Partai Islam dan Representasi Umat Muslim di Indonesia: Mau Dibawa Kemana?

0

Kampanye Partai Kebangkitan Bangsa. Foto: Tempo

“Mengapa partai Islam di Indonesia tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam percaturan politik nasional walaupun populasi muslim di Indonesia mencapai 86,88%?” (Katadata, 2021).

Dalam survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 9 April 2023 mengenai “Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Penegak Hukum, Isu Piala Dunia U-20, Aliran Dana Tak Wajar di Kemenkeu, Dugaan Korupsi BTS, dan Peta Politik Terkini”, didapatkan hasil bahwa persentase umat muslim yang memilih partai-partai Islam di Indonesia yang lolos persyaratan untuk mengikuti Pemilu 2024 nanti yang berjumlah enam partai hanya berkisar 16,9% dari total suara pemilih muslim (PKB 5%; PKS 8,1%; PAN 0,8%; PBB 0,4%; PPP 1,6%; Partai Ummat 1,0%). Kondisi ini sangat berbeda dengan tiga partai Nasionalis terbesar yang mendapatkan persentase total pemilih muslim yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan partai-partai Islam, yakni sekitar 36,7% (PDIP 14,9%; Gerindra 13,2%; Golkar 8,5%).

Pada Pemilu 2019 kemarin saja, posisi partai Islam tidak juga meningkat dari papan tengah klasemen. Dari lima partai Islam yakni: PKB, PKS, PAN, PPP, dan PBB, yang mengikuti pemilu legislatif di tingkat nasional, tidak ada satupun partai yang berhasil masuk pada tiga besar pemenang pemilu. Bahkan jika hasil pemilu digabungkan, partai-partai ini hanya meraih 31% suara dari total pemilih. Masing-masing partai mendapatkan suara yakni sebanyak: PKB 9,69 %; PKS 8,21 %; PAN 6,84 %; PPP 4,52 %; dan PBB 0,79 % (KPU, 2019). 

Kilas Partai Islam dalam Sejarah Indonesia

Apa yang terjadi pada partai-partai Islam sekarang merupakan akumulasi dari rentetan kekalahan demi kekalahan partai Islam di Indonesia. Dalam sejarahnya, partai Islam di Indonesia hanya pernah hampir mendominasi politik nasional pada satu pemilu yakni Pemilu 1955 dimana Partai Masyumi dan NU masing-masing mendapatkan 21% dan 18% suara dan menduduki posisi dua dan tiga di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI). Kegagalan partai Islam pada Pemilu 1955 ini merupakan implikasi dari keluarnya kelompok-kelompok Islam dari Partai Masyumi seperti yang terjadi pada PSII pada tahun 1947 dan NU yang keluar pada tahun 1952. Akibat keluarnya beberapa kelompok Islam ini, kekuatan Partai Masyumi yang awalnya merupakan Partai Islam satu-satunya di Indonesia menjadi semakin jatuh sebelum benar-benar selesai setelah dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960 (Romli, 2016).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, posisi partai Islam semakin melemah semenjak diterbitkannya kebijakan penyederhanaan (fusi) partai politik yang ditujukan untuk menjaga stabilitas politik di Indonesia. Kebijakan ini berimplikasi terhadap partai-partai Islam yang terpaksa menggabungkan diri menjadi satu partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain itu, pada masa ini juga diterbitkan kebijakan asas tunggal Pancasila. Penggunaan asas tunggal ini mengharuskan partai-partai Islam untuk mengganti ideologi Islamnya menjadi Pancasila yang sekaligus berdampak pada berkurangnya kekuatan partai Islam itu sendiri (Romli, 2016). Setelah deretan perlemahan yang terjadi, relatif partai Islam di Indonesia tidak pernah mendominasi sama sekali.

Setelah era reformasi, posisi partai Islam tetap tidak banyak berubah dibandingkan dengan era sebelumnya. Meskipun Gus Dur yang notabenenya merupakan ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menduduki posisi Presiden pada saat itu, namun suara pemilih pada Pemilu 1999 tetap lebih berpihak kepada partai bercorak nasionalis seperti halnya PDI-P dan Golkar dibandingkan dengan partai Islam.

Dalam sebuah artikel Tempo bertajuk “Masa Depan Partai Islam, Aminuddin (2019), Direktur Eksekutif Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi)” menyatakan bahwa ada beberapa hal yang membuat partai Islam di Indonesia sulit untuk mendapatkan dukungan pemilih di Indonesia. Pertama, perilaku pemilih yang sangat dinamis dan kritis dalam melihat perkembangan sosial politik. Kedua, program-program partai Islam di Indonesia cenderung tidak relate dengan kebutuhan riil masyarakat. Ketiga, terpecah-pecahnya partai berbasis Islam di Indonesia. Terakhir, yakni menguatnya politik Islam dalam masyarakat tidak diimbangi dengan solidnya partai Islam (Aminuddin, 2019).

Sementara itu, Gonda Yumitro (2013) dalam tulisannya yang berjudul “Partai Islam dan Dinamika Demokrasi di Indonesia” menambahkan penurunan dukungan terhadap partai Islam di Indonesia juga dikarenakan identitas Islam seringkali hanya dijadikan alat politik bagi elit untuk mencapai kepentingan pribadinya. Selain itu, opini masyarakat—bahkan dari kalangan Islam sendiri menganggap kelompok Islam itu kasar dan penuh dengan kekerasan, serta kompetensi partai Islam yang masih dianggap kurang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat (Yumitro, 2013).

Representatif atau Sama Saja?

Kurangnya dukungan masyarakat terhadap partai Islam di Indonesia terjadi akibat kurang representatifnya partai Islam dalam menerjemahkan kepentingan para konstituennya, khususnya konstituen muslim di Indonesia. Menurut Hanna Pitkin (1967) dalam tulisannya yang berjudul The Concept of Representation, representasi dibagi menjadi empat model yakni: 1) representasi formal, mekanisme representasi diberikan kepada orang yang mendapatkan mandat dari peraturan formal; 2) representasi deskriptif yang diartikan ketika kelompok yang mewakili dianggap memiliki kemiripan dengan kelompok yang diwakili (baik secara suku, agama, gender, asal daerah, dan sejenisnya); 3) representasi simbolik, yakni konsep yang berangkat dari pemahaman bahwa representasi dapat disebut representatif ketika orang yang mewakili membawa simbol-simbol dari pihak yang diwakilinya; 4) representasi substantif, representasi yang menekankan pada “acting for”, ketika orang yang mewakili memusatkan perhatiannya pada tindakan-tindakan yang mengatasnamakan dan untuk kepentingan orang yang diwakilinya (Pitkin, 1967).

Pitkin melihat empat model representasi tersebut saling berkaitan satu sama lain meskipun pada praktiknya seringkali empat model representasi ini saling bergesekan. Menurutnya, dari empat model representasi yang ada, representasi paling ideal adalah representasi model substantif karena representasi ini menekankan pada penyelesaian terhadap keresahan-keresahan serta kepentingan orang-orang/kelompok yang diwakilinya.

Dalam melihat fenomena kurangnya dukungan terhadap partai Islam di Indonesia sekarang ini, kita bisa melihat bahwa permasalahan tersebut timbul dari tidak adanya representasi substantif dari diri partai Islam terhadap konstituen mereka, khususnya konstituen muslim. Partai Islam di Indonesia hanya mencitrakan diri sebagai partai yang berlandaskan nilai-nilai Islam dengan menggunakan simbol-simbol Islam dalam kegiatan kampanyenya tanpa secara serius memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh konstituen muslim yang merupakan mayoritas pemilih di Indonesia.

Selain itu, banyaknya kasus-kasus yang menjerat partai-partai berbasis Islam seperti halnya yang terjadi pada kasus korupsi Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan juga mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus suap impor daging sapi membuat citra partai Islam semakin hari semakin memburuk (Liputan 6, 2020).

Pemilih di Indonesia—termasuk umat Islam—lebih cenderung membutuhkan program-program yang sifatnya mendasar seperti halnya penyelesaian masalah ekonomi, kesenjangan sosial, akses terhadap kesehatan, serta masalah pendidikan yang belum merata. Sayangnya, partai-partai berbasiskan Islam di Indonesia belum mampu untuk menarik hati pemilih muslim dan malah kalah bersaing dengan partai Nasionalis yang lebih mampu memenuhi kepentingan pemilih, termasuk kalangan umat Islam.

Selain itu, terpecah-pecahnya internal umat Islam dalam beberapa kelompok menjadikan posisi partai Islam juga menjadi semakin lemah. Akibatnya, hal tersebut membuat umat Islam di Indonesia menjadi kebingungan untuk menilai partai manakah yang sebenarnya paling bisa merepresentasikan kepentingan kelompok muslim itu sendiri. Pun, jika umat Islam di Indonesia memilih partai berbasiskan Islam, mereka lebih cenderung memilih partai berdasarkan kedekatan kultural. Misalnya, warga Nahdliyin yang akan lebih memilih PKB, warga Muhammadiyah memilih PAN, kelompok Tarbiyah yang memilih PKS, serta kelompok Islam Abangan yang lebih memilih partai berbasis Nasionalis (Yumitro, 2013).

Tetap di Papan Tengah atau Melesat Menuju Puncak?

Masalah terbesar partai Islam di Indonesia adalah masalah representasi. Hadirnya partai Islam yang seharusnya menjadi penyambung lidah umat Islam sejauh ini malah terkesan tidak nampak di permukaan. Partai-partai Islam di Indonesia justru malah terkesan jauh dari kepentingan umat yang diwakilinya. Ketidakhadiran partai-partai Islam dalam masalah-masalah riil yang dihadapi oleh masyarakat berakibat hilangnya dukungan dari pemilih itu sendiri. Pemilih (termasuk pemilih muslim) justru lebih banyak memilih partai Nasionalis dibandingkan dengan partai Islam yang mereka anggap lebih mampu memberikan solusi dari masalah-masalah yang mereka rasakan.

Selain itu, masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjangkiti partai Islam juga perlu dijadikan perhatian serius. Banyak kalangan masyarakat yang tidak percaya terhadap partai Islam juga diakibatkan oleh adanya ekses ini. Masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim juga akan lebih sensitif ketika partai Islam yang terjerat kasus korupsi dibandingkan partai lainnya karena selain mereka anggap korupsi sebagai sesuatu yang merugikan secara materiil, korupsi yang terjadi pada partai Islam juga mencoreng nilai-nilai Islam secara keseluruhan.

Oleh karena itu, partai-partai Islam di Indonesia harus segera berbenah dengan secara substantif mengevaluasi diri dan belajar dari pengalaman kurang mengenakan pemilu-pemilu sebelumnya. Visi misi serta program-program partai Islam pun harus mampu memenuhi ekspektasi umat muslim di Indonesia yang sudah sejak lama tidak terakomodir dengan baik. Selain itu, partai-partai Islam sendiri dibebani oleh term “Islam” yang melekat pada jati diri partai dan perlu untuk mereka jaga.

Kini kita telah memasuki tahapan-tahapan awal dari Pemilu 2024. Bila dalam waktu dekat partai-partai Islam tidak mampu memenuhi ekspektasi-ekspektasi tersebut, bukan tidak mungkin partai-partai Islam di Indonesia hanya akan tetap menjadi partai medioker yang selalu sulit untuk bersaing dengan partai-partai Nasionalis. Stagnasi ini juga membuat partai-partai Islam akan terus menerus mengisi papan tengah klasemen pada pemilu-pemilu berikutnya. 

Apakah partai Islam di Indonesia akan berbenah? Atau justru akan semakin terpecah-belah diantara persaingan koalisi? Dalam bulan-bulan mendatang kita akan segera mengetahui jawabannya.

Referensi

Katadata. (2021). Sebanyak 86,88% Penduduk Indonesia Beragama Islam. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/30/sebanyak-8688-penduduk-indonesia-beragama-islam

Komisi Pemilihan Umum. (2019). Hasil Pemilihan Umum Legislatif DPR RI Tahun 2019. Diakses dari https://pemilu2019.kpu.go.id/#/dprri/rekapitulasi/

Liputan 6. (2013). Kronologi Suap Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan. Diakses dari https://www.liputan6.com/news/read/621438/kronologi-suap-mantan-presiden-pks-luthfi-hasan

Liputan 6. (2020). Perjalanan Kasus Korupsi Romahurmuziy, Dituntut 4 Tahun hingga Berakhir 1 Tahun Bui. Diakses dari https://www.liputan6.com/news/read/4241568/perjalanan-kasus-korupsi-romahurmuziy-dituntut-4-tahun-hingga-berakhir-1-tahun-bui

Pitkin, H. F. (1967). The concept of representation. University of California Press.

Romli, L. (2016). Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia. Jurnal Penelitian Politik, 1(1), 29–48.

Survei LSI (2023). Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Penegak Hukum, Isu Piala Dunia U-20, Aliran Dana Tak Wajar di Kemenkeu, Dugaan Korupsi BTS, dan Peta Politik Terkini. Diakses dari https://www.lsi.or.id/post/rilis-survei-lsi-09-april-2023 

Tempo. (2019). Masa Depan Partai Islam. Diakses dari https://kolom.tempo.co/read/1200508/masa-depan-partai-islam

Yumitro, G. (2013). Partai Islam dalam dinamika demokrasi di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 17(1), 35–50.

Dendy Mifta Rizqia Ikhsandi merupakan Mahasiswa Program Magister Departemen Politik dan Pemerintahan UGM. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @_dendymifta @dmri23

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *