“Perang Air” Sungai Nil dan Perubahan Iklim: Lebih dari Sekadar Konflik Keamanan

0

Ilustrasi Sungai Nil. Sumber: pixabay.com

“If the wars of this century were fought over oil, the wars of the next century will be fought over water.” 

Kalimat tersebut diucapkan oleh Ismail Serageldin, Wakil Presiden Bank Dunia pada 1995, tepat lima tahun setelah invasi Irak ke kilang minyak Kuwait dan enam tahun sebelum Amerika Serikat menghukum Saddam Hussein.

“Perang air” menjadi istilah yang terdengar post-apocalyptic, begitu juga dengan “pandemi global” sebelum akhirnya benar-benar terjadi kembali. Namun faktanya, konflik yang berkaitan dengan perebutan akses air mengalami proliferasi dalam dekade terakhir. Sejak 2010, Pacific Institute (2020) mencatat telah terjadi sebanyak 466 konflik air, beberapa di antaranya berkaitan langsung dengan perang antarnegara.

Prediksi Serageldin terbukti benar. Bahkan, datang lebih cepat dari yang sebelumnya diperkirakan. Peningkatan populasi global dan menipisnya akses air bersih membuat perebutan atas air menjadi tak terelakkan. Terlebih lagi, di beberapa kawasan yang telah lama bersitegang sebelum krisis air melanda dan akhirnya memperkeruh konflik yang ada—Konflik Turki, Suriah, dan Irak sepanjang Sungai Eufrat-Tigris menjadi contoh pertama yang muncul di kepala saya ketika membaca prolog Brahma Chellaney dalam Water, Peace, and War: Confronting the Global Water Crisis (2013).

Skenario Serageldin sebenarnya bukan menjadi hal yang baru. Thomas Malthus dalam magnum opus-nya An Essay on the Principle of Population (1798) bertumpu pada premis serupa: sumber daya alam yang terbatas tidak akan mengimbangi jumlah populasi yang tumbuh secara eksponensial. Belum lagi, dampak krisis iklim yang luput dalam analisis Malthus. Wajar, essay yang mulanya ditulis secara anonim itu diterbitkan pada tahun-tahun pertama Revolusi Industri, bahkan 69 tahun lebih dini dari Das Kapital, tempat Marx dan Engels menyanggah tesis Malthus.

Cara pandang Malthusian mendapatkan banyak kritik. Salah satu yang populer saya rasa tersadur dengan baik dalam TED Talk Hans Rosling bertajuk “Global population growth, box by box.” Tren modernisasi berjalan seiringan dengan turunnya angka pertumbuhan penduduk. Transfer teknologi dan kooperasi negara juga akhirnya memungkinkan penggunaan sumber daya secara lebih berkelanjutan. 

Meski demikian, “perang air” menjadi konflik yang masih persisten muncul di dunia pasca-Perang Dingin dan bahkan, setelah PBB mendeklarasikan 2013 sebagai International Year on Water Cooperation. Sayangnya, diskursus yang dominan dalam memandang konflik ini kerap terbatas pada kacamata keamanan (Tir & Stinnett, 2012). Keberadaan sungai dianggap tidak lebih dari instrumen perang dan perebutan kekuasaan di kawasan. Cara pandang tersebut mengaburkan isu lain seperti perubahan iklim, privatisasi air, dan efek indiskriminan dari kerusakan lingkungan yang mewarnai kompleksitas isu air.  

Dengan banyaknya perjanjian sungai transborder, konflik air tetap dapat terjadi. Di Timur Tengah sudah pasti, namun salah satu yang baru saja mengalami eskalasi kembali ada di sepanjang Lembah Sungai Nil. Tensi antara Etiopia dan Mesir memburuk setelah Etiopia diduga secara sepihak mengisi Grand Ethiopia Renaissance Dam (GERD) pada 16 Juli lalu.

Warisan Kolonialisme dan Keadilan Sejarah

GERD dibangun di Nil Biru, satu dari dua anak sungai Nil yang bertemu di Khartoum, Sudan sebelumnya akhirnya berhilir ke Mesir dan Mediterania. Dengan konstruksi dua kali lebih tinggi dari Patung Liberty dan area reservasi seluas Kota London, GERD menjadi bendungan terbesar yang pernah dibangun di Afrika dan sekaligus ancaman bagi 100 juta populasi Mesir.

Pengisian GERD ditakutkan dapat mengganggu aliran Nil yang berhilir ke Sudan dan Mesir di utara. Mesir sebagai negara yang menggantungkan 90% air bersihnya dari sungai tersebut memandang GERD sebagai malapetaka. Terlebih lagi, setelah PBB memprediksi negeri yang secara tradisional menyandang gelar “Gift from the Nile” tersebut akan mengalami krisis air pada 2025. 

Sebagai pemodelan, bila GERD diisi secara penuh dalam jangka waktu 7 tahun, Mesir dapat kehilangan 22% sumber airnya. Bila diisi dalam 5 tahun, Mesir kehilangan 36% sumber air dan secara konsekuensi mengalami kerusakan pada 5 juta hektar area pertanian—Etiopia merencanakan pengisian GERD selama 4 tahun (Al Jazeera, 2020). Sayangnya, kesepakatan terkait GERD hanya melibatkan Etiopia, Mesir, dan Sudan sebagai pihak utama; meskipun sudah menjadi wawasan umum bahwa jutaan populasi dari 8 negara Lembah Nil lain juga menggantungkan hidupnya dari sungai ini.

Sepuluh tahun sejak GERD dibangun di tengah kemelut Arab Spring 2011, Mesir, Etiopia, dan Sudan yang menjadi buffer belum mencapai kesepakatan tentang bagaimana sungai sepanjang 6,695 km itu harus dibagi. Mesir menggunakan Nile Water Agreement tahun 1929 dan 1959 sebagai acuan, di mana Mesir memiliki hak veto terhadap pembangunan dam di hulu sungai. Bagi Etiopia, langkah Mesir dipandang tidak lebih dari sekadar neokolonialisme Afrika (Abdulrahman, 2018). Selama ratusan tahun, Mesir menjadi satu-satunya pihak yang paling berkuasa atas Nil. Keberadaan Inggris sebagai kekuatan kolonial hanya memperparah monopoli Mesir sebagai perpanjangan tangannya di Afrika Utara.  

Berdasarkan perjanjian tahun 1959, 66% air Nil dialokasikan bagi Mesir, 22% bagi Sudan, dan 0% bagi Etiopia sebagai pihak yang tidak dilibatkan dalam perjanjian—12% sisanya secara alami mengalami evaporasi. Meskipun menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Afrika, sebanyak 65% penduduk Etiopia masih memiliki keterbatasan pada akses listrik. Upaya Etiopia dalam mempertahankan GERD adalah upaya Etiopia juga untuk mewujudkan “keadilan sejarah,” tidak hanya baginya, namun juga bagi negara-negara Lembah Nil lain. 

Meski demikian, konflik Mesir-Etiopia tidak dapat dipandang secara sederhana sebagai konflik keamanan semata. Akses air bersih menjadi aset yang semakin berharga. Alih-alih berkulminasi pada konflik bersenjata, konflik Nil dapat memberikan ruang kompromi untuk mengatasi krisis air yang hampir sepenuhnya, langsung atau secara tidak langsung, diakibatkan oleh manusia.

Konflik Air Butuh Lebih dari Sekadar Pendekatan Militer

Dominannya perspektif keamanan dalam memandang konflik air mengaburkan isu lain pada skala yang lebih besar yang sama-sama berkaitan, seperti perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Dengan kenaikan suhu global “hanya” sebesar 2°C, 624 juta penduduk dunia terancam mengalami bencana kekeringan. Dampak tersebut tentunya tidak dirasakan secara merata, mereka di negara yang lebih rentan akan bencana lingkungan serupa seperti di Timur Tengah dan Afrika sub-Sahara menjadi pihak terdampak pertama (Climate Nexus, 2018).

Ancaman “perang air” (apapun bentuknya) tidak hanya terjadi di Lembah Nil. Pada Februari 2019, pemerintahan Modi pernah mengancaman akan membendung Sungai Indus yang berhilir ke Pakistan setelah adanya pengeboman yang menewaskan 40 tentara India di Kashmir. Meski demikian, langkah Modi diurungkan dan kedua negara terbukti tetap dapat mematuhi Indus Waters Treaty tahun 1960 yang membagi alokasi sungai kedua negara. Seburuk apapun friksi yang muncul selama 70 tahun setelah partisi, India dan Pakistan dapat setuju bahwa kompromi perlu dicapai bila perkara sudah menyentuh air yang mempengaruhi hidup jutaan orang.

Konflik air sepatutnya dapat membuka peluang kerja sama bagi manajemen sungai yang lebih berkepanjangan. Krisis air bukan menjadi masalah yang secara eksklusif dialami Mesir ataupun Etiopia. Lepas dari siapa yang memiliki kontrol atas Nil, jutaan masyarakat di negara Lembah Nil lainnya secara indiskriminan sama-sama terancam bila kerja sama mengenai manajemen air tidak dapat diciptakan. 

Bagi Indonesia yang tidak perlu membagi aliran sungai dengan tetangga—dengan Malaysia dan Papua Nugini sebagai pengecualian—“perang air” belum menjadi ancaman dalam waktu dekat. Cerita berbeda dialami oleh beberapa negara yang hanya dialiri satu sungai besar sekaligus, seperti di Afrika sub-Sahara dan Timur Tengah. Bagi mereka yang sewaktu-waktu terancam mengalami krisis air dan bencana pangan sebagai turunannya, perkara siapa yang menguasai sungai dapat menentukan hidup dan mati sebagian orang.

Tanpa tata manajemen sungai yang lebih berfokus pada manusia, konflik air dapat menimbulkan masalah dalam skala besar. Tidak hanya konflik antarnegara, namun juga konflik masyarakat sipil yang bersumber dari ranah domestik. Perang Sipil Suriah salah satunya dipicu oleh krisis air selama 2006-2011, begitupula dengan protes di Iran 2018 lalu (Givetash, 2018). 

Siapa yang sebenarnya menguasai air?

Tidak hanya menjadi objek perebutan, sungai juga dapat dijadikan sebagai instrumen perang. Keberadaan sungai yang bersifat transboundary membuat pihak yang menguasai bagian hulu dapat membanjiri ataupun mengeringkan wilayah-wilayah di hilir. Konflik antara Turki, Suriah, Irak, dan Kurdistan di sepanjang Sungai Eufrat-Tigris melibatkan perebutan atas bendungan di sepanjang sungai. ISIS yang juga terlibat bahkan sempat mengamankan Bendungan Mosul dan konstruksi lain dalam upaya penguasaan wilayah. 

Selain perdebatan antara negara hulu dan hilir, isu yang lebih mendasar adalah pertanyaan mengenai “Siapa yang sebenarnya menguasai air?” Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak harus selalu negara lawan, teroris, atau entitas non-negara lain. Saya teringat kembali dengan salah satu kutipan Mayor John si kura-kura dalam film Rango (2011), “Control the water… and you control everything.” Monopoli air bisa berasal dari banyak pihak, termasuk kongkalikong patrimonial antara negara dan swasta.

Bentuk monopoli seperti privatisasi air, dalam kadar tertentu, dapat menjadi ancaman yang sama bahayanya dengan membendung air di hulu sungai. Dan dalam konteks tersebut, saya kira beberapa kota Indonesia memiliki masalah yang tidak jauh berbeda dari mereka yang ada di negeri seberang sana.  

Daftar Pustaka

Buku

Chellaney, Brahma. (2013). Water, Peace, and War: Confronting the Global Water Crisis. Rowman & Littlefield.

Malthus, Thomas. (1798). An Essay on the Principle of Population. Electronic Scholarly Publishing Project

Jurnal

Tir, Jaroslav & Stinnett, Douglas M. (2012). Weathering climate change: Can institutions mitigate international water conflict?.  Journal of Peace Research. 49 (1). 211-225.

Sumber Online

Abdulrahman, Salam Abdulqadir. (2018, 4 November). Agreements that favour Egypt’s rights to Nile waters are an anachronism. The Conversation. https://theconversation.com/agreements-that-favour-egypts-rights-to-nile-waters-are-an-anachronism-103353

Al Jazeera. (2020). Saving the Nile. Al Jazeera. https://interactive.aljazeera.com/aje/2020/saving-the-nile/index.html

Climate Nexus. (2018). Comparing Climate Impacts at 1.5°C, 2°C, 3°C and 4°. Climate Nexus. https://climatenexus.org/international/ipcc/comparing-climate-impacts-at-1-5c-2c-3c-and-4c/

Givetash, Linda. (2018, 1 November). Water scarcity fuels tensions across the Middle East. NBC News. https://www.nbcnews.com/news/world/water-scarcity-fuels-tensions-across-middle-east-n924736

Pacific Institute. (2020). Water Conflict Chronology. Pacific Institute. http://www.worldwater.org/conflict/list/

Arrizal Anugerah Jaknanihan merupakan mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *