Neo-Malthusian dan Kebijakan Kependudukan di Global South

0

Ilustrasi Penduduk. Sumber: pixabay.com

Sudah lebih dari dua tahun sejak rilisnya film Avengers: Infinity War, yang merupakan serial ke-19 dari Marvel Cinematic Universe. Selain popularitasnya yang tinggi, juga muncul perdebatan terkait pemikiran tokoh di dalamnya, salah satunya terkait tokoh antagonis utama, yakni Thanos. Seperti yang banyak dari kita telah saksikan, Thanos menggunakan pola pikir Malthusian, yang diekspresikan secara jelas dalam perkataannya “This universe is finite, its resources finite. If life is left unchecked, life will cease to exist.” Tentu benar salahnya Thanos dapat diperdebatkan. Namun, sang penulis skenario memilih untuk menempatkan Thanos bersama pemikirannya di pihak yang salah, sebagai orang jahat yang kemudian kalah di akhir film.

Penokohan dalam film ini sejatinya merefleksikan pandangan yang telah cukup populer hingga kini, yakni kesalahan logika Malthusian terkait populasi. Malthus salah. Sebuah anggapan yang memiliki akar sejarah sejauh dua abad ke belakang.

Ketika Thomas Robert Malthus menulis An Essay on Principles of Population pada 1798, banyak orang menganggap Malthus terlalu pesimistis dan tidak memperhitungkan faktor teknologi. Argumen utama dari buku tersebut adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memberikan tekanan pada suplai makanan, sebab laju pertumbuhan penduduk bersifat eksponensial (sering disebut deret geometri atau deret kali), sementara laju pertumbuhan suplai makanan bersifat linear (deret aritmatika atau deret hitung). Akibatnya, terdapat sebuah batasan kemampuan alam untuk menopang kebutuhan manusia, yang sering diistilahkan sebagai limits to growth. Oleh karena itu, menurut Malthus sebagai seorang kristen yang taat, umat manusia perlu melakukan beberapa “kebijakan preventif” untuk mengontrol populasi, yakni abstinence (pantang melakukan seks) dan hanya menikah ketika sudah mapan. Jika manusia tidak melakukan hal demikian, maka akan ada “kebijakan positif” yang terjadi secara natural, yakni wabah perang dan kelaparan. Tidak lama kemudian, Revolusi Industri terjadi, populasi meledak, dan teori Malthus terpatahkan oleh perkembangan teknologi.

Dari kejadian tersebut, tampaknya sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Malthus salah. Perkembangan teknologi mampu memenuhi kebutuhan manusia. Apalagi dengan perkembangan teknologi sekarang, tampaknya populasi dapat berkembang tanpa diatur. Beberapa pihak bahkan beranggapan, kapasitas bumi sejatinya tidak terbatas, sehingga pertambahan populasi sebanyak apapun dapat ditolerir.

Berangkat dari premis tersebut, seharusnya tidak ada negara di dunia yang melakukan pembatasan terhadap pertumbuhan populasinya. Namun, kenyataan berkata lain. Tidak sedikit negara yang melakukan usaha-usaha untuk mengontrol pertumbuhan populasinya. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan? Kenapa kebijakan tersebut diambil? Apakah Malthus benar? Apakah Thanos tidak salah? #ThanosDidNothingWrong? 

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa population control atau kebijakan untuk mengontrol populasi termasuk ke dalam kebijakan yang populer di dunia. Banyak negara berkembang menerapkan kontrol populasi berkaitan dengan tingginya angka natalitas, yang kemudian memberikan tekanan, bukan hanya terhadap suplai makanan, tetapi juga tanah, air, hingga fasilitas publik. Sumber daya secara umum tertekan karena overpopulasi. Lebih jauh lagi, juga muncul kekhawatiran atas kerusakan lingkungan lebih lanjut. Hal tersebut dikarenakan usaha pemenuhan kebutuhan manusia yang memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan, di samping pertambahan manusia itu sendiri yang merusak lingkungan hingga batas tertentu. 

Population control berbeda dengan birth control. Birth control hanya merujuk pada praktik penggunaan kontrasepsi secara sukarela oleh perorangan, sehingga peran pemerintah paling jauh adalah menjamin ketersediaannya. Oleh karena itu, planned parenthood di Amerika yang dilakukan oleh swasta dan sukarela merupakan birth control. Sementara itu, population control adalah usaha yang disengaja oleh pemerintah untuk memanipulasi pertumbuhan populasi, seringkali untuk menguranginya, meski tidak menutup kemungkinan untuk menambahnya. Kebijakan seperti One Child Policy yang bersifat memaksa di Cina hingga program Keluarga Berencana yang persuasif dan masif di Indonesia, yang keduanya dilakukan pemerintah, termasuk ke dalam kategori ini.

Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dari pola pikir sedemikian adalah kebijakan Neo-Malthusian. Kebijakan tersebut menjadi “neo” karena didorong oleh kekhawatiran yang lebih luas dari sekedar suplai pangan, dan dengan cara yang lebih tersistematis dibanding yang diusulkan Malthus. Namun, inti argumennya tetap sama, bahwa terdapat limits to growth.

Kebijakan kontrol populasi ini terutama populer di negara-negara berkembang atau Global South. Tidak hanya di Cina dan Indonesia, kebijakan serupa juga dapat ditemukan di India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, dan Malaysia. Hal ini kontras dengan negara-negara maju atau Global North, yang sebagian besar, tidak memiliki kebijakan kontrol populasi yang bertujuan untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Amerika Serikat misalnya, dari Department of State, menyatakan posisinya yang jelas menolak kontrol populasi secara koersif dan mempromosikan kebebasan pasangan dan individu untuk menentukan dan bertanggung jawab terhadap kelahiran anaknya yang berdasar kepada International Conference on Population and Development (ICPD) pada tahun 1994.

Perbedaan tersebut tentu tidak muncul begitu saja, tetapi dikarenakan oleh perbedaan-perbedaan antara Global South dengan Global North. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat penulis ringkas ke dalam tiga poin berikut.

Pertama, faktor transisi demografis. Mengacu kepada teori transisi demografis, negara-negara maju yang sudah terindustrialisasi berada di fase keempat atau kelima dari transisi demografis. Artinya, pertumbuhan penduduk relatif stabil atau cenderung sedikit menurun. Keadaan tersebut tentu tidak memunculkan kebijakan kontrol populasi yang bersifat mengurangi pertumbuhan, terkadang justru kebijakan menambah penduduk yang muncul. Sementara itu, negara-negara berkembang yang belum terindustrialisasi berada di fase kedua atau ketiga dari transisi demografis. Artinya, pertumbuhan penduduk cenderung bertambah atau bahkan bertambah drastis. Sementara belum jelas bagaimana cara untuk beralih ke tahap selanjutnya dari transisi demografis, maka kebijakan kontrol populasi menjadi pilihan yang rasional.

Kedua, kesuburan irasional (irrational fertility). Pertumbuhan populasi adalah hal yang kompleks, dengan motivasi yang beragam mulai dari faktor ekonomi, sosial, hingga kultural. Faktor-faktor ini dikombinasikan dengan mispersepsi yang berkembang di masyarakat kemudian menghasilkan kesuburan irasional. Misal, tindakan memiliki banyak anak yang didorong oleh motivasi untuk memberikan penghasilan tambahan dan perawat di hari tua banyak diamini oleh mereka yang tergolong miskin. Padahal, memiliki jumlah anak yang banyak, tanpa diiringi peningkatan kualitas hidup, tidak akan berimbas pada peningkatan pendapatan, yang pada akhirnya menjadi kontradiktif dan membuktikan terjadinya kesuburan irasional. Tidak hanya motivasi ekonomi, masih terdapat bentuk irasionalitas lainnya seperti anggapan “banyak anak banyak rezeki” dan faktor sosio-kultural lainnya yang juga berpengaruh terhadap dinamika populasi. 

Ketiga, disparitas perkembangan teknologi dan pemerintahan. Perkembangan teknologi adalah faktor utama yang menentukan produksi beras dan sumber daya lainnya secara lebih efektif. Namun tentu saja, perkembangan teknologi itu tidak sama dan negara maju memiliki keunggulan. Akibatnya, output sumber daya yang dihasilkan tidak dapat mengikuti laju pertumbuhan penduduk. Argumen Malthus pada awalnya hanya dipatahkan oleh perkembangan teknologi, tetapi di sini penulis menambahkan faktor pemerintahan atau governance karena penulis berpendapat bahwa faktor tersebut juga berpengaruh. Hal ini disebabkan oleh pemerintahan yang tidak efektif juga merupakan halangan bagi dihasilkannya sumber daya yang cukup. Hal-hal seperti korupsi, politik uang, dan state capture menyebabkan antara lain pemerintahan yang tidak efektif dan tidak dapat memenuhi kebutuhan rakyat yang terus berlipat ganda.

Ketiga faktor yang eksis di banyak negara berkembang tersebut kemudian menjadi rationale bagi penerapan kebijakan-kebijakan neo-malthusian yang hendak mengontrol laju pertumbuhan populasi. Asumsi-asumsi yang digunakan di negara Global North ternyata perlu didalami lebih lanjut untuk mengetahui apa yang sama dan tidak dengan negara Global South. Tekanan populasi terhadap sumber daya, juga ancamannya terhadap lingkungan, menjadi dorongan utama bagi para advokat neo-malthusian untuk menerapkan kontrol populasi dengan berbagai variasinya demi menjaga kualitas hidup masyarakat.

Akhir kata, Malthus mungkin benar, Thanos mungkin tidak salah. Namun, populasi yang terus tumbuh adalah kenyataan yang masih menjadi tren global hingga saat ini yang perlu disikapi dengan bijak. Pun limits to growth patut direfleksikan untuk mengukur daya dukung bumi dan mencegah bencana-bencana yang mungkin terjadi.

Ikhlas Tawazun merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *