Pembangunan Internasional Melalui Regionalisme Dalam Pemulihan Ekonomi Dengan Pendekatan Society 5.0

0

Ilustrasi Bendera Negara. Foto: Getty Images

Pergeseran yang terjadi dalam teater hubungan internasional mulai membuat altruisme dalam kerja sama multilateral hilang. Oleh karena itu, negara-negara mulai mempertimbangkan kerja sama regional maupun transregional untuk mengadopsi norma kerja sama yang lebih besar irisan serta dampaknya bagi pembangunan ekonomi. Hal ini dapat dihasilkan dari gagasan inovasi yang solutif dengan melibatkan masyarakat sipil dan aktor subnasional melalui paradiplomasi yang difasilitasi oleh kerja sama regional dan transregional. Dengan demikian, ide gagasan society 5.0 (masyarakat 5.0) yang menuntut integrasi teknologi dalam kehidupan manusia tentunya memberi ruang bagi negara dan rakyat untuk memanfaatkan kemajuan pembangunan yang lebih inklusif. Gagasan ini didorong oleh program pembangunan dari level komunitas. Gagasan dapat dicapai dengan melibatkan aktor lapangan dalam mekanisme inklusif untuk pembangunan ekonomi dan pemulihan di masa pasca-pandemi. Dengan begitu, dapat diperoleh dampak langsung dan berkelanjutan ke masyarakat di tengah krisis. 

Dengan persebaran kasus COVID-19 yang semakin meluas, berbagai negara mengupayakan tindakan preventif terhadap resesi ekonomi yang berpotensi besar terjadi. Total terdapat 213 negara/wilayah dengan jumlah 27 juta kasus, dan lebih dari 890.000 kematian COVID-19 membuat WHO memberikan bantuan penelitian teknis dan koordinasi dengan lembaga internasional lain untuk pemetaan implementasi bantuan (WHO, 2020). Negara berkembang sebagai aktor sentral tentu harus mempertimbangkan populasinya apalagi dengan kondisi di negara berkembang yang populasinya bekerja di sektor informal membuat program jaringan keamanan sosial tidak cukup sebagai solusi utama pada manajemen krisis (Filho & Brandli, 2020). Narasi tersebut membuat artikel ini berfokus kepada bagaimana optimalisasi dapat dilakukan dengan gagasan-gagasan yang bertumpu pada keterlibatan komponen masyarakat sipil, aktor non negara, penguatan peran aktor subnasional, dan menjelaskan transformasi paradigma diplomasi dalam pola hubungan antarnegara yang mengalami perubahan sejalan dengan dampak pandemi COVID-19. 

Optimalisasi Paradiplomasi dan Kerja Sama Kawasan

Forum internasional yang dihadiri oleh berbagai negara memiliki beberapa tahapan yang cukup umum baik dari level bilateral, regional, dan multilateral yaitu: (1) pembentukan norma kerja sama (norm-shaping), yaitu suatu tahap ketika aktor dalam sistem internasional membuat norma yang diajukan dalam pembuatan kebijakan); (2) penetapan norma kerja sama (norm-setting), yaitu ketika norma yang telah dibentuk ditetapkan baik dalam bentuk kebijakan politik, konvensi, maupun pembuatan instrumen penetapan lainnya; dan (3) penyebaran norma dalam implementasinya (norm-sharing), adalah kondisi ketika para aktor dalam sistem internasional membagikan dan mengajak aktor negara yang terlibat dalam forum kerja sama untuk mengikuti norma yang telah ditetapkan). Ketiga hal ini tentunya menjadi kendala ketika menyelesaikan masalah ekonomi dalam konteks COVID-19 melalui jalur multilateralisme karena altruisme global memudar dan egoisme masing-masing aktor semakin meningkat. Ini dibuktikan dengan kehadiran para politisi populis serta proteksionisme yang bertambah besar walau beberapa pengamat HI yakin bahwa fenomena ini tidak akan bertahan dalam waktu yang panjang. 

Urgensi ini dapat dilihat berdasarkan data yang dikutip dari OECD Economic Outlook 2020. Rata-rata negara memiliki pertumbuhan GDP di level antara -2,47% hingga -14,3% dengan situasi skenario pukulan berganda (double hit scenario) menghasilkan proyeksi pada 2021 akan mengalami pertumbuhan positif yang dapat dirasakan dalam kuartal pertama apabila kebijakan pemulihan ekonomi berlangsung dengan baik dengan asumsi perbedaan pertumbuhan sebanyak rata-rata 0,5–1% terhadap 2019 (sebelum pandemi) (OECD, 2020). Dapat disimpulkan dari data tersebut bahwa negara membutuhkan lingkup kerja sama yang tidak hanya sebatas pembuatan norma, namun juga menginternasionalisasikan implementasi norma tersebut serta memanfaatkan momentum untuk memenuhi kepentingan domestik yang dibutuhkan di tengah krisis. Kerja sama dalam bidang multilateral tidak memberikan ruang bagi negara untuk beririsan dengan kepentingan negara lain, namun jika mereka mengutamakan kerja sama intra-regional maupun trans-regional, maka itu akan memberikan hasil yang lebih mengerucut terhadap kepentingan ataupun norma spesifik yang dibawa oleh negara dalam diplomasi regionalnya. 

Gagasan yang ditawarkan adalah suatu konseptualisasi keterkaitan antara kerja sama regional dan paradiplomasi untuk pembangunan ekonomi dalam rangka pencapaian SDGs di tengah pandemi. Konsep paradiplomasi dalam studi HI memiliki arti hubungan diplomasi yang dilakukan oleh aktor subnasional yang terjadi akibat desentralisasi pemerintahan dan kekuatan politik. Adapun aktor subnasional dalam hal ini hadir sebagai emerging actor. Paradiplomasi memiliki 3 lapisan yaitu: (1) lapisan kerja sama pemerintahan sub-negara dalam perekonomian yang berfokus pada investasi asing dan penguatan ekspor dari pasar lokal daerah ke negara lain (bisa dalam program sister city atau diplomasi perkotaan); (2) lapisan kerja sama ekstensif yang berfokus pada kebudayaan, teknologi, dan pendidikan; dan (3) lapisan pertimbangan kebijakan politik untuk mengemukakan identitas daerah mereka serta budaya yang mereka promosikan (Lecours, 2008). Diplomasi antar kota memiliki relevansi bahwa dengan kondisi pembangunan dan sosial saat ini di tengah pandemi, program seperti sister city pun memiliki potensi untuk dikembangkan secara lebih ekstensif melalui fasilitas kerja sama intra-regional maupun transregional (seperti sister city Jakarta dengan kota lain). Interaksi aktor subnasional ini kemudian semakin intens dengan adanya irisan dengan kerja sama kawasan dan juga komunikasi daring di tengah pandemi. 

Berdasarkan narasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunitas regional harus fokus pada penyelesaian masalah praktis. Komunitas kawasan seperti ASEAN, EU, dan MIKTA (kerja sama yang bersifat transregional) memiliki peran sentral untuk memfasilitasi peran aktor subnasional dan masyarakat sipil serta NGO untuk berpartisipasi dalam mekanisme pembangunan ekonomi berkelanjutan. Salah satu cara yang inovatif adalah dengan penerapan metode blended financing sebagai alternatif dari kebijakan stimulus ekonomi yang rawan akan resiko inflasi. Pembangunan ekonomi itu sendiri tentunya di lapangan akan berkaitan erat dengan sektor UMKM, jasa informal, dan jaring keamanan sosial. Penerapan solusi teknis pembangunan ekonomi seperti ini tentunya dapat ditetapkan melalui instrumen harmonisasi kebijakan ekonomi kawasan dalam pemulihan ekonomi post-pandemi sebagai tindakan koreksi terhadap disrupsi kemajuan implementasi SDGs. Dan ini semua ditujukan agar pendekatan terhadap agenda human security dalam hal ekonomi harus diselesaikan dengan solusi yang komprehensif dan tidak bergantung pada aktor negara yang sudah kurang relevan dengan lanskap pembangunan internasional saat ini.  

Keterlibatan peran masyarakat sipil (civil society) sebagai entitas baru dalam dinamika HI harus ditingkatkan untuk memberikan dampak yang bersifat praktis dan nyata dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan dengan pendekatan yang berpusat kepada masyarakat (people-centric). Pertama, hal ini dapat dijelaskan dengan COVID-19 telah membawa tatanan internasional sehingga posisi serta kontribusi negara anggota dalam forum multilateral tentunya akan ditinjau kembali baik dalam pendekatan analisa untung-rugi serta bagaimana kontribusi forum akuntabilitas yang lebih mengakomodir kepentingan setiap negara yang cenderung proteksionis di tengah COVID-19 (Sharfuddin, 2020). Kedua, adanya urgensi sistem pembangunan internasional serta norma-norma yang disetujui dalam adopsi SDGs telah terbukti tidak dapat bertahan dari gelombang dampak serta ancaman non tradisional yang dibawa oleh virus (masalah kesehatan global). Ketiga, adanya perubahan politik serta diplomasi dalam persiapan untuk masa post-pandemi menjadi agenda yang perlu ditekankan untuk keberlanjutan pembangunan internasional ditengah polarisasi diantara negara-negara adidaya dalam sistem internasional kontemporer (contohnya adalah perang dagang AS-China). 

Society 5.0 dan Masyarakat Sipil: Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Dalam implementasi SDGs, data yang aktual dan komprehensif sangat diperlukan namun sangat bergantung pada sumber data pemerintahan yang kini kurang tersedia. Hal ini dibuktikan dengan survei yang menunjukkan bahwa sembilan dari sepuluh petugas statistik di negara berkembang menyatakan bahwa pendanaan mereka dipotong sehingga itu menyebabkan 65% kantor badan statistik menghentikan koleksi data aktual tatap muka (United Nations, 2020). Hal inilah yang menyebabkan pentingnya peran civil society dan NGO untuk mendukung keberlanjutan agenda pembangunan itu sendiri. Civil society dan NGO berperan untuk menjadi aktor yang melakukan check and balance terhadap pemerintah di tengah gagasan masyarakat internasional society 5.0. Karena tanpa data yang akuntabel, maka proses pengambilan keputusan akan tidak tepat sasaran dalam implementasinya. 

Keberadaan gagasan masyarakat 5.0 yang berlandaskan asas bahwa setiap inovasi-inovasi dari industrialisasi 4.0 menjadi bagian integral dalam konteks kehidupan manusia itu sendiri yang membawa arah kebijakan aktor negara dalam pandemi COVID-19 lebih berpusat pada masyarakat (people-centered). Dibuktikan dari implementasi dari kerangka kesiagaan WHO akan COVID-19 atau WHO COVID-19 Preparedness Framework yang mengandalkan teknologi digital sebagai bagian integral dari kebijakan pandemi. Hal ini membuktikan bahwa transformasi digital menjadi pilar dalam industri untuk mencapai pembangunan ekonomi yang dapat menghadapi tantangan yang ada dalam lapisan masyarakat (societal challenges). Alasan mengapa pendekatan masyarakat 5.0 menjadi bagian integral dari pencapaian SDGs dapat dilihat melalui beberapa narasi seperti: (1) perubahan dunia internasional akibat COVID-19 menuntut arah pembangunan ekonomi yang dapat merealisasikan revolusi mobilitas pelaku ekonomi di tengah kondisi pandemi yang terbatas secara fisik namun bebas dalam virtual; (2) secara praktis, diperlukan regenerasi rantai suplai perdagangan global yang tidak hanya berdasarkan pelajaran dari krisis masa lalu maupun keterbatasan geografi, namun dapat lebih visioner kedepan; dan (3) pembangunan ekonomi dalam pencapaian SDGs memerlukan akselerasi pemulihan ekonomi melalui usaha yang saling berpotongan dan multisektoral yaitu antara pengembangan sumber daya manusia dan digitalisasi di tengah pandemi dengan  keterlibatan komponen masyarakat sipil, NGO, dan infrastruktur dari pemerintah untuk akselerasi implementasi SDGs sebagai indikator pencapaian pembangunan domestik, terutama negara-negara ekonomi menengah (Fukuyama, 2018).

Alasan lain mengapa peran dari masyarakat sipil, NGO, dan aktor subnasional penting dalam society 5.0 adalah pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan tidak mungkin bergantung pada donor multilateral saja, sebab tidak akan bisa memenuhi permintaan riil dari program itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan data bahwa PBB butuh 3,3-4,5 triliun dolar AS untuk implementasi SDG, tetapi PBB terus mengalami kekurangan pendanaan senilai 2,5 – 3 triliun dolar AS yang menunjukan rendahnya komitmen donor multilateral (United Nations, 2019). Oleh karena itu blended financing dan partisipasi dari masyarakat sipil yang ditekan sebelumnya di paper ini merupakan gagasan yang paling masuk akal di tengah ketidakpastian dalam level multilateral dan memudarnya altruisme masyarakat di tengah pandemi. 

Referensi  

Alvarez, M. (2020). Paradiplomacy in Times of Pandemic. Dipetik September 9 , 2020, dari E- International Relations : https://www.e-ir.info/2020/07/01/opinion-paradiplomacy-in-times-of-pandemic-the-paths-ahead/

Filho, W. L., Brandli, L. L., Salvia, A. L., Rayman-Bacchus, L., & Platje, J. (2020). COVID-19 and the UN Sustainable Development Goals: Threat to Solidarity or an Opportunity? Sustainability Journal, 2-3.

Fukuyama, M. (2018). Society 5.0: Aiming For A New Human Centered Society. Japan Spotlight.

Kaiser, R. (2003). Paradiplomacy and Multilevel Governance in Europe and North America: Sub National Governments in International Arenas. Participation, 27, 17-19.

Lecours, A. (2008). Political Issues of Paradiplomacy: Lessons from the Developed World. (V. Duthoit, & E. Huijgh, Penyunt.) Den Haag: Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael.

OECD. (2020). OECD Economic Outlook All Editions. OECD Statistic and Projection Database. 

Sharfuddin, S. (2020). The World After COVID-19. Commonwealth Journal of International Affairs, 109(3), 247-257. doi:10.1080/00358533.2020.1760498

UNDP. (2020). COVID-19 and Human Development: Assessing the Crisis, Envisioning the Recovery. New York: United Nations Development Programme.

United Nations. (2020). The Sustainable Development Goals Report 2020. New York: UN Statistics Division.

WHO. (2020). 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV): Strategic Preparedness and Response Plan. Geneva: World Health Organization. 

Hino S. Jose merupakan mahasiswa Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @samueljose737

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *