-Soso, 2002).

Tak hanya di Albania, nasionalisme Albania kini juga tumbuh subur di Kosovo. Banyak warga Kosovo yang beranggapan bahwa Kosovo saat ini hanyalah negara kedua. Kesetiaan mereka kepada Albania terasa lebih kuat dibandingkan kepada negara mereka sendiri. Dalam laporan yang dimuat Balkan Insight (2017), nasionalisme Albania di Kosovo ini tampak dari bagaimana mereka mereka menggunakan bendera Albania dengan bangga. Penganut nasionalisme Albania di Kosovo ini tak hanya soal kemerdekaan Albania, tetapi juga memiliki mimpi bahwa Kosovo suatu saat menjadi bagian dari Albania.

Sejak kemerdekaannya hingga saat ini, ide nasionalisme Albania kembali tumbuh subur di Kosovo. Hal ini ditunjukan dengan munculnya Vetevendosje sebagai partai terbesar di Kosovo, yang merupakan partai berideologi nasionalis Albania.

Pengibaran Bendera Albania di Pristina, Ibukota Kosovo. Sumber: Balkan Insight.

Diaspora Muda Albania yang Menyuburkan Kembali Ide Nasionalisme Albania

Saya meyakini sebagian besar pembaca akan sangat awam dengan Greater Albania. Rasanya tidak banyak bahan bacaan yang membahas mengenai hal ini dalam bahasa Indonesia. Bahkan mungkin hal ini baru menarik bagi mereka yang menonton pertandingan kualifikasi Piala Eropa 2016 yang mempertemukan Albania dengan Serbia di tahun 2014.

Sebagaimana pertandingan sepakbola yang mempunyai latar belakang sejarah, pertandingan tersebut terjadi dengan sangat keras dan dalam tensi tinggi. Hingga di menit 42, pertandingan dihentikan akibat serangan flare yang dilakukan oleh fans Serbia, yang kemudian dikejutkan oleh sebuah drone yang membawa bendera Greater Albania, beserta simbol dan wajah dua bapak pendiri Greater Albania. Melihat ini, pemain Serbia tidak tinggal diam. Mereka merebut dan membawa lari bendera tersebut. Namun, kejadian ini memicu keributan besar di lapangan yang menyebabkan pertandingan dihentikan dan wasit memberikan kemenangan 3-0 kepada Albania.

Pengibaran Bendera Greater Albania Pada Pertandingan Kualifikasi Piala Eropa 2016 Antara         Serbia melawan Albania. Foto: Balkan Insight.

Ketegangan ini nampaknya tidak selesai di antara Albania dengan Serbia saja. Diaspora Albania dan Kosovo yang masih menyimpan rasa nasionalisme Albania juga ikut menyebarkan paham ini, meskipun mereka tak lagi menjadi bagian dari Albania atau Kosovo.

Contohnya seperti apa yang terjadi di Piala Dunia 2018, ketika pertandingan antara Swiss berhadapan dengan Serbia. Xherdan Shaqiri dan Granit Xhaka, dua orang pemain Swiss keturunan Albania, melakukan gestur yang memprovokasi orang-orang Serbia ketika mencetak gol. Kedua pemain Swiss tersebut memprovokasi dengan selebrasi duart e kryqëzuara, atau membentuk elang dengan kedua tangan mereka yang menggambarkan simbol dua elang Albania. Aksi ini membuat mereka mendapat hukuman dari FIFA berupa denda 10 ribu Francs. Hal ini tentunya merugikan diri mereka, tetapi rasanya terdapat kepuasan setelah mampu menunjukan gestur dukungan terhadap tanah air mereka.

Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri dengan Gestur duart e kryqëzuara. Sumber: news.sky.com.

Diakui atau tidak, selepas Albania lepas dari komunisme dan banyaknya pengungsi dari Kosovo pindah ke Eropa Barat dan Amerika Serikat, hal ini telah melahirkan satu generasi muda keturunan Albania yang kita kenal sekarang. Jika di dunia olahraga terdapat Shaqiri dan Xhaka, di dunia hiburan terdapat nama-nama yang sering kita dengar seperti Rita Ora, Bebe Rexha, dan tentu saja Dua Lipa yang baru saja memancing kontroversi.

Generasi anak muda ini nyatanya masih lekat dengan narasi nasionalisme Albania yang dimiliki oleh orang tua mereka. Granit Xhaka memiliki seorang ayah mantan tahanan politik Yugoslavia; Rita Ora merupakan pengungsi dari Pristina karena terkena persekusi saat penggabungan Kosovo dengan Yugoslavia; dan Dua Lipa memiliki orang tua yang harus meninggalkan Pristina saat perang.

Hal ini menjadi alasan mereka menunjukan dukungan terhadap tanah air mereka dalam berbagai bentuk. Mulai dari kegiatan amal yang dilakukan saat terjadi gempa bumi di Albania, menuntut Apple agar memasukan Kosovo ke dalam peta digital, dan yang terakhir menunjukan dukungan kepada kelompok ultranasionalis Albania. Mereka tidak melupakan dari mana mereka berasal, dan sebaik-baiknya menggunakan popularitas yang mereka miliki untuk menunjukan dukungan mereka terhadap tanah airnya.

Mereka tentu sadar dengan risiko yang akan dihadapi, seperti kehilangan fans dan turunnya jumlah pekerjaan. Namun, ketika sudah berada di posisi atas dan memiliki kekuatan untuk menggerakan kesadaran orang banyak seperti mereka, menyebarkan ide-ide ini nampaknya adalah cara mereka menunjukan eksistensi, sekaligus mengaktualisasikan diri mereka.

Atau apakah ini hanya sekedar gimik? Mengingat menjual gimik identitas sangat mudah, karena se-absurd apapun, pasti ada yang beli kan?

(Ngomong – ngomong Dua Lipa tahun ini mengeluarkan Album Future Nostalgia di bulan Maret, dan merilis single baru di bulan juni 2020. Granit Xhaka juga menunjukkan performa yang biasa-biasa saja sejak dibeli oleh Arsenal di tahun 2016 hingga saat ini. Saya tidak mau berspekulasi soal gimik sih, cuman mau menunjukan fakta yang ada saja.)

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

Dragovic-Soso, J. (2002). Saviours of the Nation: Serbia’s Intellectual Opposition and the Revival of Nationalism. Montreal: McGill-Queen’s University Press.

Fischer, B. J. (1999). Albanian At War. London: Hurst & Company.

Gawrych, G. (2006). The Crescent and the Eagle: Ottoman Rule, Islam and the Albanians, 1874-1913. London: Bloomsbury Academic.

Kostov, C. (2010). Contested Ethnic Identity: The Case of Macedonian Immigrants in Toronto 1900–1996. Bern: Peter Lang.

Morina, D. (2018). Kosovars Remain Faithful to Old Albanian Flag. Balkan Insight. Balkan Insight.

Robert, E. (2005). Albanian Literature: A Short History. London: Tauris.

Skendi , S. (1967). The Albanian National Awakening. New Jersey: Princeton Univeristy.

Warrander, G., & Knaus, V. (2007). Kosovo : the Bradt travel guide. Chalfont St Peter: Bradt Guides.

Sumber Online

Malcolm,N. (2008,26 Februari). Is Kosovo Serbia? We ask a historian. https://www.theguardian.com/world/2008/feb/26/kosovo.serbia

Morina,D. (2017, 28 November). Kosovars Remain Faithful to Old Albanian Flag. https://balkaninsight.com/2017/11/28/albanian-national-holidays-put-shadow-on-kosovo-s-new-flag-11-27-2017/

Mohd Derial adalah alumni Manajemen Universitas Sumatera Utara. Dapat dihubungi melalui Twitter dan Instagram di @mderial

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *