Myanmar dalam Jeratan Otoritarianisme Konstitusional

0

Ilustrasi demonstrasi di Myanmar. Foto: Sai Aung Main/AFP

 “Democracy has died many times round the world”. Begitulah pernyataan pesimistis yang diungkapkan oleh Runciman (2018). Hal serupa pun dinyatakan oleh Sarah Repucci (2021) yang dengan tegas menyatakan, ‘The world’s dictators are defeating democracy’. Kedua pandangan pesimistis terhadap demokrasi ini bukanlah hal yang tanpa dasar di dalam konteks politik dunia hari ini. Demokrasi seakan-akan tengah dibajak oleh para pemimpin  anti-demokrasi yang kemudian menyulut terjadinya demonstrasi besar-besaran. Salah satunya adalah kudeta militer di Myanmar.

Sebelum terjadinya kudeta militer, terkhusus setelah menangnya Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada pemilu 2015, bandul demokrasi di Myanmar dalam beberapa tahun terakhir tengah merangkak maju ke arah yang lebih baik. Kudeta yang digencarkan oleh militer (Tatmadaw) dimulai pada 1 Februari 2021 bersamaan dengan dideklarasikannya kondisi darurat negara yang secara konstitusional mengizinkan militer untuk mengambil kendali atas negara dan berujung dengan penangkapan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Wyn Myint, dan para pejabat pemerintahan sah.

Semua hal yang berkenaan dengan kudeta militer yang terjadi hari ini tidak dapat dilepaskan dari Konstitusi 2008 sebagai warisan rezim junta militer. Dengan menyandarkan apa yang dikemukakan oleh Wheare (2003) tentang konstitusi, yakni konstitusi merupakan resultante situasi politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi pada saat konstitusi tersebut dibuat, maka tidaklah mengherankan jika Konstitusi 2008 menghasilkan terjadinya ‘concentration of power upon the military’. Pasalnya, Konstitusi 2008 membuat militer menjadi overpower dalam urusan politik. Sebelum membahas hal ini lebih jauh, permasalahan mendasarnya ialah keterlibatan militer dalam kancah politik yang secara konstitusional disahkan sebagaimana yang termaktub pada pasal 6 huruf F.

Keterlibatan berlebih Tatmadaw dalam Urusan Pemerintahan.

Bersamaan dengan hal itulah kemudian Tatmadaw mendapatkan ‘restu’ langsung dari konstitusi atas keterlibatannya dalam kancah politik. Otomatis, segala tindak tanduk militer yang berkenaan dengan politik dan pemerintahan pun menjadi sah secara konstitusi. Tidak berhenti sampai disitu, Konstitusi 2008 pun secara terkhusus juga membahas secara rinci jatah kursi dan kedudukan Tatmadaw dalam urusan politik dan pemerintahan.

Pertama, dalam lingkup kekuasaan legislatif, sebagaimana yang termaktub pada pasal 109-b dan 141-b Konstitusi 2008, sebanyak seperempat kursi di parlemen baik di Pyithu Hluttaw (DPR) maupun Amyotha Hluttaw (Dewan Nasional) merupakan jatah bagi anggota militer dengan mekanisme penunjukkan secara langsung oleh panglima tertinggi militer. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan utama mengapa Konstitusi 2008 sangatlah sulit untuk diamandemen. 

Konstitusi akan dapat diamandemen jika mendapatkan persetujuan lebih dari 75% anggota parlemen. Setahun lalu,  di bawah pimpinan NLD, amandemen Konstitusi 2008 pun digulirkan namun sesuai dengan prediksi, wacana ini pun mendapatkan penolakan  dari Tatmadaw. Gagalnya amandemen konstitusi ini tidak dapat dilepaskan dari komposisi di parlemen seperti yang disebutkan sebelumnya, yaitu 25% anggota parlemen merupakan anggota militer sehingga dalam hal ini, persyaratan untuk mengamandemen konstitusi pun tidak dapat terpenuhi.

Kedua, keterlibatan militer pun menjamah ke dalam kekuasaan eksekutif sesuai dengan pasal 232-b poin II dalam Konstitusi. Tiga kementerian penting yang meliputi, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Urusan Perbatasan merupakan ‘jatah konstitusional’ bagi anggota militer yang calon-calonnya pun diajukan oleh panglima tertinggi militer untuk kemudian selanjutnya dipilih oleh presiden. Ketiga kementerian ini jugalah yang selanjutnya akan menambah presensi kehadiran militer pada Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC) yang terdiri dari 11 orang anggota dan dalam konteks hari ini, 6 anggotanya berlatar belakang militer.

NDSC sendiri merupakan bagian daripada lembaga eksekutif yang memiliki kewenangan besar berkaitan dengan keputusan-keputusan strategis pemerintahan — terkhusus, ihwal pertahanan dan keamanan. NDSC ini juga berdiri sebagai dewan yang kemudian memegang kewenangan besar pula atas deklarasi keadaan darurat.

Junta Militer, Konstitusi, dan State of Emergency

Selain daripada cengkraman militer yang kuat terhadap lembaga-lembaga dalam pemerintahan, militer juga memiliki kewenangan yang sangat besar dalam hal keadaan darurat. Sejarah mencatatkan, terbentuknya junta militer di Myanmar selalu diawali dengan alasan klasik, yakni berlindung dibalik dalih mengembalikan stabilitas nasional yang kemudian berujung pada perpindahan kekuasaan dari pemerintahan sipil ke pemerintahan militer.

Hal ini pun tidak dapat dilepaskan dari apa yang terjadi di Myanmar hari ini. Atas dalih kecurangan pemilu dan mengembalikan stabilitas nasional, keadaan darurat pun dideklarasikan dan bersamaan dengan itu jugalah untuk kesekian kalinya, Tatmadaw berhasil menduduki kembali tampuk kepemimpinan. Dalam keadaan state of emergency, kekuasaan militer sangatlah besar.

Pertama, keadaan darurat akan dapat dideklarasikan setelah berkoordinasi dan mendapatkan persetujuan dari NDSC yang mayoritas anggotanya diisi oleh militer (Pasal 417).  Seperti yang disebutkan di atas, kini sebanyak 6 dari 11 anggota NDSC memiliki latar belakang militer. Adapun keenam anggota tersebut adalah Panglima Tertinggi Militer, Wakil Panglima Tertinggi Militer, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Wakil Presiden I, dan Menteri Urusan Perbatasan. 

Lebih dari itu, Pasal 412 huruf B menyebutkan jika anggota NDSC secara keseluruhan tidak dapat menghadiri pertemuan yang diadakan oleh presiden dalam keadaan darurat. Maka, presiden hanya perlu untuk berkoordinasi dengan anggota NDSC yang berlatar belakang militer kecuali Menteri Urusan Perbatasan.

 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa selain komposisi anggota NDSC yang mayoritasnya diisi oleh militer, kewenangan yang diberikan kepada anggota NDSC yang berlatar belakang militer pun lebih kuat daripada anggota NDSC yang berlatar belakang sipil. 

Kedua, setelah keadaan darurat dideklarasikan, maka selama setahun ke depan tampuk kepemimpinan yang meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara penuh berpindah ke tangan panglima tertinggi Tatmadaw hingga keadaan kembali normal (Pasal 418-a).

Dalam hal inilah, perpindahan kekuasaan yang awalnya berada di tangan pemerintahan sipil berpindah ke tangan pemerintahan militer. Sama halnya dengan yang terjadi di Myanmar saat ini, ketika keadaan darurat dideklarasikan, pada saat itu jugalah Aung San Suu Kyi tidak lagi menjadi pemimpin de facto Myanmar dan hasil pemilu November 2020 lalu dibatalkan.

Ketiga, dalam keadaan darurat, jika diperlukan, militer juga memiliki kewenangan untuk membatasi dan mencabut satu atau lebih hak dasar warga negara dalam lingkup yang dibutuhkan (Pasal 420). Pasal inilah yang kemudian dirasa menjadi ancaman yang serius bagi demokrasi. Meskipun secara konsep sudahlah pasti hak yang dapat ‘dikurangi’ ini merupakan hak yang bersifat derogable rights. 

Selain itu, yang paling berbahaya ialah ketika pasal ini menjadi legitimasi bagi kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat atas dasar menertibkan keadaan. Mengingat demonstrasi yang terjadi hari ini telah menelan setidaknya 50 korban jiwa, sudah sangat jelas bahwa hal ini merupakan pelanggaran HAM.

Dengan demikian, dari hal ini kita dapat melihat keterkaitan yang kuat antara junta militer dengan keadaan darurat. Dapat disimpulkan bahwa tidak jelasnya pengertian dan batasan dari ‘keadaan darurat’ inilah yang kemudian membuat Tatmadaw dengan mudahnya merebut kembali tampuk kepemimpinan dengan dalih keadaan darurat.

Urgensi Amandemen Konstitusi 2008 

Dapat disimpulkan bahwa keterlibatan militer dalam urusan politik di Myanmar sangatlah besar lalu ditambah pula dengan legitimasinya dari konstitusi sebagai supreme law of the land. Bahkan lebih dari itu, keterlibatan militer dalam hal ini tidak hanya berkenaan dengan hal yang sifatnya remeh temeh melainkan hal-hal yang bersifat strategis. Oleh karena itu, dalam konteks Myanmar, tidak berlebihan jika menyebut konstitusi merupakan alat legitimasi bagi militer untuk membangun dan melanggengkan rezimnya sendiri dan sekaligus menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi pada sisi lainnya. Lebih lanjut, Joe Kumbun (2021) dalam tulisannya menyatakan bahwa Konstitusi 2008 lah yang justru melanggengkan praktek otoritarianisme di Myanmar.

Dalam konteks kudeta hari ini, jika Tatmadaw menepati janji dengan melakukan pemilu secepatnya dan segera menyerahkan tampuk kekuasaan kepada partai pemenang pemilu, maka hasilnya akan sama saja. Sederhananya, selama Konstitusi 2008 belum diamandemen ataupun dibuatkan konstitusi baru, maka Myanmar hanya akan terjebak pada taraf pseudo democracy.

Selain itu, konstitusi dalam hal ini justru membawa Myanmar berderap mundur dari praktek demokrasi konstitusional dan konstitusionalisme yang pada tingkatan ekstremnya berujung kepada keadaan yang dikatakan oleh Dwi Harijanti (2016) sebagai keadaan, ‘constitution without constitutionalism’. 

Sejalan dengan apa yang dikatakan Kumbun, penulis memandang keterlibatan militer dapat dikatakan sudah menjamah pada hampir segala rumpun kekuasaan di Myanmar. Dengan demikian, satu-satunya cara bagi Myanmar untuk membangun demokrasi yang seutuhnya ialah dengan mengamandemen ataupun mengganti Konstitusi 2008.

Referensi

Harijanti, Susi D., & dkk. (2016). Interaksi Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri. Bandung: Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Kumbun, J. (2021, 18 Februari). Myanmar’s Fundamental Problem: the 2008 Constitution. Asia Times https://asiatimes.com/2021/02/myanmars-fundamental-problem-the-2008-constitution/

Repucci, S. (2021, 4 Maret). The World’s Dictators Are Defeating Democracy. The Bulwark https://thebulwark.com/the-worlds-dictators-are-defeating-democracy/

Runciman, D. (2018). How Democracy Ends. London: Profile Books.Wheare, K. (2003). Konstitusi-Konstitusi Modern. Surabaya: Eureka.

Muhammad Naufal merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @muhmmd.naufal

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *