Parentocracy: Kekerasan Kultural terhadap Anak dalam Pendidikan Indonesia

0

Seorang ibu sedang membantu anaknya dalam pembelajaran daring pada masa pandemi. Foto: Zhafaran Nasib/The Star

Alkisah, dalam suatu rumah tangga, seorang anak dan ibu yang keduanya beragama Islam sedang berdialog mengenai keputusan sang anak untuk menempuh perkuliahan di universitas luar negeri yang dipenuhi mahasiswa non-muslim. Dalam dialog yang terjadi di antara keduanya, ibu menolak keputusan sang anak terkait dengan keputusan yang diambilnya. Ibu beralasan bahwa sang anak tidak seharusnya menempuh pendidikan di universitas tersebut karena beberapa alasan. 

Alasan pertama adalah dirinya sebagai ibu memiliki hak untuk juga berkontribusi pada keputusan sang anak. Lagi pula, sang ibu yang memiliki kemampuan finansial. Belum lagi, sang ibu menyampaikan bahwa seorang anak memang seharusnya mematuhi keputusan seorang ibu karena dirinya yang paling memahami yang terbaik untuk anaknya dan juga karena lumrahnya hal ini di masyarakat.

Alasan kedua adalah terkait perbedaan agama. Sang ibu khawatir jika sang anak menempuh pendidikan di universitas luar negeri tersebut, dia akan mengalami diskriminasi berbasis SARA yang dahulu sering sang ibu rasakan dan alasan-alasan seterusnya. Sang anak merasa keputusan yang diambil telah tepat karena dirinya memahami kebutuhan pendidikan dan passion yang diminati. Namun, ibu tetap kekeuh untuk memasukan sang anak ke universitas pilihannya yang dirasa lebih baik. Alhasil, anak pun merasa sedih dan terpaksa untuk menuruti kemauan ibunya.

Berefleksi dari anekdot di atas, pernahkah Anda mengalami situasi yang serupa? Sebagai anak, Anda dipaksa untuk mengikuti keinginan orang tua dalam hal pendidikan. Mungkin terasa mengesalkan, tetapi apa boleh buat? “Toh juga dia adalah ibuku dan aku harus patuh kepadanya”. Pemikiran seperti itu kerap kali menjadi penyelesaian konflik yang dialami ibu dan si anak.

Mirisnya, pemaksaan terhadap anak oleh orang tua dalam hal pendidikan sering terjadi di Indonesia. Berdasarkan anekdot di atas dan juga pengalaman pribadi Anda, apakah Anda berada di tim anak atau ibu? Dalam tulisan ini, penulis ingin mencoba meluaskan spektrum dari permasalahan yang serupa dalam konteks relasi kekuasaan antara orang tua dan anak di Indonesia dengan menganalisis faktor yang menjustifikasi relasi tersebut. Penulis tidak bermaksud untuk melakukan framing orang tua menjadi aktor yang buruk dalam pendidikan anak, tetapi bermaksud untuk menyampaikan bahwa hal-hal yang sifatnya kultural dan terlihat lumrah di masyarakat justru merupakan suatu tindak kekerasan pada anak.

Triangle of Violence

Dalam anekdot di atas, sang anak telah mengalami kasus kekerasan (violence). Dalam hal ini, kekerasan yang dimaksud bukanlah kekerasan yang bersifat fisik, melainkan kultural. Hal ini berkaitan dengan konsep triangle of violence dari Johan Galtung. Menurut Galtung, kekerasan secara luas berarti pengaruh terhadap seseorang yang menghalangi realisasi potensi mereka.

Dalam anekdot di atas, sang anak tidak memberikan consent atas keputusan sepihak yang dilakukan ibunya. Padahal, anak tersebut berkesempatan untuk mendapati kehidupan perkuliahan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan anak tersebut. Perlu diperhatikan bahwa kekerasan tidak selalu bersifat apparent (terlihat) dan kasar, tetapi juga dapat bersifat tidak terlihat dan subtle (halus).

Violence Triangle Illustration – Galtung (Sumber: Sustainable Fashion)

Berdasarkan segitiga kekerasan di atas, kekerasan yang dialami anak-anak di Indonesia seperti yang telah dicontohkan hanyalah the tip of the iceberg dari dua kekerasan yang sebenarnya jauh lebih konfliktual, yaitu kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Tulisan ini akan lebih berfokus pada parentocracy sebagai kekerasan kultural.

Komersialisasi Sektor Pendidikan di Indonesia

Sistem pendidikan di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh arus wacana pendidikan dari barat, terutama United Kingdom (UK). Di UK, setidaknya terdapat 3 gelombang arus pendidikan yang dimulai sejak abad ke-19 yang dimulai dengan  gelombang mass schooling untuk memenuhi kebutuhan industri dengan meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi pekerja. Pasca tahun-tahun peperangan, disahkannya the Education Reform Act (1988) menandai gelombang kedua dengan mengenalkan ideologi meritokrasi yang mengharuskan sekolah-sekolah beroperasi dalam quasi market (seperti pasar).

Dengan dikenalkannya ideologi tersebut, sekolah-sekolah di UK mengalami komersialisasi. Alhasil, sekolah menjadi produk pasar dengan formalitas-formalitasnya. Orang tua berperan sebagai konsumen. Pemeringkatan sekolah pun turut diberitakan kepada masyarakat sebagai alat referensi dalam memilihkan institusi pendidikan terbaik bagi anak mereka. Pemerintah melakukan pemeriksaan ke sekolah-sekolah untuk melakukan penilaian dengan kriteria tertentu. Akibatnya, terdapat stratifikasi “sekolah bagus” dan “sekolah kurang bagus”. Regulasi terkait partisipasi orang tua juga diperkenalkan sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan anak. Pola perkembangan ini tidak hanya terjadi di UK, tetapi juga turut terjadi di Indonesia.

Sekolah-sekolah Indonesia saat ini juga mengalami komersialisasi. Padahal, komersialisasi sektor pendidikan di Indonesia tidak lantas membuat sektor pendidikan adil dan dapat diakses bagi siapapun. Lantaran, akses terhadap produk sekolah yang berkualitas menjadi terbatas. Belum lagi, adanya pembagian sekolah swasta dan negeri juga turut memperkuat komersialisasi ini. Sektor pendidikan yang berubah seperti pasar mengakibatkan berkembangnya ide parentocracy yang menandai gelombang ketiga dalam pendidikan.

Parentocracy

Pendidikan anak yang ditentukan berdasarkan kemampuan finansial dan keinginan orang tua ketimbang kemampuan dan usaha anak itu sendiri diartikan sebagai parentocracy. Latar belakang orang tua sebagai konsumen sangat memengaruhi produk/sekolah mana yang dapat mereka akses. Faktor ekonomi, etnis, agama, dan gender memainkan peran yang krusial. Dengan demikian, ideologi meritokrasi pun tercederai. Pendidikan yang layak tidak lagi diraih hanya dengan kemampuan dan usaha anak, tetapi juga kehendak orang tua. 

Komersialisasi sektor pendidikan yang mengusung konsep free market dan ideologi meritokrasi membuat orang tua memiliki power terhadap keputusan anak. Ditambah dengan legitimasi yang dimiliki orang tua dalam menentukan satuan pendidikan bagi anaknya yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 7 Ayat (1) menjadikan budaya ini sebagai norma yang tertulis. 

Parentocracy merupakan kekerasan kultural yang turut menyebabkan terjadinya kekerasan langsung yang terjadi pada anak. Contoh dalam anekdot di awal menunjukan bagaimana anak yang tidak lagi memiliki hak untuk memilih karena power yang dimiliki orang tua dalam memutuskan pendidikan bagi anak mereka.

Salah satu hal perlu diperhatikan juga adalah bahwa fenomena parentocracy lebih banyak ditemukan pada orang tua kelas menengah sehingga anak-anak yang berasal dari keluarga kelas menengah akan lebih rentan menjadi korban. Parentocracy menjadi kekerasan kultural ketika orang tua tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini dan anak tidak memberikan konsen atas keputusan yang diambil oleh orang tua mereka. Di kemudian hari, hal ini turut berkontribusi pada performa akademik dan kebahagian anak.

Kesimpulan

Pada akhirnya, parentocracy sebagai manifestasi dari komersialisasi sektor pendidikan di Indonesia justru mengakibatkan kekerasan kultural kepada anak. Anak yang seharusnya menjadi stakeholder terpenting dalam pendidikan justru mengalami keterbatasan dalam menentukan satuan pendidikan yang tepat bagi mereka. Peran orang tua memang penting dalam proses pendidikan anak, tetapi paksaan dan tekanan terhadap anak juga tidak bisa dibenarkan. 

Anekdot di awal tulisan ini hanyalah the tip of the iceberg dari permasalahan yang jauh lebih besar. Setiap tahunnya, banyak potensi dan keinginan anak yang tidak dapat diwujudkan karena harus mengikuti kemauan dan kemampuan orang tuanya. Di sisi lain, orang tua kerap kali hanya menilai dari sisi mereka sendiri dan merasa paling tau apa yang baik untuk anaknya. 

Diperlukan suatu pendekatan yang lebih komprehensif, baik dari sisi keluarga maupun sistem pendidikan untuk meminimalisir terjadinya parentocracy. Di dalam keluarga, komunikasi dan saling pengertian antara anak dan orang tua harus dibangun. Fokus pendidikan adalah pengembangan potensi anak sesuai dengan kehendak anak. Di sisi lain, pemerintah juga harus memperbaiki sistem pendidikan agar semua anak memiliki kesempatan yang sama, sehingga kesuksesan pendidikan anak tidak secara signifikan bergantung kepada kemampuan orang tua.

Falah Mar’ie Amanullah merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @flh.ma

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *