Negaraisme, Bukan Sosialisme, di Kala Pandemi COVID-19

0

Ilustrasi negara memberi uang untuk rakyatnya. Foto: pixabay.com.

Semua pemerintah di dunia kini mengambil peran yang besar dalam menangani pandemi COVID-19. Hal ini tentunya tidak mengherankan, sebab hanya negara yang memiliki kapabilitas organisasional, aparatur, juga, sumber daya dalam menangani bencana non-alam secara nasional ini. Anehnya, beberapa pihak kemudian melakukan perayaan atas fenomena ini, terutama mereka yang beraliran kiri. Media-media beraliran kiri, mulai dari Jacobin di Amerika Serikat (AS) hingga Indoprogress di Indonesia, berlomba-lomba membuat artikel yang merayakan dominannya negara ini sebagai kemajuan bahkan perubahan besar menuju sosialisme.

Artikel berjudul Capitalism Causes Disasters, Socialism Can Solve Them dari Jacobin misalnya, berargumen bahwa satu-satunya cara bagi umat manusia untuk dapat menyelamatkan diri dari pandemi ini adalah, secara singkat, sosialisme internasional. Pemerintah harus mengambil alih industri-industri strategis, memberlakukan pajak tinggi bagi orang-orang kaya, serta membangun sebuah international health governance dalam waktu singkat untuk menenggulangi pandemi. Pemerintah juga harus membuang prinsip-prinsip neoliberal seperti hak-hak privat serta kesucian pasar bebas, sebab kapitalisme tidak befungsi di masa pandemi. Masyarakat kapitalis sangat tidak dipersiapkan untuk menghadapi sebuah pandemi.

Sementara itu, dalam artikel berjudul Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona dari Indoprogress, terdapat klaim yang lebih bombastis lagi, bahwa pandemi adalah kiamat bagi kapitalisme dan akan terjadi perubahan secara fundamental negara-negara menjadi sosialis. Terjadi kecenderungan ekonomi yang akan mematikan kapitalisme, yaitu de-industrialisasi, de-finansialisasi, diskoneksi fisik, dan pelokalan global. Pada akhirnya, mulai sekarang negara-negara akan menasionalisasi hampir semua sektor privat dan memberikan seluruh rakyatnya Universal Basic Income (UBI).

Apakah argumen-argumen tersebut mengindikasikan sosialisme sebagai solusi? Atau lebih jauh lagi, perubahan fundamental menuju sosialisme? Untuk menjawabnya, penulis rasa perlu pemahaman terlebih dahulu atas sufiks atau akhiran -isme. Sufiks -isme berarti suatu kepercayaan terhadap suatu paham, misal Buddhisme, nihilisme, dan Marxisme. Oleh karena itu, sosialisme adalah suatu kepercayaan terhadap paham kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi secara mikro dan keseluruhan ekonomi secara makro. Tentu saja sosialisme kemudian terus berkembang, sehingga bervariasi dalam penerapan, tetapi doktrin tersebut fundamental bagi sosialisme. 

Berangkat dari pengertian tersebut, penulis berargumen bahwa yang terjadi sekarang bukanlah perubahan fundamental menuju sosialisme, melainkan sebuah -isme lain, yaitu negaraisme, tanpa sesuatu yang fundamental yang benar-benar berubah. Argumen tersebut didasarkan pada fakta absennya suatu perubahan fundamental menuju sosialisme dan preseden bahwa tren yang terjadi sekarang hanyalah temporer.

Walaupun tren nasionalisasi dapat diinterpretasikan sebagai sosialisme, tetapi tren tersebut terjadi dalam skala yang berbeda-beda dan tidak mengandung sebuah perubahan fundamental menuju sosialisme. Negara-negara di Barat yang menyandang gelar neoliberal misalnya, kebanyakan telah memiliki universal healthcare, dengan pengecualian AS. Sebagian dari negara tersebut kemudian melakukan nasionalisasi, tetapi hanya secara terbatas. Spanyol misalnya, melakukan nasionalisasi terhadap seluruh rumah sakitnya, tetapi tidak terhadap sektor lain. Inggris hanya menasionalisasi sistem perkertaapiannya sebagian. Sementara Prancis siap menasionalisasi berbagai industri strategis nasionalnya, tetapi hanya sebagai perlindungan sementara agar tidak bangkrut, bukan nasionalisasi untuk kemudian dioperasikan secara kolektif dan permanen oleh negara. Terakhir, AS yang dipimpin oleh Trump, meski dibekali legalisasi yang memungkinkan nasionalisasi, tidak kunjung melakukan nasionalisasi apapun hingga kini dan justru memberikan berbagai stimulus untuk menyelamatkan perusahaan. 

Tren big governement yang mengeluarkan banyak sekali uangnya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dan menanggulangi COVID-19 juga tidak mengindikasikan perubahan fundamental, melainkan lebih didorong oleh kebutuhan yang mendesak. Terlebih lagi, banyaknya pengeluaran negara tersebut tidak kemudian ditambal dengan pengenaan pajak yang lebih tinggi pada orang-orang kaya, melainkan dengan hutang, menaikkan tarif layanan umum, atau alternatif pembiayaan lainnya. Tidak ada perubahan fundamental dalam sistem politik dan ekonomi nasional, kesadaran masyarakat secara luas, dan keinginan pengambil kebijakan untuk kemudian mengubah haluan negara menjadi sosialis.

Argumen-argumen pro-sosialis tersebut juga menjadi ahistoris karena menutup mata terhadap preseden dari kejadian-kejadian terdahulu. Mereka mengimajinasikan negara-negara kapitalis sebagai pemegang prinsip neoliberal yang tidak bisa ditawar-tawar dan akan hancur begitu menghadapi krisis. Padahal, kapitalisme memiliki sejarah panjang dalam menghadapi krisis, sehingga mampu bertahan hingga kini. Ketika dilanda krisis, negara-negara kapitalis rela menggadaikan prinsip neoliberalnya demi menyelamatkan perekonomian nasional. Pemerintah bahkan melakukan banyak intervensi dan mengerahkan semua sumber dayanya dalam bentuk government spending, stimulus, dan paket-paket kebijakan ekonomi lainnya yang sangat tidak neoliberal, tetapi dibutuhkan. Sebagian besar intervensi tersebut kemudian akan dihentikan ketika ekonomi kembali normal dan prinsip-prinsip neoliberal kembali diadopsi.

Tapi situasi kali ini kan pandemi, memang pernah kapitalisme menghadapi pandemi? Oh, tentu saja pernah, ambil saja contoh Spanish Flu dan SARS. Kapitalisme yang dibilang ‘mati’ di saat pandemi ternyata kembali bangkit setelah pandemi usai. Spanish Flu yang mencapai puncaknya pada kuartal keempat penghitungan PDB pada 1918 menyebabkan penjualan ritel negatif di AS negatif -2% dan -6% pada bulan September dan Desember. Tetapi di bulan Januari 1919, ketika wabah Spanish Flu telah mereda, penjualan ritel melonjak ke angka 8%. Fenomena ini disebut sebagai realokasi konsumsi dari satu kuartal ke kuartal lainnya. Semua uang dan modal yang sebelumnya tertahan kembali mengalir seusainya pandemi.

Fenomena lain berupa kembali normalnya pekerjaan dengan cepat juga terjadi di Hongkong semasa SARS pada 2003. Setelah mengalami kontraksi pada kuartal kedua 2003, PDB Hongkong meroket lebih dari dua kali lipat pada kuartal ketiga 2003. Kekuatan pasar dengan cepat kembali mendorong ekonomi, meski dengan asumsi tindakan pemerintah yang cepat, sehingga pandemi hanya berlangsung sekitar satu kuartal saja.

Tentu saja terdapat perbedaan antara wabah spanish flu dan SARS dengan pandemi COVID-19, tetapi selalu ada pelajaran yang bisa diambil.

Dibanding mengistilahkan perubahan yang terjadi sekarang sebagai sosialisme, penulis merasa bahwa istilah yang lebih tepat adalah negaraisme. Pandemi COVID-19 ini menjadi pukulan telak bagi globalisasi, sebab semua masalah terkait pandemi kini ditangani secara nasional, bukan global. Ini menjadi kesempatan bagi negara untuk kembali mengklaim ranah kebijakan (reclaim policy space), tidak hanya dalam ekonomi, tetapi dalam berbagai bidang. Negaraisme ini juga didukung oleh kepercayaan masyarakat terhadap negara yang tinggi, terutama negara yang telah bertindak secara tangkas dalam menangani pandemi. Namun setelah pandemi usai, tidak ada lagi alasan untuk meneruskan pengeluaran negara yang sedemikian besar, dan memang tidak dapat dipertahankan. Tentu saja akan ada bekas-bekas dominasi negara yang masih bertahan, tetapi hanya kekuatan pasarlah yang mampu kembali memacu perekonomian nasional.

Ikhlas Tawazun adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *