Parasocial Relationship: Mengapa Kita Mencintai Putin?

0

Grafiti yang menggambarkan wajah Putin di Serbia. Foto: Antonio Bronic/Reuters

Tidak bisa kita pungkiri bahwa langkah yang diambil oleh Putin dalam invasi Rusia-Ukraina menuai banyak kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Mulai dari institusi internasional seperti PBB hingga individu dari belahan dunia yang lain geram akan langkah politik Putin terhadap Ukraina. Namun, ganjal rasanya jika membayangkan Putin dengan berbagai macam tindakan dehumanisasi masih mendapatkan simpati dari rakyat Rusia, terlebih lagi rakyat Indonesia yang mengedepankan HAM. Bahkan, beberapa di antara simpatisan Putin mengelu-elukan dan mengidolakan beliau sebagai sosok pemimpin sejati. Mereka mencintai Putin

Dalam tulisan ini, penulis berpendapat bahwa alasan mengapa sebagian masyarakat Indonesia tetap mencintai Putin adalah adanya hubungan parasosial di sebagian masyarakat Indonesia terhadap Putin itu sendiri. Penulis mengajak pembaca untuk mencari kebijaksanaan dari analisis yang akan dipaparkan. Sebelum menyelam lebih dalam, alangkah baiknya jika pembaca memahami apa itu hubungan parasosial.

Mengenal Parasocial Relationships

Pernahkah kita merasa dekat atau merasa dicintai oleh selebriti terkenal melalui media tertentu? Penulis rasa, sebagian besar dari kita pernah merasakan hal yang sama. Hal tersebut juga terjadi antara politisi dengan audiensnya. Menurut teori parasosial, keadaan ini disebut sebagai parasocial relationships. Hubungan parasosial terkesan unik karena tiga alasan. Pertama, kedekatan personal ini lebih banyak dipengaruhi faktor emosi ketimbang ideologi (Lenz, 2013; Schneider, 1994). Kedua, ikatan terhadap tokoh politik oleh seseorang tidak terlalu disebabkan oleh identitas partai atau keberpihakan tertentu (Lobo & Curtice, 2014). Ketiga, ikatan personal ini memerlukan berbagai motif yang mendorong masyarakat untuk lebih aktif dalam perpolitikan (Dunn & Nisbett, 2014; Gabriel et al., 2018).

Hubungan satu sisi semacam ini berkemungkinan untuk berkembang pada individu jika terpapar informasi terkait politisi tersebut di media secara terus-menerus (Hakim & Liu, 2018). Hal ini dapat terjadi sebab proses psikologis pada hubungan parasosial menyerupai hubungan interpersonal yang nyata. Biasanya, mereka yang memiliki jenis hubungan seperti ini melihat sosok publik figur sebagai role model atau idola pun juga sumber kesenangan dan kenyamanan (Giles, 2002; Gleason et al., 2017). Seseorang yang sudah terbangun dalam hubungan ini akan mencintai sosok tersebut walau sosok yang dicintai tidak menunjukan hal yang serupa, sama seperti cinta buta. Perbedaan hubungan parasosial dengan hubungan interpersonal nyata terletak pada kondisi hubungan asimetris yang mana penggemar memiliki rasa kekaguman luar biasa kepada sosok idola dan menganggap sosok panutan memiliki status lebih tinggi darinya.

Setidaknya, terdapat enam variabel yang dapat digunakan untuk menilai terbentuk atau tidaknya hubungan parasosial yang meliputi right-wing authoritarianism (RWA), benevolent authority, political ideology, political elaboration, dan internal political efficacy (Hakim & Liu, 2018). Keenam variabel ini saya gunakan sebagai parameter untuk menganalisis aspek yang sekiranya berkontribusi pada pembentukan hubungan parasosial. Dari keenam variabel tersebut, penulis secara khusus memberikan perhatian kepada tiga variabel, yaitu political interest (kepentingan politik), political ideology (ideologi politik), dan political elaboration (keikutsertaan politik) dalam menganalisis hubungan parasosial masyarakat Indonesia dengan Putin.

Kepentingan Politik Masyarakat Indonesia dalam Sentimen Anti-Barat 

Variabel pertama adalah kepentingan politik dari sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini misalnya dapat terlihat dari sentimen rakyat Indonesia kepada negara Barat. Sentimen masyarakat terhadap Barat tentunya beragam dan tidak sedikit yang memiliki sentimen negatif. Secara historis, masyarakat Indonesia mengalami trauma historis akibat kolonialisasi dan imperialisasi barat yang berlangsung kurang lebih 350 tahun. Perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia yang ditempuh dengan keringat dan darah membangun kecintaan yang besar pada bangsa dan negara. Di saat yang bersamaan, kolonialisasi bangsa barat meninggalkan bekas psikologis pada pribumi Indonesia yang ditunjukan dengan hilangnya identitas diri (Ikbar & Andalas, 2019). 

Selain itu, sentimen negatif yang berkembang di tengah komunitas muslim erat kaitannya dengan identitas keislamannya. Misalnya, sentimen negatif oleh sebagian penduduk muslim Indonesia terbentuk sebab lambatnya penanganan negara barat terhadap konflik Israel-Palestina (Dharmaputra, 2022). Kesan yang diberikan Amerika Serikat terhadap konflik tersebut menyiratkan keberpihakannya pada Israel. 

Di lain sisi, masyarakat muslim Indonesia tidak mengakui adanya negara Israel, mengutuk opresi yang dilakukannya kepada rakyat palestina, dan menganggap rakyat Palestina sebagai saudara sendiri. Dari sinilah kemudian sentimen anti-amerika mulai berkembang. Sekalipun tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tidak beragama Islam, tetap saja berkemungkinan bagi mereka untuk memiliki sentimen serupa akibat hidup yang berdampingan dengan komunitas muslim. Ditambah dengan video-video kekerasan tentara Israel kepada rakyat Palestina yang hampir selalu ramai dan disebarluaskan menunjukan adanya kepentingan yang berlawanan antara sebagian besar masyarakat Indonesia dengan Barat.

Sentimen anti-Barat penting dalam pembentukan hubungan parasosial terhadap Putin karena berperan dalam menggiring opini publik dan cara pandang anggota komunitas terkait moralitas kebijakan Barat. Masyarakat Indonesia mulai mengkritisi kebijakan luar negeri Barat dan langkah-langkah yang diambilnya. Sentimen ini memalingkan sebagian masyarakat Indonesia dari Barat. Akibatnya, mereka mulai mencari aktor politik dengan kepentingan yang lebih sejalan dengan kepentingan politik masyarakat Indonesia.

Dari sanalah, masyarakat Indonesia mulai menemukan kesamaan dalam gagasan-gagasan Putin yang cenderung anti-Barat. Aspek yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa sentimen anti-Barat erat kaitannya dengan faktor emosi sehingga pencarian aktor politik sangat berkaitan dengan kedekatan emosi ketimbang penggunaan pertimbangan logis. Maka dari itu, meski Putin memiliki kepentingan politik lain yang jauh berbeda dan bahkan bertentangan dengan Indonesia, aspek emosi membuat sebagian masyarakat hanya mementingkan kesepahaman anti-Barat saja. 

Ideologi Politik Indonesia: Romantisme Soekarno dan Keberdikarian

Dalam sejarah Indonesia, Soekarno merupakan sosok dominan yang membentuk ideologi Indonesia, meski bukan satu-satunya. Hingga kini, masih terdapat afinitas yang tinggi terhadap sosok Soekarno dan kualitas-kualitas kepemimpinannya. Romantisme masa lalu rakyat Indonesia terhadap Soekarno membuat mereka melihat Putin sebagai sosok yang tegas, seperti Presiden Soekarno (Dianti & Firdaus, 2022). Gayanya yang tegas dan kebijakannya yang anti-mainstream menimbulkan romantisme di tengah komunitas. Putin yang menjadi sosok pemimpin negara beruang merah itu sukses menarik hati rakyat Indonesia dengan langkah-langkah yang diambil untuk negaranya. Masyarakat Indonesia melihat kesamaan ideologi politik yang dibawa oleh Soekarno pada diri Putin. Mereka yang cinta mati dengan Soekarno kemudian mulai mencintai Putin sebagaimana mereka mencintai presiden pertama Indonesia tersebut. 

Selain sosok Soekarno sebagai presiden, romantisme ini juga muncul sebab Rusia yang menunjukan ke-berdikari-an (berdiri di atas kaki sendiri) seperti apa yang diusahakan para founding fathers Indonesia. Selama invasi Rusia-Ukraina, Rusia tampak dapat bertahan secara ekonomi walaupun lusinan sanksi ekonomi dikenakan oleh berbagai institusi internasional. Dengan menilai kesamaan ideologi politik antara Soekarno dan Putin dan semangat berdikari melalui romantisme yang ada, masyarakat Indonesia mulai merasakan kedekatan emosi terhadap Putin. Dari sinilah kita dapat menilai adanya hubungan parasosial terhadap Putin.

Volodymir Zelenskyy Adalah Musuh Sebenarnya

Keikutsertaan politik masyarakat Indonesia dalam konflik Rusia-Ukraina dapat kita saksikan melalui diskursus daring. Biasanya, diskursus ini dipimpin oleh tokoh masyarakat atau para pengamat politik. Salah satu diskursus terkait Zelenskyy adalah bahwa presiden Ukraina itu merupakan penjahat perang yang sebenarnya. Pandangan ini diutarakan oleh Connie Rahakundini Bakrie, seorang pengamat bidang militer, yang terkenal atas cerita anekdotnya dengan Putin di Podcast Endgame episode ke-117. Connie menyampaikan bahwa musuh sebenarnya dalam invasi ini adalah Zelenskyy setelah mendesak pengaktifan artikel 5 NATO atas peluncuran misil yang mengenai wilayah Polandia, padahal misil tersebut diperkirakan milik Ukraina sendiri. 

Dalam diskursus yang berlangsung, sebagian rakyat Indonesia kerap mencela dan membenci aksi Zelenskyy yang tidak bertanggung jawab. Tidak hanya itu, kecenderungan kedekatan emosi pada hubungan parasosial menyebabkan seseorang melihat sosok Zelenskyy sebagai sosok yang tidak berkharisma. Terlebih, ia juga dipandang sebelah mata karena berlatar belakang komedian (Dianti & Firdaus, 2022). Buruknya citra Zelenskyy tentunya membuat kontras persepsi masyarakat Indonesia terhadap Putin. Diskursus ini mengalihkan perbincangan yang mencederai citra Putin sehingga Putin tidak terlalu terlihat buruk lagi di mata pecinta Putin. Dengan begitu, aktifnya masyarakat Indonesia dalam diskursus menunjukan adanya hubungan parasosial terhadap Putin.

Satu Tahun Invasi Rusia-Ukraina, Rakyat Indonesia Harus Bagaimana?

Cinta itu memang irasional. Kadang kita bertindak tanpa berpikir jikalau sudah yang namanya cinta. Akan tetapi, jangan sampai cinta membutakan seseorang dari kebenaran. Pembunuhan massal tetaplah hal yang salah. Seberapa hebatnya seorang panglima di medan perang, peperangan dan pembunuhan bukanlah hal yang patut dirayakan. Dalam hal ini, rakyat Indonesia harus dapat menyeimbangkan hubungan parasosial yang dimilikinya terhadap Putin dengan fakta yang terjadi. Invasi terhadap negara berdaulat dan pembunuhan rakyat Ukraina oleh tentara Rusia—dengan dengan demikian Putin—adalah salah dan tidak bisa dibenarkan. 

Selain itu, kesalahan berpikir oposisional merupakan hal yang juga harus disadari. Logika oposisional terhadap Rusia dan Barat, yang menjadi landasan mereka membenci Barat dan berpaling pada Putin pun perlu direnungkan kembali. Pengidolaan berlebih telah membutakan sebagian masyarakat Indonesia dari berbagai kebenaran dan mengangkat Putin sebagai satu-satunya panutan. 

Satu tahun invasi Rusia-Ukraina dan di sinilah kita. Hingga kini, masih terdapat misinformasi dan pengidolaan irasional terhadap Putin. Masyarakat Indonesia seharusnya tahu lebih baik bagaimana harus bersikap.

Referensi

Dharmaputra, R. (2022, April 28). Mengapa banyak pakar di Indonesia cenderung pro-Rusia? The Conversation. https://theconversation.com/mengapa-banyak-pakar-di-indonesia-cenderung-pro-rusia-182053

Dianti, T., & Firdaus, A. (2022, March 18). Analis: Dukungan atas Rusia di Indonesia Terkait Pandangan Anti-Barat. Benar News. https://www.benarnews.org/indonesian/berita/kenapa-marak-dukungan-indonesia-atas-rusia-03182022180426.html

Dunn, S. G. S., & Nisbett, G. S. (2014). Parasocial Interactions online: Candidate Intimacy in Webpages and Facebook. The Journal of Social Media in Society, 3(2), 26–41. http://thejsms.org/index.php/TSMRI/article/view/78

Gabriel, S., Paravati, E., Green, M. C., & Flomsbee, J. (2018). From Apprentice to President: The Role of Parasocial Connection in the Election of Donald Trump. Social Psychological and Personality Science, 9(3), 299–307. https://doi.org/10.1177/1948550617722835

Giles, D. C. (2002). Parasocial interaction: A Review of the Literature and a Model for Future Research. Media Psychology, 4(3), 279–305. https://doi.org/10.1207/S1532785XMEP0403_04

Gleason, T. R., Theran, S. A., & Newberg, E. M. (2017). Parasocial Interactions and Relationships in Early Adolescence. Frontiers in Psychology, 8(255), 1–11. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00255

Hakim, M. A., & Liu, J. H. (2018). Measuring the feeling of distant intimacy with politicians across countries: Development, construct validity, and replicability of the parasocial relationship with a political figure (PSR-P) scale. Parasocial Relationships with Polticians, 1–35. https://doi.org/https://doi.org/10.31234/osf.io/mcwsg

Ikbar, A., & Andalas, E. F. (2019). Dampak Psikologis Kolonialisme Barat Terhadap Masyarakat Pribumi dalam Kumpulan Cerpen “Aloer-Aloer Merah” Karya Ardi Wina Saputra. Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 6(2), 1. https://doi.org/10.33603/dj.v6i2.1844

Lenz, G. S. (2013). Follow the leader? : how voters respond to politicians’ policies and performance. University of Chicago Press.

Lobo, M. C., & Curtice, J. (2014). Personality Politics? The Role of Leader Evaluations in Democratic Elections. Oxford University Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780199660124.001.0001

Schneider, W. (1994). The New Populism. Political Psychology, 15(4), 779–784. https://doi.org/https://doi.org/10.2307/3791636

Statista. (2023). Vladimir Putin’s approval rating in Russia monthly 1999-2023. Statista Research Development. https://www.statista.com/statistics/896181/putin-approval-rating-russia/

Falah Mar’ie Amanullah merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @flh.ma

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *