‘Not in My Back Yard’ dan Pembangunan Pembangkit Listrik

0

Foto: Newsday via Getty Images

Pemerintah Indonesia semakin menggencarkan pembangunan pembangkit listrik baru untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional yang terus meningkat dan di saat bersamaan belum sepenuhnya terpenuhi dari tahun ke tahun. Hanya saja, tulisan ini bukan ingin membahas bagaimana Indonesia baru menargetkan 23% saja dari total energi listriknya yang akan bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) per 2027. Tulisan ini juga bukan ingin membicarakan bagaimana banyak diskursus mengenai energi apa saja yang harus dibahas dalam RUU EBT (padahal judulnya saja sudah jelas, RUU EBT, ya harusnya bahasannya tentang EBT saja). Tulisan ini akan membahas mengenai bagaimana masyarakat Indonesia akan bereaksi terhadap pembangunan pembangkit listrik di lingkungan mereka tinggal.

Penulis mengangkat reaksi masyarakat sebagai tema tulisan kali ini karena pada akhirnya, masyarakatlah yang akan menjadi pihak paling terdampak dari keberadaan suatu pembangkit listrik, baik EBT maupun tidak, apalagi yang ada di wilayah tempat mereka tinggal. Prospek yang dicanangkan pemerintah untuk membangun lebih banyak lagi pembangkit listrik kedepannya tentu saja akan menimbulkan reaksi tersendiri. Salah satunya adalah munculnya sindrom NIMBY (Not in My Backyard) di masyarakat apabila sudah membicarakan mengenai pembangunan pembangkit listrik (terutama yang dianggap mengurangi kualitas hidup atau membahayakan kehidupan penduduk di sekitarnya) di sekitar tempat tinggal mereka, walaupun sebetulnya masyarakat mendukung ketersediaan lebih banyak listrik.

Apabila terjadi penolakan berbasis ketakutan atau kekhawatiran masyarakat terhadap suatu proyek di wilayah tempat tinggal mereka, maka tentunya hal ini dapat membahayakan keberlangsungan proyek tersebut. Pemilik proyek tentu saja tidak menginginkan hal tersebut dan bahkan seharusnya NIMBY tidak terbentuk apabila sudah dilakukan langkah-langkah mitigasi dari pihak yang mencanangkan proyek tersebut. Penulis akan membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut pada paragraf-paragraf berikutnya. Namun sebetulnya, opini utama dari tulisan ini nantinya akan menekankan tentang misinformasi di era digital sehingga penting bagi pemerintah untuk memiliki komunikasi publik yang transparan serta pentingnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan energi. Namun sebelum mengelaborasi kedua opini utama, ada baiknya penulis membahas mengenai NIMBY terlebih dahulu.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, NIMBY yang merupakan suatu akronim yang bermakna “Bukan di Halaman Belakangku” merupakan suatu fenomena paradoks sosial mengenai keengganan masyarakat terhadap suatu pembangunan atau perubahan apabila hal tersebut dilakukan di sekitar lingkungan tinggal mereka. Fenomena ini sering muncul pada proyek-proyek seperti pembangunan pemakaman, jalan tol, tempat pembuangan sampah, pembangkit listrik ataupun infrastruktur listrik lainnya (menara SUTET misalnya) serta berbagai proyek lainnya. Masyarakat di area tersebut mendukung ide-ide yang mendasari rencana pembangunan yang dicanangkan, seperti ketersediaan lebih banyak pemakaman, pembuangan sampah yang lebih teratur, aksesibilitas yang lebih baik, dan sebagainya.

Hanya saja, saat pemakaman tersebut direncanakan untuk dibangun di wilayah mereka, penolakan muncul dengan alasan kualitas air tanah yang akan menurun, bau anyir, keramaian yang akan muncul di waktu tertentu karena menjadi momen ziarah, dan berbagai alasan lainnya. Atau bagaimana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di sekitar tempat tinggal penduduk (atau bahkan di suatu kota), menyebabkan penduduk khawatir akan munculnya radiasi yang berdampak pada air, udara dan tanah lokal, kerentanan fasilitas nuklir yang dapat menyebabkan kecelakaan seperti kebocoran (dan bahkan ledakan) yang mematikan, serta kekhawatiran-kekhawatiran lainnya.

Banyak dari kekhawatiran tersebut valid atau didukung oleh contoh-contoh nyata. Pembangunan pemakaman diketahui sering memunculkan dampak-dampak yang penulis ungkit sebelumnya, selain juga menurunkan harga tanah sekitar. Pembangunan PLTN juga sejak dahulu sudah dibayang-bayangi oleh kebocoran ataupun kecelakaan, yang termanifestasi di Chernobyl serta Fukushima. Tapi, bila dipikirkan lebih mendalam, Chernobyl dan Fukushima hanyalah 2 dari sekian banyak PLTN yang ada di dunia yang sudah beroperasi selama beberapa dekade. Mayoritas PLTN di dunia masih berfungsi dengan baik dan minim insiden yang skalanya sampai memunculkan bahaya bagi penduduk di suatu wilayah. Jadi, risiko memang ada tapi tidak sebesar apa yang dibayangkan.

Hanya saja, terkadang pernyataan bahwa selalu ada risiko di setiap hal namun risiko yang ini minim serta pernyataan sejenis tidaklah cukup untuk menyelesaikan penolakan yang ada di masyarakat. Apabila ditarik konteksnya ke Indonesia, ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam membangun dan mengelola suatu hal sekompleks PLTN dijadikan salah satu “motor” argumen atas penolakan pembangunan PLTN di suatu wilayah oleh masyarakat sekitar. Bila sudah seperti itu, satu-satunya cara untuk meyakinkan masyarakat sekitar adalah dengan menjamin keamanan dari PLTN, dengan menggaet pihak-pihak yang sudah berpengalaman dalam pembangunan dan pengoperasian PLTN ke dalam proyek PLTN nasional. Atau, bila memang disepakati, relokasi (entah proyeknya yang direlokasi atau warganya yang direlokasi) menjadi pilihan yang terbaik, walaupun tentu saja ini menjadi manifestasi dari NIMBY itu sendiri, karena pembangunan akhirnya tidak berjalan di lingkungan sekitar masyarakat tersebut.

Selain itu, adanya misinformasi/disinformasi yang tinggi serta rendahnya literasi digital warga Indonesia di era modern ini juga dapat menghasilkan reaksi NIMBY dari masyarakat yang berlebihan pada suatu proyek yang mungkin sudah direncanakan dengan baik dan bahkan sudah terjamin keamanannya. Seruan-seruan penolakan di media sosial dan media komunikasi pribadi masyarakat terhadap suatu proyek, penyebaran informasi yang salah serta argumen-argumen yang tidak berbasis apa-apa selain ketakutan berlebih marak bermunculan dan hal ini bisa menjadi katalis penolakan warga, terutama yang belum tersosialisasi dengan baik.

Itulah mengapa komunikasi yang baik menjadi kunci disini karena pengambilan keputusan sepihak tidak akan memberikan hasil yang baik dan warga berhak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang vital. Bukanlah cara yang baik untuk menghadapi warga yang sudah antipati dengan ide pembangunan pemerintah atau termakan hoaks dengan pemberian janji-janji seperti keterlibatan warga dalam konstruksi atau sebagai pegawai di PLTN, pemberian beasiswa kepada generasi muda sebagai ganti persetujuan warga terhadap proyek itu ataupun tawaran-tawaran deceptive yang tidak menjawab kekhawatiran warga dan hanya terkesan bersifat sebagai pengalihan. Karena pada akhirnya, warga juga tidak perlu diberi tahu bahwa listrik akan dihasilkan dari PLTN tersebut (atau PLT apapun dalam konteks lain). Hanya saja, warga ingin tahu, apakah ketersediaan listrik itu datang dengan ancaman terhadap keamanan dan kualitas hidup mereka. Warga juga ingin tahu apakah listrik yang dihasilkan oleh pembangkit yang terdengar berisiko tinggi ini bukan digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain yang menguntungkan pihak yang menunggangi kebutuhan listrik masyarakat.

Pada akhirnya, penolakan warga dapat dihindari apabila pihak yang mencanangkan pembangunan (pemerintah terutama) melibatkan warga dalam dialog dan bahkan meminta persetujuan warga terlebih dahulu sebelum mengeluarkan izin pembangunan. Harus ada transparansi dan akutanbilitas juga dari pihak pemerintah dalam dialog dengan warga mengenai rencana pembangunan pembangkit listrik, seperti ditujukannya untuk siapa atau wilayah mana saja, keuntungan apa saja yang akan didapat warga, apakah memang warga sekitar masih kekurangan akses listrik, apakah lokasi pembangunan tidak bersinggungan dengan areal mata pencaharian penduduk, kompensasi seperti apa yang ditawarkan, dan masih banyak lagi. Hal-hal ini harus dibicarakan dengan posisi warga dianggap sebagai mitra bicara yang setara dan tidak dipaksakan untuk menerima segala perubahan yang disodorkan.

Prospek lainnya yang dapat ditawarkan apabila pembangunan pembangkit listrik yang ditawarkan masih ditolak adalah penggantian jenis energi yang menenagai pembangkit listrik apabila memungkinkan. Mengingat biaya yang tinggi untuk pembangunan serta perawatannya, mengapa harus bersikeras dengan nuklir, misalnya? Apakah karena memang nuklir seefisien itu dibandingkan sumber energi lainnya? Atau karena nuklir terdengar bergengsi? Lalu, siapa yang paling mendapat gengsi ataupun untung dari keberadaan PLTN? Kalau bukan masyarakat, memang sudah seharusnya berganti saja sumber energinya, toh sumber energi yang baru terbarukan berlimpah di negeri ini. Potensi panas bumi serta surya Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Air, gelombang laut serta angin juga memiliki potensi yang cukup besar, jadi mengapa tidak memprioritaskan pembangunan PLT berbasis EBT tersebut? Apalagi bila melihat bahwa masyarakat tidak sesensitif itu apabila mendengar ide pembangunan PLT berbasis EBT di wilayah tinggal mereka apabila dibandingkan mendengar rencana pembangunan pembangkit listrik yang ditenagai batu bara, diesel, ataupun nuklir.

Reaksi NIMBY tidak terlalu muncul pada PLT berbasis EBT karena memang dampak terhadap lingkungan hidupnya lebih kecil. Warga tidak “takut” pada PLTA atau PLTB seperti mereka “takut” pada PLTN atau kesal dengan polusi dari PLT berbahan bakar batu bara. Warga biasanya akan menolak suatu PLTA atau PLTB saat proyek tersebut dianggap tidak efisien, berpotensi merusak tanah adat atau bukan digunakan untuk kepentingan warga, bukan karena PLT-nya ataupun operasinya (walaupun pembangkit listrik bertenaga EBT sekalipun tetap bisa saja direncanakan dengan kurang matang sehingga mengancam lingkungan hidup).

Jadi, bisa dilihat bahwa untuk pembangunan proyek pembangkit listrik kedepannya untuk mengurangi reaksi NIMBY di masyarakat, pemilihan sumber energi yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan hidup masyarakat dapat menjadi opsi yang lebih diprioritaskan atau direncanakan dibandingkan bersikeras pada pembangunan pembangkit listrik yang dihasilkan dengan mengorbankan kelestarian lingkungan dan membahayakan hajat hidup orang banyak. Atau sekalian saja membangun di area yang jauh dari pemukiman penduduk namun di saat bersamaan juga harus tetap dipastikan bahwa pengoperasiannya harus berdampak seminimal mungkin pada kelestarian alam sekitar lokasi pembangunan.

Akhirnya, sebagai rangkuman sekaligus kesimpulan, dapat dilihat bahwa NIMBY menjadi reaksi yang lumrah di masyarakat saat dihadapkan pada suatu proyek yang dapat mengubah tatanan kehidupan mereka. Komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat menjadi penting untuk meluruskan kesalahpahaman serta misinformasi yang beredar, mendengarkan keluhan sekaligus menemukan konsensus yang dapat disepakati bersama. Hal ini dapat tercapai apabila pihak-pihak yang terlibat menghormati satu sama lain dan tidak bersikap seakan lebih tahu atau lebih mengerti dari pihak lainnya, serta adanya pelibatan masyarakat yang holistik bahkan dari sebelum pembangunan pembangkit listrik tersebut diberi lampu hijau. Sosialisasi yang mudah dimengerti, tidak agresif ataupun manipulatif serta melibatkan bukan hanya perwakilan elemen warga saja melainkan keseluruhannya menjadi penting agar seluruh lapisan masyarakat merasa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, mengingat toh itu wilayah tempat mereka tinggal. Bahkan, bila mampu, masyarakat sekitarlah yang meyakinkan bagian masyarakat yang masih ragu atau menolak ide pembangunan yang dicanangkan, tentunya tanpa adanya “permainan belakang layar” dan warga yang mendukung ide tersebut memang benar-benar mendukung ide pembangunan tersebut karena melihat keuntungan yang akan dihasilkan dari proyek tersebut, bukan karena diselipkan amplop berisi lembaran rupiah serta sepucuk script yang harus dihafal.

Muhammad Ichsan Nurzaman adalah anggota Tim Riset dan Diskusi Adidaya Initiative. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @ichsannrzmn

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *