Pemilu Thailand 2023: Comeback Klan Shinawatra?

0

Politikus Thailand Paetongtarn Shinawatra dalam pertemuan Partai Pheu Thai. Foto: Bangkok Post

Gelaran Pemilu Thailand yang akan dilaksanakan dalam kurang dari dua bulan lagi kembali diramaikan oleh pemain lama dalam politik Thailand. Pada 16 Januari lalu, Paetongtarn Shinawatra menyatakan kesiapannya untuk terjun ke dalam gelaran pesta politik Negara Gajah Putih. Menilik sejarah politik kontemporer Thailand, deklarasi ini menandai kali ketiga seorang dari klan Shinawatra berambisi untuk menduduki jabatan perdana menteri yang kini berada di bawah cengkeraman militer. Melihat dua episode kudeta yang meruntuhkan kepemimpinan Thaksin Shinawatra dan Yingluck Shinawatra, deklarasi Paetongtarn bersama Partai Pheu Thai pun agaknya dapat dimaknai sebagai upaya comeback keluarga Shinawatra ke lanskap politik negeri Gajah Putih tersebut. 

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menganalisis dua faktor pendukung kemenangan Paetongtarn, yakni kejenuhan publik Thailand terhadap dominasi militer di tampuk kekuasaan dan favoritisme publik terhadap model kepemimpinan populis ala keluarga Shinawatra. 

Berdasarkan hasil survei yang dilaksanakan oleh National Institute of Development Administration (NIDA), Paetongtarn kini masih menjadi unggulan dalam kontestasi pemilu dengan persentase dukungan 34 persen. Perolehannya begitu timpang apabila kita komparasikan dengan sang petahana, Jenderal Prayut, yang hanya mencapai 14,05 persen. 

Mismanajemen dan Perpecahan Para Jenderal

Sembilan tahun sejak menaiki tampuk kekuasaan, Jenderal Prayut Chan-o-cha kini memilih United Thai Nation Party (UTN) sebagai kendaraan politik untuk berkontestasi. Langkah sang Jenderal tentu disertai dengan alasan strategis, yakni komposisi elit partai UTN yang terdiri dari kelompok People’s Democratic Reform Comittee atau kerap dikenal sebagai Bangkok Shutdown Gang. Pasalnya, kelompok inilah yang menggerakkan kudeta terhadap Yingluck Shinawatra di tahun 2014 sekaligus memberi jalan bagi era kekuasaan Jenderal Prayut Chan-o-cha. Akan tetapi, di balik euforia ini, publik mungkin sedang menyaksikan perpecahan kongsi jenderal yang telah memegang tampuk kekuasaan Thailand sejak jatuhnya Yingluck Shinawatra.

Dengan bergabungnya Prayut ke UTN, aliansi ‘Three Por Group’ yang terdiri dari Jenderal Prayut, Jenderal Prawit, dan Anupong Paojinda–menteri dalam negeri–sedang berada di ambang kehancuran. Kepergian Prayut sendiri memungkinkan Prawit, sebagai pemimpin Partai Palang Pracharath (PPRP), untuk mencalonkan diri sebagai pesaing Prayut di kontestasi elektoral mendatang. Selain kemungkinan terpecahnya suara, situasi ini pun turut membuka peluang bagi Prawit untuk mengubah arah gerak partai secara pragmatis dan adaptif terhadap narasi politik dalam pemilu. Bukan tidak mungkin kita dapat melihat koalisi antara kelompok populis dan petahana menjelang pemilu berkat kedekatan Prawit dengan keluarga Shinawatra.  Lantas, situasi ini menambah pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan Prayut agar dapat kembali ke puncak kekuasaan. 

Di sisi lain, deklarasi pencalonan Prayut bersama UTN pun turut menuai kontroversi akibat ambiguitas masa jabatannya. Pandangan publik Thailand terbelah kala dihadapkan dengan perhitungan awal mula kepemimpinan Prayut sebagai Perdana Menteri. Berkelindan dengan isi konstitusi negara, seorang perdana menteri hanya memiliki masa jabatan maksimal selama 8 tahun, baik dilaksanakan secara konsekutif maupun tidak. Pihak kontra menilai sang jenderal telah melanggar aturan tentang masa jabatannya dengan tetap berkuasa di tahun 2023–dihitung sejak kudeta di tahun 2014. Sementara itu, pandangan lain yang didukung oleh putusan pengadilan adalah bahwa Prayut dianggap baru berkuasa di tahun 2017, saat konstitusi baru ditetapkan, sehingga terhitung legal jika memerintah hingga 2025.

Tak ayal, situasi ini pun mencerminkan kejenuhan publik terhadap dominasi rezim militer di tubuh pemerintahan. Perubahan persepsi masyarakat, salah satunya, dipengaruhi oleh carut-marut penanganan pandemi COVID-19 yang dilaksanakan oleh Jenderal Prayut dan para kroninya. Pemerintah dianggap tidak responsif dalam mengamankan dosis vaksin yang proporsional dengan jumlah populasi Thailand. Alih-alih melakukan diversifikasi jenis dan produsen vaksin, pemerintah malah menggantungkan nasib warganya pada produksi Siam Bioscience–milik Raja Vajiralongkorn–semata. Tak dapat dipungkiri, kesalahan manajemen pandemi ini pun bermuara pada melayangnya puluhan ribu nyawa rakyat Thailand. 

Seakan memvalidasi basis otoritarianisme dalam tubuh pemerintahan, Jenderal Prayut turut membatasi segala bentuk kritik terhadap cara penanganan administrasinya. Ia merespons kritik masyarakat terhadap penanganan pandemi dengan menerbitkan dekrit yang melarang penyebaran berita palsu. Dalam pelaksanaannya, dekrit ini justru menjadi jalan bagi pemerintah untuk membungkam dan mengkriminalisasi pihak-pihak yang berseberangan. Pemerintah kini memiliki akses penuh untuk melakukan sweeping dan mengontrol interaksi masyarakat di ruang-ruang digital.

Keadaan politik elektoral pun tidak jauh berbeda. Pemerintah juga membatasi pergerakan partai oposisi dan tidak membiarkan pluralitas politik tercipta di ranah pembuatan kebijakan. Bahkan, tidak jarang, pemerintahan Prayut secara semena-mena membubarkan partai dan memberikan larangan partisipasi politik kepada para elit-elitnya. Kasus ini dapat dilihat pada pembubaran Future Forward Party, yang populer sebagai simbol progresivitas pergerakan anak muda di tahun 2020.

Ketegangan Raja dan Klan Shinawatra

Di Negeri Gajah Putih, monarki memegang peranan penting dalam dinamika politik negara. Berkaca pada rangkaian peristiwa di masa pemerintahan klan Shinawatra, pihak kerajaan cenderung memperlihatkan sikap yang berseberangan. Situasi ini terlihat jelas pada langkah Raja Bhumibol Adulyadej yang merestui kudeta terhadap Thaksin Shinawatra di tahun 2006. Proses demokratisasi di Thailand, yang turut disertai oleh kenaikan tren politik populis, digambarkan sebagai sebuah upaya untuk merongrong legitimasi raja dan jajarannya. Dalam peristiwa ini, militer menjadi garda terdepan kerajaan yang berambisi untuk mengembalikan citra agungnya di mata masyarakat. Narasi politik populis dan monarki kerap tidak dapat berjalan beriringan di Negeri Gajah Putih.

Sejak pengukuhannya, Raja Vajiralongkorn cenderung memperlihatkan stance yang sama dengan pendahulunya. Di tahun 2019, ia mencabut semua gelar kerajaan yang pernah diberikan pada Thaksin setelah narasi kecurangan pemilu muncul ke pemberitaan. Menurut para aktivis pro-demokrasi, langkah sang raja dapat dimaknai sebagai upaya untuk mematahkan narasi oposisi serta memperkecil kemungkinan klan Shinawatra untuk kembali ke panggung politik nasional. 

Lebih lanjut, tindakan ini pun dapat dibaca sebagai wujud keberpihakan monarki dalam kontestasi elektoral yang memunculkan kelompok militer sebagai pemenang. Salah satu bukti nyatanya ialah penguatan undang-undang pencemaran nama baik (Lese-Majeste) yang kian membatasi kebebasan berpendapat masyarakat. Di rentang tahun 2020 hingga 2022, undang-undang ini telah menjadi landasan bagi pemerintah untuk menangkap ratusan individu dan melabeli mereka sebagai pengkhianat negara. 

Meski belum ada pernyataan jelas dari pihak kerajaan, dukungan terhadap Prayut tentu sudah dapat diprediksi jauh sebelum pemilu diselenggarakan. Alih-alih membiarkan kelompok populis berkuasa, Raja Vajiralongkorn tentu akan lebih diuntungkan dengan kemenangan Prayut yang mampu memberi kedudukan politik bagi kerajaan. Lebih dari itu, langkah politis sang raja di tahun 2019 pun dapat menjadi landasan bagi kelompok konservatif pro-monarki untuk terus mempertanyakan legitimasi klan Shinawatra di gelaran pemilu mendatang.

Politik Shinawatra: Populisme Yang Sama?

Paetongtarn dapat membaca kondisi politik Thailand ini dengan baik. Alih-alih mengikuti narasi status quo, ia mengkampanyekan kesejahteraan masyarakat kelas menengah-kebawah yang termarjinalkan di masa kepemimpinan Prayut. Secara spesifik, aspek-aspek kesejahteraan ini meliputi peningkatan upah minimum, perbaikan harga hasil panen (agrikultur), penurunan biaya energi, dan pemerataan akses kesehatan. 

Menilik pola yang ada, narasi kampanye Paetongtarn sebenarnya tak berbeda jauh dengan Thaksin di tahun 2001 yang menjanjikan universal healthcare dan akses pinjaman untuk modal usaha masyarakat kelas menengah-kebawah. Usaha ini juga akan dibarengi oleh keterbukaan akses informasi dan kebebasan berpendapat yang telah tergerus oleh otoritarianisme Prayut. Dalam narasi politik domestik Thailand, populisme dimaknai sebagai bentuk revisi terhadap kebijakan arus utama yang tak lagi sesuai dengan kehendak masyarakat. Membaca kejenuhan publik terhadap monarki dan rezim militer, bukan tak mungkin modal politik populis Paetongtarn dapat berujung pada kemenangan telak atas Prayut di gelaran pemilu mendatang.

Pekerjaan rumah yang kini harus diselesaikan oleh klan Shinawatra ialah membentuk koalisi dengan partai-partai se-ideologi guna mengakali konstitusi bentukan rezim militer yang mengharuskan partai untuk mendapat suara mayoritas pula di senat. Dalam konteks ini, Pheu Thai bisa saja menjajaki peluang koalisi dengan Partai Palang Pracharath lewat kedekatan Jenderal Prawit dengan keluarga Shinawatra. Sebagai penutup, peluang comeback klan Shinawatra memang terlihat sudah di depan mata, tetapi konsolidasi politik dengan para elit di Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat masih menjadi sekian tantangan yang harus diselesaikan. Komponen ini harus dikombinasikan dengan suara rakyat yang kian jengah dengan status-quo otoritarianisme rezim militer guna mencapai kemenangan di pemilu mendatang.

Oktavianus Bima Saputra merupakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @oktavianus_bima

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *