Pembatasan Turis ke Korsel: Isu Diskriminasi atau Imigrasi?

0

Industri Pariwisata Korea Selatan dan Problematika Pembatasan Turis/ Kredit Foto BBC

Korea Selatan telah menjadi tujuan wisata yang populer dalam satu dekade terakhir. Hal ini ditopang oleh dua hal krusial, yakni modernisasi Korsel menjadi negara maju dan gelombang budaya Korea atau K-Pop yang menyapu dunia. Pada 2019, Korsel menerima kunjungan 17.5 juta turis dari seluruh dunia, menjadikannya negara dengan kunjungan turis terbesar ke-20 di dunia.
Akan tetapi, tingginya mobilitas warga dunia ke Korsel ini bukannya tanpa masalah. Korsel secara khusus berbeda dari negara-negara Barat yang relatif lebih terbuka terhadap imigrasi (tidak hanya turisme) dan terbiasa dengan multikulturalisme. Masalah yang muncul di Korsel adalah meningkatnya insiden rasisme dan juga imigran gelap, termasuk terhadap sesama bangsa Asia.

Suara Protes dari Negeri Gajah Putih

Warga Thailand menjadi pihak terbaru yang menyuarakan protesnya terhadap Korsel. Bulan Juni lalu, ranah media sosial diramaikan dengan tagar seruan pemboikotan terhadap turisme ke Korea Selatan oleh warganet Thailand. Sebelumnya pada Oktober 2023, publik Thailand juga sempat menyerukan gerakan boikot melalui tagar #แบนเที่ยวเกาหลี (ban travel to Korea) di media sosial X sebanyak kurang lebih 17,000 unggahan. Tagar tersebut meningkat berkaitan dengan tuduhan rasisme dan diskriminasi Korsel terhadap warga Asia Tenggara. Dalam kasus Thailand, ini juga berkaitan erat dengan persoalan imigrasi.

     Kampanye massal tagar #แบนเที่ยวเกาหลี (ban travel to Korea) disinyalir sebagai bentuk kemarahan warga Thailand atas kasus penolakan dan wawancara ketat di imigrasi Korea Selatan untuk mendapat izin masuk ke negeri ginseng tersebut. Seruan pemboikotan ini berdampak pada sektor pariwisata di Korea Selatan. Organisasi Wisata Korea atau Korea Tourism Organization (KTO) belum lama ini resmi merilis daftar jumlah wisatawan asing per periode Januari hingga April 2024. Tercatat terjadi tren kenaikan dari sejumlah negara, kecuali Thailand. Jumlah wisatawan dari Negeri Gajah Putih itu justru menurun. Pada periode Januari-April 2024, Negeri Ginseng didatangi 119.000 wisatawan Thailand. Angka ini mengalami penurunan 21,1% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. 

Selama periode ini, justru terjadi lonjakan wisatawan asal dari negara-negara di wilayah Asia Timur seperti Tiongkok (470%), Jepang (86%), dan Taiwan (78%). Sementara itu, negara-negara Asia Tenggara lainnya justru mencatatkan angka kenaikan wisatawan yang signifikan bagi Korea Selatan. Negara-negara tersebut meliputi Filipina (76%), Indonesia (51%), Malaysia (35%), Vietnam (29%), dan Singapura (11%). Kondisi ini memicu berbagai reaksi dari warganet yang berspekulasi bahwa fenomena tersebut merupakan imbas dari gerakan boikot yang diserukan masyarakat Thailand di sosial media X akhir tahun lalu. Bahkan turut memantik reaksi negatif yang mengaitkan dengan diskriminasi rasial dari warga Korea Selatan terhadap warga Indonesia dan Filipina. Dalam salah satu video yang diunggah pengguna X dengan username @jd91xxxx, tertulis opini terkait orang Korea yang unggul dalam segala hal termasuk perekonomian dan warna kulit yang lebih putih dibanding warga Indonesia, di akhir ia menyertakan tagar #แบนเกาหลี (BanKorea). 

        Pemerintah Korea Selatan memang secara resmi memberlakukan syarat yang lebih ketat terhadap warga negara Thailand yang akan masuk ke wilayah negeri ginseng tersebut. Pengetatan syarat masuk bagi wisatawan asal Thailand tentunya bukan tanpa alasan. Hal ini dikarenakan maraknya jumlah imigran ilegal Thailand di Korea Selatan. Menurut Menteri Tenaga Kerja Thailand, Phiphat Ratchakitprakarn, diperkirakan ada lebih dari 100.000 orang pekerja ilegal di Korea Selatan. Angka ini lebih besar dibanding jumlah pekerja legal Thailand sebanyak 93.118 orang yang telah melalui sistem perizinan resmi kerja kedua negara. Diperkirakan pada September tahun 2023, populasi imigran ilegal Thailand di Korea Selatan berkisar 157.000 orang. Tidak sedikit dari para imigran ilegal tersebut terlibat tindak kejahatan berat, berupa pelanggaran narkoba maupun kejahatan seksual. Kondisi inilah yang kemudian mendorong pemerintah Korea Selatan mengambil tindakan tegas memperketat pemeriksaan warga negara Thailand di imigrasi. 

          Banyak kasus dari imigran ilegal Thailand memasuki Korea Selatan dengan tujuan awal sebagai turis, tetapi melarikan diri dari rombongan tur dan secara diam-diam mengambil pekerjaan non-kontrak. Perilaku tersebut tentu menyalahi aturan karena para imigran tersebut menggunakan visa turis, bukan visa kerja sebagaimana syarat imigran legal. Warga negara Thailand memang mendapat keistimewaan bebas visa turis untuk durasi tinggal ±90 hari di Korea Selatan berdasarkan perjanjian bilateral kedua negara. Namun, tak jarang banyak dari mereka juga tidak mampu berbahasa Korea. Menguasai bahasa asli negara penerima merupakan salah satu syarat wajib jika ingin bekerja di luar negeri.

Mitigasi atau Diskriminasi?

        Dalam menanggapi persoalan ini, Kementerian Tenaga Kerja Thailand telah melakukan dua pendekatan secara internal dan eksternal. Pendekatan eksternal antara lain melalui kerja sama dengan Layanan Imigrasi Korea untuk saling bertukar informasi. Di level domestik atau internal, Kementerian Tenaga Kerja Thailand juga telah memberlakukan upaya penanganan para agen imigran yang memfasilitasi warga Thailand bekerja secara ilegal di Korea Selatan dengan meluncurkan iklan melalui Facebook dan Line. Selain itu, turut dibentuk tim khusus di Bandara Suvarnabhumi dan Don Mueang untuk mengawasi peredaran warga Thailand yang hendak bekerja secara ilegal ke Korea Selatan. 

        Sementara itu, dari sisi Korea Selatan dilakukan upaya perlindungan negara terhadap imigran legal salah satunya melalui sistem otorisasi perjalanan K-ETA (Korea Electronic Travel Authorization). Sistem ini diberlakukan sepenuhnya pada bulan September 2021 untuk meningkatkan dan menyederhanakan pemeriksaan terhadap wisatawan asing sekaligus melawan izin tinggal ilegal. K-ETA merupakan sebuah sistem otorisasi perjalanan elektronik yang mewajibkan pelancong dari negara bebas visa untuk mendapatkan izin sebelum mereka memasuki wilayah Korea dengan mengirimkan informasi pribadi dan terkait perjalanan di laman atau aplikasi seluler K-ETA sebelum naik ke pesawat. Proses pemeriksaan dan pemberian izin ini turut diberlakukan bagi warga dari negara bebas visa ke Korea Selatan, termasuk salah satu di dalamnya adalah Thailand. 

Saat ini, setidaknya terdapat 22 negara/wilayah yang memenuhi syarat untuk pengecualian. Sementara itu, K-ETA, meliputi: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Hong Kong, Italia, Jepang, Makau, Belanda,  Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Singapura , Spanyol, Swedia, Taiwan, Inggris, AS (termasuk Guam). Sistem K-ETA akan dikecualikan sementara bagi 22 negara/wilayah tersebut terhitung sejak 01 April 2023 hingga 31 Desember 2024. Akan tetapi, warga negara dari 22 negara/wilayah tersebut masih dapat mengajukan pembuatan K-ETA dengan biaya pendaftaran sebesar 10.000 KRW/ orang (sekitar 9~10 USD, tidak termasuk biaya tambahan). Turis yang memiliki K-ETA tidak diwajibkan menyerahkan kartu kedatangan di pelabuhan kedatangan karena informasi pribadi dan perjalanan sudah termuat di aplikasi K-ETA. Langkah ini dinilai mempermudah pihak imigrasi dalam melacak informasi pelancong yang hendak masuk ke Korea. Sistem otorisasi keimigrasian ini serupa dengan Electronic System for Travel Authorization (ESTA) yang diterapkan oleh Amerika Serikat.

       Orang-orang dari wilayah Asia Tenggara tidak jarang mendapat pandangan sinis terkait isu rasial dalam pandangan sejumlah warga Korea Selatan. Dengan adanya persoalan ini, citra rasisme semakin kuat terhadap Korea Selatan sehingga isu pengetatan syarat masuk warga Thailand di keimigrasian Korea Selatan menjadi perbincangan yang dikaitkan dengan sentimen rasial. Padahal pihak otoritas Korea Selatan melalui prosedur K-ETA masih memperbolehkan izin bebas masuk untuk kunjungan ke pulau Jeju bagi negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Menurut informasi Kedutaan Besar Korea Selatan untuk Singapura, kebijakan izin bebas masuk ke wilayah Jeju diberlakukan bagi pelancong dari negara yang membutuhkan visa masuk ke Korea dengan rute penerbangan langsung ke Pulau Jeju. Jika dijustifikasi berdasarkan konteks keamanan negara, tindakan ini bukan semata-mata karena isu diskriminasi, melainkan kebijakan mitigasi terhadap imigran ilegal yang menyalahgunakan visa turis untuk tinggal menetap atau bekerja. Hal serupa pernah terjadi di era Presiden Donald Trump yang menerapkan Travel Ban Policy untuk mencegah kedatangan pekerja ilegal ke Amerika Serikat. 

Tidak hanya Thailand di Korsel, kasus penyelewengan visa turis untuk bekerja juga kerap kali dilakukan warga Indonesia di Australia. Meski bersinggungan dengan konteks kemanusiaan dan unsur diskriminatif, tapi imigrasi ilegal adalah tindakan pelanggaran hukum dan tentunya harus ditindak tegas. Pengendalian populasi imigran ilegal perlu ditekan agar tidak merugikan banyak pihak. Imigran ilegal bukan hanya merugikan negara tempatnya bekerja, tapi juga negara asal karena keduanya tidak menyumbang devisa dari visa kerja. Selain itu, ini juga merugikan imigran legal yang melalui proses persaingan dari negara asal untuk bisa bekerja di luar negeri. 

Situasi ini mestinya dapat dipahami sebagai konsekuensi dari pelanggaran keimigrasian dan tidak perlu disangkutpautkan terlalu jauh ke isu diskriminasi. Sebab, kasus ini merupakan pelanggaran peraturan keimigrasian yang ditimbulkan para pelancong yang ‘nakal’. Bahkan, Kementerian Kehakiman Korea Selatan juga menekankan bahwa langkah tersebut diperlukan untuk mencegah imigrasi ilegal dan tidak bersifat diskriminatif terhadap warga negara Thailand. Maraknya penyalahgunaan visa ini dapat dipicu oleh beberapa hal, misalnya akses visa yang terlalu murah dan pemberian bebas visa. Kedua hal ini sangat rawan untuk diselewengkan. Seperti yang kita ketahui, Thailand merupakan salah satu negara yang mendapat keistimewaan bebas visa untuk kunjungan selama kurang lebih 90 hari. Kendati demikian, kedua negara perlu mencari solusi bersama untuk menangani persoalan ini agar tidak merusak hubungan bilateral yang telah terjalin sejak 65 tahun silam.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *