Ilustrasi seseorang sedang memasang dekorasi perayaan Imlek. Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

Imlek.

Perayaan “Tahun Baru Cina” bagi Cina Peranakan (bukan Cina tapi Tionghoa) di Indonesia kerap kali menjadi hari penting untuk saling bertemu sanak saudara yang jauh di sana.

Kepercayaan dan etnis merupakan dua hal yang berbeda, tetapi sebagai seorang Tionghoa Peranakan yang tinggal dan tumbuh besar di salah satu negara multikultur, penulis merasa bahwa toleransi bagi siapapun sangatlah penting tidak terbatas pada kepercayaan atau etnis seseorang.

Suatu pagi penulis terperanjat bangun dari tidurnya, karena kicauan burung pingai dari halamannya, merasakan damainya menjadi Tionghoa Peranakan di negeri ini.

Mereka merujuk kepada Tionghoa Peranakan di Indonesia yang sudah ada sejak lama menunjukkan bahwa kemajemukan yang ada sudah menjadi identitas bagi negara ini. 

Salah satu potret keluarga Tionghoa Peranakan di Kupang, Indonesia. Sumber: Koleksi penulis

Potret ini merupakan koleksi pribadi yang didapatkan ketika penulis membongkar lemari tua-nya.

Steve Clarke, Russel Powell, dan Julian Savulescu (2013) dalam bukunya yang berjudul, “Religion, Intolerance, and Conflict: A Scientific and Conceptual Investigation” menjelaskan,

“Non-interference is central to tolerance, but this should not be understood too broadly. The non-interference involved in toleration is direct non-interference in acts and practices.”

Ketika seseorang merasa bahwa dirinya sangat bertoleransi, namun tetap melakukan suatu intervensi dengan dalih “toleransi” maka hal tersebut bukanlah toleransi.

Kita kerap kali terombang-ambing akan hal-hal yang sebenarnya mudah saja dilakukan atau dipikirkan, misalnya makna dari toleransi yang sederhana namun luas.

Tetapi, bukankah toleransi merupakan suatu hal yang sederhana? 

Tetapi juga, apakah pantas kesederhanaan menjadi tolak ukur untuk melakukan atau tidaknya toleransi?

Ketika kita berbicara mengenai toleransi dalam kepercayaan, etnis, tradisi, atau apapun itu secara praktis dan teori bukanlah hal yang baru lagi bagi kita, kita melihat bahwa pemahaman kita terhadap suatu hal yang masih menganggap hal ini hanya bagian dari “formalitas” dalam suatu sistem pendidikan masih sangat perlu diperhatikan. 

Melihat betapa besarnya negeri ini, betapa megahnya sistem di dalamnya, bukankah toleransi seharusnya bukan menjadi masalah lagi? 

Wacana atau tulisan yang mengusung tema “toleransi” juga sangat sering bermunculan menjelang hari perayaan imlek di Indonesia, dan karena itulah toleransi menjadi penting di negeri ini.

Masih banyak hal yang perlu kita perhatikan dari “toleransi” ini.

***

Perayaan imlek di Indonesia sendiri sebenarnya justru dirasa sudah menjadi “sarana” dalam memperkuat toleransi antar perbedaan di negeri ini, dan jelas tidak hanya perayaan imlek saja yang bisa dijadikan momentum karena banyak perayaan atau budaya lain di negeri multikultur ini.

Berangkat dari pemikiran tersebut bukankah seharusnya kita mengerti bagaimana kedatangan mereka ke sini?

Keberadaan Tionghoa Peranakan di negeri ini sudah ada bahkan sebelum Belanda datang ke Indonesia (1596). Sebelumnya, stigma yang tidak jauh dari kami sebagai Tionghoa Peranakan adalah cuan. Namun, apakah ini yang menjadi alasan mereka untuk datang ke negeri ini?

Bermula pada akhir abad ke-4, interaksi orang dari Tiongkok Daratan untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia. Seorang biarawan asal Pingyang Wuyang (平阳武阳) (sekarang Kota Linfen di di Provinsi Shanxi, China) bernama Fa Hsien (337–422) atau Fǎxiǎn (法显) datang ke Pulau Jawa karena diterjang badai besar saat kepulangannya dari India menuju China (Simbolon, 2006). Fa Hsien kemudian menetap selama lima bulan dan pulang membawa informasi tentang situasi di sana pada saat itu.

Kemudian pada abad ke-7, interaksi kembali terjadi oleh I Tsing (635–713) atau Yì Jìng (義淨) merupakan seorang biarawan dari Dinasti Tang dengan tujuan untuk mencari teks ajaran Buddha yang nantinya akan diterjemahkan kedalam Bahasa Tionghoa. I Tsing rasanya sudah tidak asing lagi bagi kita yang bersekolah di Indonesia, nama I Tsing dengan mudahnya kita dapatkan dari buku-buku sejarah sekolah dasar, menceritakan perjalanannya yang datang jauh dari Tiongkok ke Kerajaan Sriwijaya atau Ho-ling (670–1025) yang berpusat di Sumatera (sekarang Palembang) dan menulis mengenai bagaimana Kerajaan Sriwijaya saat itu.

Setelah berabad-abad tidak ada interaksi serupa, kemudian interaksi kembali terjadi pada akhir abad ke-13 tetapi dalam bentuk serbuan invasi atau yang biasa dikenal dengan Invasi Jawa, Emperor Shizu of Yuan atau Kublai Khan, Hūbìliè (忽必烈) (1215–1294) yang merupakan pemimpin dari Kekaisaran Mongol dan Dinasti Yuan yang menjadi alasan terjadinya invasi ini, dengan mengirimkan sekitar 20.000–30.000 prajurit ke Tanah Jawa. Invasi ini terjadi karena salah satu kerajaan besar di tanah Jawa saat itu, Kerajaan Singasari menolak tunduk terhadap Kekaisaran Mongol dan akhirnya Kublai Khan mempersiapkan prajuritnya dari Tiongkok Selatan (Jiangxi, Fujian, dan Huguang) untuk melakukan invasi di Tanah Jawa.

Kemudian interaksi selanjutnya terjadi pada abad ke-15 oleh seorang penjelajah dari masa Dinasti Ming bernama mǎ sān bǎo (马三宝) atau yang biasa dikenal dengan Laksamana Cheng Ho (1371–1433) yang dalam ekspedisi pertamanya (1405–1407) datang ke Pulau Jawa, Sumatera, Kepulauan Aru di Maluku, dan Banda Aceh dalam tujuh misi diplomatik untuk memperkuat hubungan internasional dan meningkatkan perdagangan di bawah perintah Kaisar Yongle (1360–1424) (Cartwright, 2019). Ekspedisi Cheng Ho ke Indonesia terus berlanjut pada ekspedisi-ekspedisi selanjutnya.

Kedatangan “mereka” kemudian terjadi lagi pada awal abad ke-20 setelah Xinhai Revolution dan mengakibatkan runtuhnya Dinasti Qing pada 1911. Hal ini kemudian menjadi salah satu momentum terjadinya gelombang migrasi ke luar Tiongkok, salah satunya Indonesia, dan dari sana mereka mulai berbaur dan melupakan identitas asli mereka sendiri dan menjadi seorang Indonesia sepenuhnya.

Ilustrasi Le Petit Journal (29 Oktober 1911) untuk permulaan Xinhai Revolution pada 1909 (Source: 搜狐汽车)

Selain itu mereka yang datang ke Indonesia sendiri mayoritas berasal dari dua provinsi utama di Tiongkok Selatan yaitu Guangdong (Kanton, Tiociu, dan Hakka) dan Fujian (Hokcia, Hokkien, dan Hinghua).

Dari hal ini kita bisa melihat bahwa ada banyak faktor yang melatarbelakangi kedatangan mereka ke sini. 

Jelas tidak hanya soal cuan.

Walaupun memang sebagian besar tujuan mereka datang untuk mendapat cuan, dan menurut sensus yang dilakukan pada tahun 1930 yang jelas menunjukan bahwa mayoritas keberadaan mereka di Indonesia banyak bergerak di bidang ekonomi khususnya perdagangan (Tracing The Early Wave Of Chinese Immigrants In Indonesia, 2020), tetapi sebenarnya juga tidak ada bukti atau catatan khusus yang menjelaskan bahwa keberadaan mereka di sini dengan sengaja merugikan masyarakat asli Indonesia saat itu. Selain itu, kondisi perang dan keinginan untuk mencari peruntungan yang lebih baik di Indonesia menjadi alasan kedatangan mereka ke sini.

Keberadaan mereka di Indonesia sendiri dibedakan menjadi dua yaitu totok dan peranakan. Yang membedakan keduanya terletak pada waktu kedatangan, totok di sini biasanya mengarah pada mereka yang masih memiliki darah tulen yang lahir di Tiongkok dan masih fasih berbahasa Tionghoa, sedangkan peranakan adalah mereka yang sudah memiliki darah Indonesia dari salah satu orang tua dan biasanya sudah menetap lebih lama di sini (Willmott, 2009), dan tentu saja tidak bisa berbahasa Tionghoa seperti totok.

Tetapi yang menjadi menarik adalah ternyata totok dan peranakan sendiri terkadang terjadi sedikit pergesekan (Mukhaer, 2021), walaupun secara kasat mata mereka sama tetapi hal ini tetap tidak bisa dielakkan. Hal ini diperkuat dengan perbedaan dari sejarah, budaya, bahkan kemampuan berbahasa. 

Tapi mau bagaimana lagi kita Indonesia bukan?

***

Sederhana saja.

Intoleran yang kadang terjadi di Indonesia seringkali dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya sejarah.

Kita bisa melihat kembali kebelakang bagaimana para penjajah melabeli etnis seseorang, secara tidak langsung telah membentuk suatu karakter atau ketakutan terhadap suatu etnis yang sebenarnya pun belum tentu benar. 

Bagaimana penjajah mengambil keuntungan dari kemajemukan kita hanya untuk memecah belah dan bagaimana mindset kita yang telah diubah sedemikian rupa selama ratusan tahun yang sebenarnya hanya untuk memenuhi kepentingan kalangan tertentu.

Saya rasa jawabannya bukan karena perbedaan karena jika perbedaan justru membentuk perasaan intoleran dalam suatu kehidupan sosial, maka apakah dengan begitu persamaan akan juga membentuk perasaan toleran? 

Saya rasa juga tidak.

Tulisan ini sengaja diketik oleh penulis di meja kayunya yang mungkin sudah tua, dan sebagai bentuk pergumulan yang selama ini muncul setiap perayaan imlek di negeri tercinta kita.

Tulisan ini juga sekadar opini.

Referensi:

Cartwright, M. (2019, February 7). The Seven Voyages of Zheng He. World History Encyclopedia. Retrieved January 24, 2022, from https://www.worldhistory.org/article/1334/the-seven-voyages-of-zheng-he/

Clarke, S., Powell, R., & Savulescu, J. (Eds.). (2013). Religion, intolerance, and conflict: A scientific and conceptual investigation. Oxford University Press.

Mukhaer, A. A. (2021, May 21). Memahami Dunia Tionghoa Indonesia, Antara Totok dan Peranakan. Retrieved from National Geogrpahic Indonesia: https://nationalgeographic.grid.id/read/132701890/memahami-dunia-tionghoa-indonesia-antara-totok-dan-peranakan?page=all

Simbolon, P. S. (2006). Agama Buddha di Samping Agama Hindu. In Menjadi Indonesia (p. 11). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Willmott, D. E. (2009). The national status of the Chinese in Indonesia 1900–1958. Equinox Publishing.

VOI. (2020, August 7). Tracing The Early Wave Of Chinese Immigrants In Indonesia. Retrieved from VOI: https://voi.id/en/memori/10641/tracing-the-early-wave-of-chinese-immigrants-in-indonesia 

Gilbert Leonard Wailanduw adalah mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Udayana. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @leonash__

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *