Pandemi COVID-19: Mematikan Bagi Manusia, Menyehatkan Bagi Iklim Dunia

0

Ilustrasi dari Kontekstual

Semua mengakui bahwa pandemi COVID-19 memiliki dampak yang luar biasa terhadap hampir semua aspek, baik itu aspek pendidikan, ekonomi, sosial, dan lainnya. Terlepas dari isu bahwa virus corona ini adalah buatan manusia yang dirancang oleh suatu negara guna menghancurkan negara lain, virus ini tetaplah berbahaya dan perlu diwaspadai. Banyak oknum yang memakai pandemi ini sebagai kendaraan politik untuk menguntungkan salah satu pihak, yang pada akhirnya mengurangi dan bahkan menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan virus itu sendiri.

Terhitung sejak Januari 2020, puluhan negara termasuk Indonesia sudah melakukan lockdown guna membatasi penyebaran penyakit covid ini. Memang lebih banyak kerugiannya dibandingkan hasilnya karena ternyata masih banyak virus yang tersebar di masyarakat. Banyak perusahaan kolaps, PHK di mana-mana, murid-murid yang harusnya berada di sekolah terpaksa melakukan belajar di rumah, dan masih banyak lagi dampak yang diakibatkan virus satu ini.

Namun siapa sangka, di balik kerugian-kerugian tersebut, malah sempat ada yang menjadi keuntungan bagi bumi dan lingkungan. Pada akhir tahun 2020, organisasi yang mengkalkulasi gas emisi di bumi, Global Carbon Project (GCP), menyatakan bahwa terjadi penurunan gas emisi karbon dioksida secara drastis. Sebanyak 2,4 miliar metrik ton gas atau 7% dari total emisi gas karbon telah terpangkas selama pandemi, menjadikan penurunan emisi gas karbon terbesar sepanjang masa.

Hal ini disebabkan oleh banyak perusahaan, terutama di sektor industri dan transportasi yang terpaksa harus berhenti. Daya beli masyarakat terhadap beberapa produk non primer menurun ditambah diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), dan istilah lainnya yang pada intinya adalah membatasi mobilisasi masyarakat. Duet maut dari dua faktor inilah yang membuat emisi karbon menurun drastis. Turunnya daya beli masyarakat menyebabkan produksi dari barang non primer menurun, sedangkan pembatasan mobilisasi masyarakat membuat banyak kendaraan umum tidak berpenumpang.

Sejak era revolusi industri tahun 1751, emisi gas karbon selalu meningkat setiap tahunnya. Menurut data yang dikeluarkan Pusat Analisis Informasi Karbon Dioksida Departemen Energi AS (CDIAC), manusia telah meningkatkan lebih dari 400 miliar ton CO2 ke atmosfer sejak 1751. Dan yang lebih mencengangkan adalah sekitar setengah dari jumlah tersebut dihasilkan dari tahun 1980-an hingga sekarang. Itu berarti emisi gas karbon dioksida akan terus meningkat jika tidak ada pengendalian dan perubahan dari pihak berwajib

Sempat terlintas di benak saya, apakah virus COVID-19 ini sebenarnya adalah sistem imun bumi untuk memberantas virus bernama manusia yang telah mengakibatkan efek rumah kaca dan pemanasan global parah. Harusnya ini menjadi bahan renungan bagi kita sekaligus memberikan harapan. Renungan karena pengurangan emisi karbon sebanyak itu hanya berdampak sedikit dari total emisi karbon di bumi, membuat kita tersadar banyak sekali polusi yang dihasilkan oleh manusia. Harapan, sebab masih terdapat kesempatan untuk bisa memperbaiki kesalahan kita sebagai manusia dan menjadikan lingkungan bersih kembali. Meskipun memang untuk mengurangi 7% dari total emisi karbon saja membutuhkan “bantuan” virus yang merenggut banyak nyawa. Seperti kata Thanos pada film Avengers: Endgame,The hardest choice require the strongest will”—kita membutuhkan usaha dan tekad yang besar untuk mengubah sesuatu yang besar.

Karena penurunan emisi gas karbon hanya terjadi sesaat, membuat dampaknya tidak terlalu terlihat pada lingkungan, tentu lockdown dan mengorbankan beberapa nyawa manusia bukanlah pilihan. Selain itu lockdown mengharuskan pemberhentian secara operasional beberapa sektor seperti industri dan transportasi, sedangkan kita masih membutuhkannya. Pada pertengahan 2021 saja, saat di beberapa negara COVID-19 sudah mulai menurun, emisi gas karbon mulai merangkak naik seperti sebelum tahun 2019.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) selaku distributor listrik utama di Indonesia juga membuat rencana kebijakan untuk mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mulai tahun 2025. Hal ini sejalan dengan Persetujuan Paris atau Paris Agreement yang mendorong dunia internasional untuk menekan kenaikan udara pada angka 1,5ºC di atas suhu udara pra-industrialisasi. PLTU yang memakai sumber energi batubara ini dipilih karena menghasilkan emisi terbesar dibandingkan pembangkit listrik yang lain, yaitu 64,49% (Alimuddin, 2018)

Tindakan PLN tersebut memang tepat menurut saya. Memang tren kendaraan listrik sekarang sedang naik daun dengan dalih zero carbon. Namun semua itu hanya omong kosong jika ternyata pembangkit listrik yang digunakan adalah penghasil karbon terbesar. Jika PLTU tidak diganti dengan sumber energi lain, meskipun terdapat gerakan peralihan kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik, emisi gas karbon yang dihasilkan pun juga tetap akan meningkat. Bedanya, emisi karbon kendaraan listrik tidak dikeluarkan secara langsung.

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menurunkan emisi karbon secara berkelanjutan, adalah mengubah sumber energi yang menghasilkan karbon menuju energi terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Bahkan dengan beralih ke energi terbarukan yang notabene lebih ramah lingkungan ini kita mendapat dua keuntungan, yaitu energi yang bersih dan jumlahnya tidak terbatas.

Pandemi ini adalah waktu yang sangat tepat menjadi titik balik untuk mengganti bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan yang lebih bersih. Istilah new normal tidak hanya akan menjadi kebiasaan baru kita dalam mencegah penularan virus corona, namun juga situasi lingkungan kita yang menjadi semakin bersih dan sehat. Agar bumi masih cocok menjadi tempat tinggal bagi manusia dan makhluk hidup lainnya sampai beberapa generasi ke depan.

Referensi:

Alimuddin, Tambunan A.H., Machfud, Novianto A. (2018). Analisis Emisi CO2 Pembangkit Listrik Panas Bumi Ulubelu Lampung dan Kontribusinya Terhadap Pengembangan Pembangkit Listrik di Provinsi Lampung. Journal of Natural Resource and Environmental Management, 9(2), 294.

Dennis Gilfillan, G. M. (2021, April 21). Dipetik Juni 2021, dari CDIAC-FF: global and national CO2 emissions from fossil fuel combustion and cement manufacture: 1751–2017: https://essd.copernicus.org/articles/13/1667/2021/ 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2019). Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia. Jakarta: Kementerian ESDM, 2020.

Nugraha, R. (2018, September 7). Banyak yang Pengen Ngalahin, Thanos Punya 7 Ucapan yang Inspiratif. Dipetik Juni 2021, dari HAI: https://hai.grid.id/read/07933591/banyak-yang-pengen-ngalahin-thanos-punya-7-ucapan-yang-inspiratif?page=all

Putri, G. S. (2020, Desember 13). Selama Pandemi Covid-19, Emisi Karbon Global Turun 2,4 Miliar Ton. Dipetik Juni 2021, dari Kompas.com: https://www.kompas.com/sains/read/2020/12/13/130400623/selama-pandemi-covid-19-emisi-karbon-global-turun-2-4-miliar-ton?page=all

Yusri Bakhtiar adalah Co-Founder Adidaya Initiative. Dapat ditemui di instagram dengan nama pengguna @yusribakhtiar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *