Olimpiade 2022: Upaya Re-Branding Tiongkok?

0

Ilustrasi logo Olimpiade 2022 Beijing. Foto: Getty Images

Pada Juli 2015, Beijing terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade musim dingin pada tahun 2022 mendatang. Sebelumnya, Beijing juga sukses menjadi tuan rumah Olimpiade musim panas pada 2008. Ini menjadikan Beijing sebagai kota pertama yang menjadi tuan rumah penyelenggara Olimpiade musim panas dan musim dingin. Selain di Beijing, ada beberapa lokasi lainnya yaitu di Yanqing dan Zhangjiakou, untuk menyokong beberapa cabang olahraga yang akan diselenggarakan pada gelaran olahraga tersebut.

Proses bidding Beijing dalam menjadi tuan rumah Olimpiade 2022 dapat dikatakan tidak terlalu sulit, mengingat banyaknya calon tuan rumah seperti Kiev, Krakow, dan Stockholm yang menarik diri akibat rendahnya dukungan politik dari publik dan finansial. Selain itu, Oslo juga mengundurkan diri karena tingginya biaya yang diperlukan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Hal ini menjadikan Beijing hanya bersaing dengan Almaty, ibu kota Kazakhstan. 

Nation Branding dan Mega Sporting Events

Menurut Fan (2010), nation branding merupakan proses yang mana sebuah negara mengelola citra mereka untuk meningkatkan reputasi negara dengan targetnya yaitu audiensi internasional. Ada beberapa alasan mengapa negara melakukan nation branding, salah satunya yaitu tujuan ekonomi. Dengan nation branding, suatu negara seringkali bertujuan untuk menarik turis, menarik investasi, dan juga mendorong ekspor (Dinnie, 2008). Lebih jauh lagi, dengan nation branding, suatu negara bisa meningkatkan stabilitas mata uang, memperbaiki kredibilitas serta kepercayaan investor, dan juga meningkatkan pengaruh dalam politik internasional. 

Pada masa sekarang, hard power pamornya telah dikalahkan oleh soft power, yaitu dengan mobilisasi identitas serta budaya, dan merupakan hal yang penting dalam mengembangkan daya saing untuk mengamankan kepentingan ekonomi serta politik suatu negara (Browning & Oliveira, 2017). Oleh karena itu, nation branding cukup esensial dalam hal ini. Sebab, kurangnya nation branding merupakan salah satu ciri bahwa seorang pemimpin negara tidak memperhatikan reputasi negaranya (Ham, 2008). 

Menurut Simon Anholt (2003) suatu negara perlu menentukan tindakan strategis yang kompetitif dan menarik, serta harus memastikan bahwa tindakan ini didukung, diperkuat, serta diperkaya dengan tindakan komunikasi dengan dunia luar. Proses komunikasi dengan dunia luar ini merupakan salah satu aspek utama dalam proses nation branding karena percuma saja jika suatu negara tidak mengomunikasikan berbagai branding mereka terhadap dunia luar. Oleh karena itu, banyak negara yang menggunakan gelaran olahraga besar sebagai salah satu alat komunikasi tersebut.

Berkowitz et al. (2007) dengan jelas menyebutkan bahwa gelaran olahraga internasional merupakan kesempatan branding yang sangat baik untuk sebuah negara. Hal ini karena penyelenggaraan gelaran seperti itu nyatanya dapat meningkatkan visibilitas internasional (Cornelissen, 2007). Selain itu, gelaran olahraga besar juga merupakan kesempatan suatu negara untuk melakukan re-branding karena diliput oleh berbagai media dan juga penonton sehingga meningkatkan exposure suatu negara. (Anholt, Competitive Identity, 2007).

Pandemi COVID-19 dan Isu HAM di Daratan Tiongkok

Untuk menjadikan proses nation branding tersebut berhasil, sektor publik atau negara dengan sektor sipil harus sinergis (Harkinson, 2010). Tiongkok memiliki keuntungan dalam hal ini. Sebagai negara dengan sistem politik yang terpimpin, bisa dibilang Tiongkok dapat dengan mudah melakukan upaya untuk menciptakan sinergitas antara kebijakan pemerintah dengan rakyat sipil. Hal ini bisa dilihat dengan proses bidding tuan rumah Olimpiade 2022. Banyak calon kota penyelenggara yang mengundurkan diri karena adanya tantangan dari rakyat sipil, baik dari segi politik ataupun ekonomi. Namun, dua calon yang tersisa, yaitu Beijing (Tiongkok) dan Almaty (Kazakhstan) merupakan negara yang dipimpin oleh pemerintahan represif. Kazakhstan dipimpin oleh Nursultan Nazarbayev, yang telah memimpin bahkan sejak Kazakhstan masih menjadi bagian Uni Soviet pada 1989.

Ada beberapa isu yang bisa dijadikan landasan bagi pelaksanaan Olimpiade 2022 sebagai upaya nation branding Tiongkok, yaitu pandemi COVID-19 dan juga kebijakan represif di beberapa tempat di Tiongkok. Sejauh yang kita ketahui, China merupakan tempat awal mula pandemi COVID-19, yaitu di Wuhan, Provinsi Hubei. Sejak saat itu juga, banyak pandangan terhadap Tiongkok menjadi negatif (Mackinnon, Palder, & Lynch, 2020). Salah satu dampak menurunnya citra Tiongkok ini yaitu terhadap hubungan dagang antara Tiongkok dengan Australia, yang mana pada sebelumnya Australia memandang Tiongkok sebagai salah satu pasar utama bagi ekspor sumber daya alam Australia.

Begitu juga dengan beberapa negara di Eropa Barat. Inggris misalnya, mengidentifikasi diri mereka sebagai mitra dagang Tiongkok terbaik di Barat, menunjukkan naiknya opini negatif tentang Tiongkok yang asalnya 55% hingga 74% (Mackinnon, Palder, & Lynch, 2020). Sementara itu, Belanda mengambil posisi yang berbeda. Sebagai salah satu negara yang melakukan perdagangan dengan Tiongkok secara terbuka, kini mereka melakukan tindakan defensif untuk melindungi industri teknologi domestik Belanda. Bahkan beberapa bulan kebelakang, terdapat tindakan hate crime yang menyasar warga Asian American di Amerika Serikat. Hal ini tidak terlepas dari pernyataan Donald Trump tentang Chinese Virus.

Selain masalah pandemi, Tiongkok juga sedang digandrungi oleh masalah hak asasi manusia di beberapa tempat di Tiongkok, beberapa di antaranya yaitu Hong Kong, Tibet, dan Xinjiang. Terlepas dari permasalahan di Hong Kong dan Xinjiang, penulis akan memfokuskan pada menurunnya reputasi Tiongkok di panggung internasional yang disebabkan isu HAM. Negara-negara Barat, sebagai pemeluk nilai-nilai liberal dan demokrasi, tentunya sangat vokal terkait tindakan anti-demokratik Tiongkok. Pada pertemuan UNHCR tahun 2019, Duta Besar Jerman Christoph Heusgen atas nama 39 negara lainnya menyatakan bahwa Tiongkok harus menghormati HAM, khususnya hak individu yang termasuk dalam agama dan etnis minoritas, terutama di Xinjiang dan Tibet. Adapun 39 negara yang mendukung pernyataan tersebut mayoritas merupakan negara demokrasi Barat, seperti Australia, Inggris, AS, Kanada, dan Perancis. 

Lebih jauh lagi, Parlemen Kanada meresmikan bahwa tindakan pemerintah Tiongkok di Uyghur merupakan genosida. Mosi tersebut lolos setelah disetujui oleh 266 anggota parlemen, atau seluruh anggota parlemen Kanada. Sebelumnya, AS lewat Anthony Blinken dan sebelumnya lewat Mike Pompeo juga telah melakukan hal yang sama, menyebut bahwa tindakan Tiongkok di Uyghur merupakan tindakan genosida. Sementara itu, Australia dan Selandia Baru juga pernyataan tentang kekhawatiran mereka terkait pelanggaran HAM di Xinjiang. 

Pada Desember 2020, Uni Eropa mengeluarkan resolusi terkait situasi di Xinjiang, yang intinya mengutuk kebijakan Tiongkok dan juga mempertanyakan perjanjian investasi antara UE dan Tiongkok harus mempertimbangkan kesejahteraan pekerja (EP, European Parliament resolution of 17 December 2020 on forced labour and the situation of the Uyghurs in the Xinjiang Uyghur Autonomous Region (2020/2913(RSP)), 2020). Pada 2021 juga, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi tentang situasi di Hong Kong yang isinya berupa desakan dan ajakan kepada berbagai negara dan organisasi internasional untuk melakukan pembicaraan dengan China (EP, 2021). 

Tindakan negara-negara di atas tentu memengaruhi reputasi atau brand Tiongkok secara internasional. Tindakan negara Barat juga lebih jauh mengancam keberlangsungan Olimpiade 2022. Australia mempertimbangkan kemungkinan untuk memboikot acara olahraga empat tahunan tersebut. Pemerintahan Joe Biden juga dikabarkan memikirkan upaya untuk memboikot Olimpiade 2022. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price menyatakan bahwa ada keinginan untuk membahas tindakan pemboikotan bersama. Bahkan House of Commons Kanada pada Februari 2021 mengeluarkan mosi yang menyerukan International Olympic Committee (IOC) untuk memindahkan tempat penyelenggaraan Olimpiade 2022 dari Tiongkok. Hal ini merupakan bencana bagi Tiongkok, yang juga telah mengeluarkan biaya USD 3,9 miliar untuk persiapan Olimpiade ini.

Lebih jauh, isu pemboikotan ini meningkatkan kesadaran masyarakat internasional terkait masalah HAM di Tiongkok. Olimpiade, yang isinya berbagai macam olahraga, tentu memiliki banyak penonton yang juga mengkonsumsi berita-berita olahraga dalam kesehariannya. Berita pemboikotan semacam ini tentunya juga akan menurunkan persepsi masyarakat internasional terhadap citra Tiongkok, sebagai negara yang tidak mengindahkan hak asasi manusia.

Olimpiade 2022 sebagai Nation Re-Branding

Pada Olimpiade 2008 di Beijing, terkenal sebagai the People’s Olympics, the High-Tech Olympics dan Green Olympics (Berkowitz et al., 2007). Namun kali ini citra Tiongkok di mata dunia bisa dibilang sedang dirusak baik karena pandemi COVID-19 dan juga isu HAM di Xinjiang, Tibet, dan Hong Kong. Olimpiade 2022 merupakan salah satu kesempatan bagi Tiongkok untuk melakukan re-branding citranya. Sebagai tempat munculnya coronavirus pertama kali, kini rakyat Tiongkok menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa, meskipun masih menggunakan masker sebagai tindakan preventif. Data WHO menunjukkan sejak Maret 2020, kasus COVID-19 terkonfirmasi di Tiongkok terbilang sangat rendah yaitu kisaran antara 500-1000 orang per minggunya, dibandingkan dengan ASmencapai angka 1 juta lebih per minggunya pada bulan Januari 2021.

Tentu saja, banyak yang meragukan data ini, mengingat Tiongkok merupakan negara dengan pemerintahan terpimpin. Namun, Woodward (2020) menyatakan ada beberapa alasan kenapa data yang dikeluarkan Tiongkok bisa dipercaya. Salah satunya yaitu tindakan pertama pemerintah Tiongkok yang melapor kepada WHO dalam beberapa hari ketika terjadi outbreak coronavirus. Alasan lainnya yaitu data kasus harian di Provinsi Hubei pada masa awal outbreak yang tidak menjauhi angka prediksi (Woodward, 2020). Selain itu, Tiongkok juga merilis laporan pada 28 Februari 2020 tentang outbreak yang merupakan hasil eksplorasi lapangan bersama WHO. Bagaimanapun, banyak media yang mengabarkan bahwa kehidupan di Tiongkok, khususnya di Wuhan sebagai tempat awal munculnya COVID-19, telah kembali normal.

Keraguan masyarakat internasional ini bisa dimanfaatkan pemerintah Tiongkok dalam Olimpiade 2022. Pada 20 April kemarin, terdapat pertandingan sepakbola di Guangzhou antara Guangzhou FC melawan Guangzhou City dihadiri oleh 30 ribu penonton langsung di stadion. Bandingkan dengan Inggris misalnya, yang hanya menghadirkan 2 ribu penonton pada pertandingan Final Piala Liga Inggris antara Manchester City lawan Tottenham Hotspur kemarin di London. Hal ini menyiratkan tentang keberhasilan upaya pemerintah Tiongkok menanggulangi pandemi COVID-19. Jika lokasi-lokasi penyelenggaraan Olimpiade 2022 nanti dipenuhi oleh penonton, tentunya hal ini bisa meningkatkan reputasi Tiongkok di mata dunia dan juga membentuk persepsi bahwa penanganan COVID-19 di Tiongkok itu berhasil.

Sementara itu, terlepas dari kelanjutan pemboikotan, pemerintah Tiongkok harus senantiasa mempromosikan serta menggandeng kelompok minoritas yang menjadi perhatian dunia. The World Uyghur Congress, NGO kelompok Uyghur yang berada di perasingan, menyatakan bahwa pemboikotan Olimpiade 2022 tidak perlu. Mereka justru mengharapkan bahwa delegasi atlet yang bertanding nantinya berupaya untuk meningkatkan kesadaran terkait isu Uyghur, seperti bagaimana atlet meningkatkan kesadaran lewat gerakan Black Lives Matter. Dengan begitu, pemerintah Tiongkok perlu memanfaatkan hal ini dengan baik. Berbagai atribut Olimpiade, seperti logo, lagu, maskot, dan atribut lainnya perlu dimanfaatkan sebagai media promosi kelompok minoritas di Tiongkok, bahwa semuanya baik-baik saja. Keterlibatan kelompok minoritas pada Olimpiade 2022 nanti juga bisa mengubah persepsi publik internasional terkait isu-isu HAM di Tiongkok, misalkan dengan mengirimkan atlet asal Xinjiang, penyanyi dalam upacara pembukaan asal Hong Kong, atau menampilkan peragaan budaya asal Tibet.

Dengan begitu, Olimpiade 2022 menjadi salah satu perhatian pemerintah Tiongkok dalam upaya re-branding citra mereka di dunia, yang tentunya akan mempengaruhi dan memberi keuntungan bagi kepentingan politik serta ekonomi Tiongkok. Sudah mulai terlihat bahwa pada Maret kemarin, IOC menawarkan vaksin buatan Tiongkok bagi atlet atau pejabat Olimpiade Tokyo 2021 dan Beijing 2022. Presiden IOC, Thomas Bach mengatakan bahwa IOC akan menutupi biaya vaksin, yang juga disuplai oleh mitra internasional. Olimpiade Tokyo sendiri sedang menghadapi kemunduran karena masalah COVID-19 di Jepang, dan Tiongkok memanfaatkan hal ini dengan baik, yaitu menawarkan vaksin lewat IOC. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa Olimpiade 2022 bisa dijadikan ajang jualan vaksin bagi Tiongkok.

Daftar Referensi:

Anholt, S. (2003). Brand New Justice: How Branding Places and Products Can Help The Developing World. Oxford: Elsevier.

Anholt, S. (2007). Competitive Identity. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Berkowitz, P., Gjermano, G., Gomez, L., & Schafer, G. (2007). Brand China: Using the 2008 Olympic Games to Enhance China’s Image. Place Branding and Public Diplomacy, 3(2), 164-178.

Browning, C. S., & Oliveira, A. F. (2017). Introduction: Nation Branding and Competitive Identity in World Politics. Geopolitics. doi:10.1080/14650045.2017.1329725

Cornelissen, S. (2007). Crafting Legacies: The Changing Poltiical Economy of Global Sport and the 2010 FIFA World Cup. Politikon, 34(3), 241-259.

Dinnie, K. (2008). Nation Branding: Concepts, Issues, Practices. Oxford: Elsevier.

EP. (2020, December 17). European Parliament resolution of 17 December 2020 on forced labour and the situation of the Uyghurs in the Xinjiang Uyghur Autonomous Region (2020/2913(RSP)). Retrieved from European Parliament: https://www.europarl.europa.eu/doceo/document/TA-9-2020-0375_EN.html

EP. (2021, January 21). European Parliament resolution of 21 January 2021 on the crackdown on the democratic opposition in Hong Kong (2021/2505(RSP)). Retrieved from European Parliament: https://www.europarl.europa.eu/doceo/document/TA-9-2021-0027_EN.html

Fan, Y. (2010). Branding the Nation: Towards a Better Understanding. London, United Kingdom: Brunel University.

Ham, P. V. (2008). Place Branding: The State of the Art. The Annals of the American Academy of Political Science, 1-23. doi:10.1177/0002716207312274

Harkinson, G. (2010). “Place branding research: a cross-disciplinary agenda and the views of practitioners. Place Branding and Public Diplomacy, 6(4), 300-315.

Mackinnon, A., Palder, D., & Lynch, C. (2020, October 6). China’s Global Image Plummets After Coronavirus. Retrieved from Foreign Policy: https://foreignpolicy.com/2020/10/06/chinas-global-image-plummets-covid-coronavirus-pandemic/

Woodward, A. (2020, Maret 25). China censored people who spoke out about the coronavirus, but there’s reason to believe the country’s numbers are still trustworthy. Retrieved from Business Insider: https://www.businessinsider.com/reasons-china-coronavirus-data-may-be-trustworthy-2020-3?r=US&IR=T

Mohammad Aqshal Fazrullah adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran. Dapat ditemui di Instagram melalui nama pengguna @aqshalmfaz

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *