Ilustrasi pergeseran relasi kuasa di Timur Tengah. Foto: FPCI UPH.

Di Timur Tengah, situasi sedang bergeser ke arah Israel, ketika Uni Emirat Arab dan Israel sepakat untuk menormalisasi hubungan diplomatik. Sebuah langkah yang dipuji oleh kedua belah pihak sebagai langkah progresif. Ditengahi oleh presiden AS Donald Trump, perjanjian bersejarah antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) didasari pada janji Israel untuk menangguhkan rencana untuk mencaplok wilayah Tepi Barat yang diduduki, dengan timbal baliknya adalah pertukaran duta besar, membuka perdagangan, dan mengizinkan penerbangan langsung antara kedua negara. UEA menjadi negara Arab ketiga yang menormalisasi hubungan dengan Israel setelah Mesir dan Yordania. Keputusan ini menuai kritik dan kontroversi dan kemungkinan besar menggambarkan UEA sebagai negara yang “terbuang” di antara negara-negara Arab.

Di tempat lain, sebagian warga Palestina secara terbuka mengutuk tindakan yang dianggap sebagai pengkhianatan, dengan kepemimpinan Palestina menggambarkannya sebagai “tikaman dari belakang”. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji langkah tersebut sebagai kedatangan era baru. Pendekatan aktif Pemerintahan Trump untuk mendamaikan negara-negara Arab dengan Israel telah menimbulkan spekulasi bahwa negara-negara Arab lainnya akan mengikuti langkah ini. Pada hari Kamis, tur Timur Tengah Menteri Luar Negeri AS Pompeo berakhir, meski hasilnya dianggap kurang berhasil oleh sebagian orang. Di antara tujuan tersebut termasuk Bahrain, Oman, dan Sudan, yang semuanya telah menyatakan bahwa mereka tidak berniat mengikuti UEA dalam meresmikan hubungan dengan Israel.

Sudah menjadi kebijakan tradisional negara-negara Arab bahwa pengakuan negara Israel pertama-tama harus didahului dengan pembentukan negara Palestina yang merdeka. Bahrain terus mengungkapkan posisi ini selama kunjungan Pompeo, dengan Arab Saudi juga mengutarakan perasaan yang sama. Citra Arab Saudi sebagai pemimpin dunia Muslim, dan komitmennya terhadap kehadiran AS di semenanjung Arab kemungkinan menjadi faktor penting untuk tidak menindaklanjuti permintaan Israel. Namun, langkah bersejarah UEA mewakili paradigma baru pragmatisme politik yang belum menyebar luas di Timur Tengah.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *