Penembakan Laskar FPI dan Gerakan ACAB di Indonesia

0

Ilustrasi ACAB. Foto: Wikimedia Commons

Seperti yang kita ketahui, baru-baru ini enam orang anggota Front Pembela Islam (FPI) dikabarkan telah ditembak mati oleh oknum polisi. Berita tersebut memantik perdebatan tentang seberapa kredibel polisi di negeri kita. Terlebih lagi, kehadiran berita ini datang di waktu yang buruk untuk kepolisian dikarenakan beberapa waktu lalu mereka baru saja mendapat aspirasi masyarakat setelah menindak tegas dan menahan ketua FPI, Imam Besar Habib Rizieq Shihab. Munculnya kasus ini dapat menghasilkan adanya keraguan masyarakat atas dukungan yang mereka berikan kepada polisi sebelumnya dan berpotensi menghasilkan pergantian sisi masyarakat dalam konflik antar polisi dan FPI ini.

Melihat peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat, ketidakpercayaan pada polisi ini dapat menghasilkan sebuah gerakan anti-polisi, yakni gerakan ACAB (All Cops Are Bastards). Gerakan ACAB pada awalnya lahir di AS setelah kesalahan oknum polisi AS menyebabkan tewasnya seorang berkulit hitam, George Floyd, yang menyebabkan naik daunnya gerakan Black Lives Matter (BLM). Salah satu fokus gerakan BLM adalah untuk mengekspos bahwa ini bukan pertama kalinya polisi melakukan kesalahan dan mengajak orang menyampaikan segala ketidakpercayaannya pada polisi, terlebih lagi terhadap kaum kulit hitam. Bersamaan dengan peristiwa ini, akronim ACAB mulai marak digunakan sebagai perlambang “mosi tidak percaya” pada polisi di AS.

Gerakan ini pun bukan hanya menjadi gerakan-gerakan kecil yang memiliki audiens yang terbatas, gerakan ini menyebar dengan cepat terutama di media sosial. Beriringan dengan membesarnya gerakan BLM, gerakan ACAB terus berkembang, terutama di dalam Amerika Serikat. Gerakan ACAB sempat menjadi topik bahasan yang amat populer di sosial media, selain popularitas dunia maya, gerakan ini bahkan berubah menjadi tulisan grafiti yang dituliskan oleh aktivis gerakan BLM dan ACAB. Efek yang diberikan gerakan ini pun tidak main-main, beberapa negara bagian melakukan reformasi terhadap lembaga kepolisian mereka dan meningkatkan kontrol kualitas, yang bisa dikatakan merupakan target awal gerakan ini. Gerakan ini pun sebenarnya telah berevolusi lagi setelah publik menemukan laporan keuangan kepolisian AS, yang menghabiskan banyak uang di daerah yang dianggap irrelevan, gerakan ACAB telah berubah menjadi gerakan “Defund the police” yang menginginkan alokasi yang lebih baik mengenai keuangan dan pajak rakyat yang digunakan dalam menjalankan kepolisian.

Gerakan ACAB dapat menjadi inspirasi publik Indonesia untuk bertanya mengenai kredibilitas dan kualitas polisi di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan ini akan mendapat dukungan yang cukup besar. Tingkat kepercayaan publik diukur masih berada di angka 70an persen untuk kondisi sekarang, angka sejumlah itu seharusnya menjadi indikator bahwa polisi masih cukup aman untuk dipercayai. Kenyataan yang sebaliknya terlihat dari kebiasaan masyarakat yang kadang malah menjadi tidak nyaman dengan keberadaan polisi, menghindari polisi ketika berkendara (walaupun tidak bersalah) dan banyaknya komplain mengenai kasus yang tidak terurus oleh polisi. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mudah tertarik pada impresi, sehingga dengan penampakan seperti ini, sangat mungkin banyak orang yang dengan cepat hilang kepercayaannya pada polisi.

Kasus-kasus yang bisa diangkat dan dijadikan senjata untuk mempertanyakan profesionalisme dan kualitas polisi sebagai penegak hukum pun sangat banyak, berbagai macam dari yang kecil hingga besar. Dimulai dari kasus polisi yang menerima suap atau menerima pungli dari hasil menilang orang di jalan, polisi yang menggunakan jabatannya untuk mendapat perlakuan khusus, bahkan polisi yang menganiaya warga. Semuanya merupakan contoh kasus-kasus mikro yang mempengaruhi sebagian masyarakat secara langsung. Belum lagi jika kasus makro seperti kasus-kasus korupsi mantan petinggi Polri, brutalitas polisi terhadap tahanan seperti yang terjadi pada laskar FPI dan pembunuhan yang terjadi di Papua oleh polisi diungkit-ungkit, kepercayaan masyarakat akan semakin menurun pada polisi.

Pertanyaan akan mulai ditujukan mengenai kualitas dan kredibilitas setiap anggota polisi, baik dari bawahan hingga atasan. Pihak kepolisian bisa saja menyatakan bahwa aksi individu tidak mencerminkan diri mereka secara kolektif, tetapi hal tersebut membuat kita bertanya bagaimana individu tersebut bisa menjadi anggota kepolisian dari awal. Dengan banyaknya isu bahwa bakal calon polisi yang berasal dari Akademi Polisi (Akpol) kebanyakan masuk melalui koneksi keluarga ataupun dengan jalur suap, hal tersebut hanya akan memperkuat argumen publik bahwa polisi tidak memenuhi standar batas kompetensi. Individu-individu yang tidak kompeten akan terancam keberadaannya oleh gerakan ini dan ada kemungkinan bahwa reformasi polisi dan “bersih-bersih” anggota Kepolisian akan terjadi di masa depan. 

Mengikuti kasus penembakan laskar FPI, polisi telah melakukan rekonstruksi kejadian yang dikritik amat aneh dan dianggap karangan belaka. Amarah banyak masyarakat amat terasa di media-media sosial yang menyebutkan bahwa polisi berusaha menutupi inkompetensi sesamanya. Dengan mata seluruh Indonesia tertuju pada kasus ini, gerak-gerik polisi akan amat diawasi. Kesalahan kecil seperti apapun layaknya dapat menjadi pemantik diskusi dan gerakan anti-polisi layaknya ACAB. Potensi adanya kekacauan yang lebih besar yang dapat menimpa Polri dari mishandling kasus ini amat tinggi dan tak dapat disepelekan. 

Hal tersebut dikarenakan prevalensi media sosial dan tingginya penggunaan media sosial dalam masyarakat Indonesia juga menjadi salah satu faktor krusial akan munculnya gerakan seperti ini. Sama halnya gerakan ACAB di Amerika Serikat yang populer setelah menerima eksposur yang cukup besar oleh pengguna sosial media, Indonesia memiliki tingkat kehadiran yang cukup besar di sosial media untuk memviralkan gerakan seperti ini. Dipadukan dengan rendahnya literasi bangsa dan mudahnya bangsa kita “dikompori”, sangatlah mungkin gerakan ini tersebar luas. Polisi pun tidak bisa berbuat banyak jika hal ini terjadi, karena upaya membisukan orang-orang tersebut hanyalah akan menjadi senjata baru untuk mempertanyakan kinerja polisi. 

Mengingat kemampun FPI yang luas dan kemampuannya untuk membawa isu ke permukaan seperti yang sudah pernah kita saksikan sebelumnya, bukanlah isapan jempol belaka jika gerakan sejenis ACAB naik ke permukaan. Mungkin Anda berpikir bahwa gerakan ACAB hanya populer di Amerika Serikat dikarenakan adanya gerakan BLM yang ditunggangi gerakan ini, memang mungkin saja keberadaan gerakan BLM yang memopulerkan gerakan ACAB ini. Lantas, mengapa gerakan ini diperkirakan penulis dapat timbul? Penulis percaya bahwa penahanan Imam Besar Habib Rizieq Shihab yang banyak mendapatkan sorotan dari media dapat memiliki peran yang sama dengan gerakan BLM di AS. Apakah penulis menyatakan bahwa gerakan BLM dan gerakan pembebasan Habib Rizieq adalah gerakan yang serupa? Tidak sepenuhnya, tetapi mereka memiliki dua kesamaan kunci, yakni diyakini kelompok spesifik, dan menjadi sorotan media dalam waktu yang cukup lama.

Keberadaan adanya audiens yang sudah cukup besar dalam diri Front Pembela Islam disertai para pejuang HAM di Indonesia memiliki kemampuan besar untuk menarik kerumunan orang-orang yang tidak memiliki pendirian spesifik di Indonesia. Gaya kampanye FPI yang eksplosif dan kuat pun amat cocok dengan gerakan-gerakan revolusioner yang serupa dengan sistem ACAB di AS. Kasus Habib Rizieq dan penembakan anggota FPI yang terus-terusan diliput oleh media pun sebenarnya bisa dimanfaatkan kaum oportunis untuk membangkitkan semangat anti-polisi tersebut. Media terkadang mencampuradukkan sosok Rizieq dalam kasus penembakan dan menggambarkan 6 korban sebagai penjahat juga, hal tersebut dapat dieksploitasi untuk digunakan sebagai pemerkuat sentimen anti-polisi, atau bahkan anti-media.

Polisi harus bersiap-siap, terutama bagian hubungan masyarakat, untuk menghadapi kemungkinan munculnya gerakan menyerupai ACAB di Indonesia. Hal tersebut sungguh amat mungkin terjadi, dibantu dengan kondisi Polri sekarang yang mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Jika terdaat pihak yang berani dan dapat mengumpulkan ketidakpercayaan kolektif rakyat dan mendorong adanya reformasi polisi, jangan kaget apabila Anda kemudian menjadi salah satu pendukung gerakan tersebut.

Albert Julio merupakan seorang mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Indonesia. Albert memiliki minat kajian politik, kebijakan luar negeri, dan media sosial. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @im.the.aj

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *