Sekelompok orang yang merasa bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa adalah sebuah kesalahan. Foto: Anadolu Agency

Brexit menjadi salah satu momentum politik terpenting Inggris setidaknya dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Enam tahun berlalu, Brexit yang sarat akan dorongan sentimen nasionalisme–yang pada batas tertentu bahkan dibentuk oleh rasa superioritas atas kelompok lain–justru muncul sebagai bumerang. Inflasi dan berbagai masalah ekonomi cukup membuat Inggris babak belur hingga kini muncul wacana untuk kembali ke pangkuan Uni Eropa.

Bila ditelusuri sejarahnya, hubungan Uni Eropa (UE) dan Inggris bak anak dan ibu tiri. Keduanya kerap bertengkar meskipun pada kenyataannya keduanya saling membutuhkan. Kompleksitas hubungan keduanya pun meletus pada polling yang dilaksanakan 2016 lalu atau yang kita sama-sama kenal sebagai referendum Brexit. Terdapat 52% publik Inggris menyatakan dukungannya untuk segera berpisah dari UE. Setidaknya hingga tulisan ini dibuat, Inggris masih bukan anggota UE. Namun gagasan untuk kembali ke institusi tersebut kian meningkat.

Bregret 

Gagasan tersebut dikenal dengan fenomena Brexit Regret (Bregret) yang belakangan muncul di berbagai halaman utama media nasional terutama setelah beberapa lembaga penelitian melakukan survei mengenai respons penduduk Inggris baru-baru ini. British Polling Council misalnya, menyebut bahwa 57% warga Britania Raya setuju bahwa Brexit merupakan keputusan yang salah dan hal ini semakin menekankan kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah Inggris. Savanta, konsultan riset pasar Inggris juga melakukan polling terhadap Brexit. Hasil polling menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Inggris menginginkan adanya referendum agar Inggris kembali bergabung dengan UE dengan total persentase mencapai angka 65%.  

Mengapa demikian? Fenomena ini seolah mengaburkan fakta bahwa enam tahun lalu publik Inggris begitu bersikeras untuk segera meninggalkan UE. Namun, setelah misi tersebut berhasil, Banyak masyarakat yang memilih agar Inggris kembali bergabung dengan UE. Dalam survei yang dilakukan oleh YouGov, Lembaga konsultan analisis data berbasis internet internasional Inggris, menyatakan bahwa 56% dari masyarakat Inggris beranggapan bahwa referendum yang digelar di bawah Perdana Menteri David Cameron itu telah memperburuk ekonomi Inggris. Seiring berjalannya waktu, permasalahan di bidang ekonomi pada akhirnya kian bermunculan, satu aspek yang luput atau memang sengaja dilupakan enam tahun yang lalu. Politik identitas dan nasionalisme yang digembar-gemborkan–terutama oleh para politisi–kini tak lagi mampu membendung efek samping yang lama terkubur. Mimpi “Global Britain” yang selalu dilantangkan pada saat referendum nyatanya tak kunjung terwujud. Sebaliknya, Inggris kian terpuruk dalam konstelasi politik global.  

Brexit: Populisme Yang Membutakan Kebutuhan Ekonomi

Dalam sebuah perdebatan di House of Commons pada September 2018, Theresa May mengajukan proposal yang berisi larangan untuk memberikan izin bebas masuk bagi penduduk yang berasal dari negara-negara UE berlandaskan pada keyakinan bahwa mobilisasi bebas yang terjadi di perbatasan UE dan Britania Raya melanggar esensi utama dari hasil referendum Brexit.  Kembali pada apa yang terjadi di 2015, kegigihan kelompok politisi sayap kanan di Britania Raya untuk terus mengedepankan narasi anti imigran sangat sukses menjadikan isu ini menjadi suatu komoditas politik utama menuju dan setelah referendum Brexit. Padahal, kelompok pekerja migran memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi domestik Inggris.

Menurut data yang dihimpun oleh Migrant Advisory Committee (MAC), setiap migran yang datang dari Wilayah Ekonomi Eropa memberikan kontribusi total sekitar £78.000 selama masa hidupnya (menurut data di tahun 2017). Lalu, rata-rata migran dewasa dari EEA menghasilkan £2.370 atau sekitar $3.000 lebih banyak untuk daripada rata-rata orang dewasa kelahiran Inggris. 

Dari sekian banyak aspek yang muncul dalam perdebatan Brexit, isu migran dapat dikatakan menjadi pembahasan yang paling disorot. Namun demikian, para politisi konservatif bahkan buruh seolah tak punya alternatif lain untuk memberikan jawaban terhadap isu migran. Alih-alih, mereka terjebak pada retorika nasionalis dan populis–mengingat secara politis cara ini sangatlah seksi, terbukti hal ini langsung membuat popularitas United Kingdom Independence Party (UKIP) naik secara signifikan melalui narasi populis yang dibangun oleh Nigel Farage. Isu anti-imigran ini nantinya juga semakin populer di kalangan publik, terutama ketika isu ini dibalut dengan retorika nasionalisme dan euro-skeptisisme (skeptisme terhadap sistem dan integrasi Eropa melalui UE) yang berhasil membutakan mata publik Inggris akan fakta bahwa mereka membutuhkan sistem UE untuk menyokong proses ekonomi. 

Brexit Regret Sebagai Bentuk Kekecewaan Publik Atas Jatuhnya Ekonomi Inggris 

Bank of England memprediksi bahwa perekonomian Inggris akan masuk kedalam fase prolonged recession pada tahun 2023. Dikutip dari laman Office for National Statistic UK yang dirilis pada 18 Januari 2023, inflasi indeks harga konsumen termasuk biaya perumahan penghuni pemilik (CPIH) naik mencapai angka 9,2% dalam 12 bulan terhitung hingga Desember 2022. Kenaikan inflasi tahunan terbesar Desember 2022 berasal dari sektor perumahan, jasa rumah tangga, serta makanan dan minuman non-alkohol. Biaya kehidupan secara keseluruhan melonjak tinggi di Inggris termasuk listrik, bensin, solar, susu, dan tempat tinggal.

Hal tersebut merupakan berita buruk bagi masyarakat Inggris namun apa yang dapat mereka lakukan? Tidak ada yang mampu untuk menunjukkan kemarahan mereka dan tidak ada satupun yang dapat memastikan bahwa ekonomi negara akan segera membaik. Rakyat Inggris hanya bisa berharap kepada kebijakan-kebijakan pemerintah selanjutnya. Hal tersebut merupakan tantangan bagi PM Rishi Sunak untuk dapat menghasilkan kebijakan strategis yang dapat mengantarkan Inggris agar segera keluar dari resesi ekonomi. 

The Office of Budget Responsibility memberikan hasil survei bahwa Brexit akan mengurangi PDB Inggris secara langsung hingga sebesar 4% per tahun hingga 2030 dan Inggris akan kehilangan output ekonomi senilai £100 miliar. Brexit yang digadang-gadang dapat meningkatkan ekonomi Inggris dengan memungkinkannya Inggris untuk mencapai kesepakatan perdagangan di seluruh dunia dan terus melakukan ekspor ke pasar UE ternyata semakin membuat ekonomi Inggris semakin tertatih-tatih.

Brexit telah menciptakan hambatan perdagangan bagi berbagai proses bisnis meskipun Inggris merupakan basis penting perusahaan asing di Eropa. Hal ini tentu menjadi beban bagi ekspor impor, menurunkan nilai investasi, dan mengurangi jumlah tenaga kerja. Semua ini semakin memperburuk inflasi Inggris, merugikan pekerja dan komunitas bisnis. Inggris diperkirakan akan menjadi salah satu negara maju dengan ekonomi terburuk di tahun 2024. International Monetary Fund memperkirakan pertumbuhan GDP Inggris hanya mengalami pertumbuhan senilai 0.3%. Inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga akan terus membebani pengeluaran konsumen dan bisnis di Inggris. 

Meskipun tren Bregret semakin meluas, baik partai konservatif dan partai buruh tetap memilih enggan menyatakan sikap atas wacana bergabungnya kembali Inggris dengan UE seperti yang diinginkan oleh publik Inggris dalam beberapa survei yang telah dilakukan. Meskipun survei menunjukkan sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa Brexit telah meluluhlantakkan perekonomian Inggris selama beberapa tahun belakang, masih banyak tokoh pro-Brexit yang mengatakan bahwa terlalu dini untuk menilai dampak yang dihasilkan oleh Brexit.

Lord Moylan misalnya, mantan penasihat Boris Johnson mengatakan apa yang terjadi dalam perekonomian Inggris seharusnya bukan menjadi hal yang mengejutkan karena menurut mereka Brexit merupakan perubahan konstitusional dan itu telah tercapai sehingga mereka tidak harus tunduk dengan segala kebijakan yang dibuat oleh UE. Meskipun beberapa suara di kubu pemerintahan mengklaim Brexit adalah keputusan “final”, nyatanya berbagai kesepakatan lanjutan dengan UE terus dilakukan salah satunya yang baru-baru ini sedang diupayakan, yakni negosiasi penghapusan tarif barang yang masuk ke Irlandia Utara.

Penyesalan Selalu Datang di Akhir: Sebuah Kesimpulan

Enam tahun berlalu, apa yang telah dituai ketika Brexit akhirnya dengan sendirinya akan tumbuh lebat bagaikan sebuah pohon dan memasuki tahun 2023, publik Inggris akhirnya dapat melihat bahwa krisis ekonomi adalah buah yang muncul dari ranting-ranting lebat tersebut. Akan tetapi, tentu pemilik kebun yang baik seharusnya dapat menganalisis sedini mungkin berbagai kemungkinan yang dapat menyebabkan hasil panennya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penulis yakin bahwa perumpamaan ini cukup dapat menggambarkan secara sederhana bahwa keputusan untuk melakukan referendum Brexit tidak muncul di ruang hampa, melainkan diusahakan dan “dikelola” terutama oleh politisi sayap kanan. 

Kembali pada konteks Bregret, penulis lebih dari yakin bahwa para politisi sebagai “pemilik sekaligus pengelola kebun” memahami secara komprehensif dampak yang ditimbulkan oleh Brexit. Namun begitu, mereka memilih menutup mata dengan fakta dan data yang jika seandainya benar-benar dijadikan acuan berbagai masalah pada akhirnya bisa dihindari. Lantas, mengapa demikian? Penulis menawarkan dua argumen, yakni para politisi tenggelam dengan euforia nasionalisme dan harapan tinggi bahwa Inggris akan segera kembali pada masa kejayaannya secara instan dan yang kedua pragmatisme politik, tak bisa dipungkiri retorika populis sangatlah laku di “pasaran” dan efektif menggaet massa.

Para politisi bisa jadi menggunakan retorika populis tersebut secara pragmatis murni untuk menggaet dukungan dari akar rumput. Namun, terlepas apapun alasan “persis”-nya, satu hal yang patut digarisbawahi, yakni penyesalan sebagaimana arti harfiah dari “regret” dalam Breget. Untuk menyimpulkan, kini terdapat dua pilihan bagi Rishi Sunak, yakni memilih untuk belajar dari pengalaman tersebut atau kembali mengulangi kesalahan yang sama. Oleh karena itu, menarik untuk menunggu perkembangan selanjutnya dari Bregret.

Gibraltar Andibya Muhammad adalah mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Indonesia dan Rizqi Ayu Novitasari Untoro adalah mahasiswi Hubungan Internasional di UPN Veteran Jawa Timur. Penulis dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @gibraldiboy dan @rizqiaanovita

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *